Setahun Uji UU MK Belum Diputus, MK: Tidak Ada Niat Menunda
Mahkamah Konstitusi atau MK menegaskan, putusan terhadap uji konstitusionalitas Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi sedang berproses di MK. MK tidak memiliki niat untuk menunda putusan tersebut.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi atau MK menegaskan, putusan terhadap uji konstitusionalitas Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi sedang berproses di MK. MK tidak memiliki niat untuk menunda putusan uji konstitusionalitas tersebut. Di sisi lain, publik mendorong percepatan putusan itu karena pengujian terhadap UU KPK telah berlangsung satu tahun.
Salah satu permohonan uji konstitusionalitas terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi diajukan oleh tiga mantan pimpinan KPK, yakni Agus Raharjo, Laode M Syarif, dan Saut Situmorang. Permohonan diterima kepaniteraan MK pada November 2019. Artinya, sudah setahun permohonan itu berproses di MK. Para mantan pemimpin MK itu mengajukan uji formil terhadap UU KPK.
Selain itu, ada pula enam uji materiil dan uji formil dari berbagai elemen masyarakat yang diterima MK dan persidangannya diselenggarakan secara bersamaan.
Padahal, jika merujuk Laporan Akhir MK Tahun 2019, MK dapat menyelesaikan perkara dengan rata-rata waktu hanya 2,8 bulan.
Pengajar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Charles Simabura, mengatakan, belum diputusnya UU KPK oleh MK menunjukkan pengujian UU KPK ini memiliki spektrum yang tidak biasa.
“MK sepertinya hendak berhati-hati atau justru mencoba mencari formula yang mungkin dapat diterima oleh semua pihak. Ini bertentangan dengan keinginan publik, yang berharap pengujian UU KPK ini diberikan prioritas sehingga segala bentuk turunan UU KPK mendapatkan kepastian hukum,” katanya saat dihubungi, Minggu (22/11/2020).
Charles pun mengingatkan, adagium lama yang mengatakan keadilan yang tertunda ialah keadilan yang diabaikan (justice delayed is justice denied). Ada kekhawatiran MK tidak segera memutus karena lembaga peradilan itu menunggu peraturan pelaksana UU KPK tuntas terlebih dulu.
”Meskipun tidak disengaja melakukan itu, kesan yang timbul seperti itu,” ujarnya.
Terkait belum putusnya uji konstitusionalitas UU KPK, baik uji formil maupun uji materiil yang dilakukan oleh elemen masyarakat, juru bicara MK yang juga hakim konstitusi, Enny Nurbaningsih, mengatakan, saat ini UU itu sedang berproses sesuai dengan hukum acara yang berlaku di MK.
Sesuai dengan Pasal 54 UU MK, proses sidang memerlukan beberapa tahapan. Salah satunya ialah pemeriksaan saksi dan ahli jika menurut MK diperlukan, dan jika ada pengajuan saksi dan ahli dari pemohon ataupun termohon. Proses jawab jinawab itu memerlukan waktu hingga sampai pada penyampaian kesimpulan dan rapat permusyawaratan hakim (RPH).
Enny mengatakan, saat ini untuk pengujian konstitusionalitas UU KPK sedang memasuki tahapan RPH.
”Sesuai hukum acara, kami akan melakuakn RPH untuk bagaimana kaitannya dengan perkara itu. Kami berharap perkara yang masuk bisa diselesaikan tidak sampai berulang tahun. Sebisa mungkin dilakukan secepatnya, tetapi banyak sekali permohonan yang masuk. Jadi, memang semua dalam proses karena kita berharap sesuai dalam laporan tahunan MK (2019), persidangan di MK bisa lebih cepat,” ujarnya.
Menanggapi harapan publik kepada MK untuk segera memutus uji konstitusionalitas UU KPK, menurut Enny, hal itu juga menjadi kepedulian MK. ”Tetapi memang ini berproses karena semua perkara yang masuk banyak sekali. Tidak ada unsur menunda atau niatan menunda, tidak ada sama sekali,” katanya.
Proses persidangan MK, lanjut Enny, juga dapat diakses dengan publik secara bebas, dan semua digelar secara terbuka, terkecuali RPH, untuk pengambilan putusan.
Jaga independensi
Sementara itu, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Agil Oktaryal, mengatakan, MK saat ini menghadapi sejumlah perkara krusial yang menarik perhatian publik. Selain UU KPK, masih ada UU MK, dan UU Cipta Kerja. Ketiganya dipandang merupakan UU problematik, baik secara formil maupun materiil. Oleh karena itu, menjaga independensi hakim merupakan hal utama sehingga hakim dapat memutus perkara dengan kepala jernih dan tidak terpengaruh oleh intervensi atau pengaruh dari pihak mana pun.
Pada 12 November lalu, enam hakim konstitusi diberi anugerah tanda jasa oleh negara. Mereka adalah Arief Hidayat, Anwar Usman, dan Aswanto, yang menerima bintang Mahaputera Adipradana; serta Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Manahan Sitompul yang dianugerahi bintang Mahaputera Utama. Pemberian tanda jasa ini, menurut Agil, seharusnya tidak diberikan kepada hakim yang aktif karena saat ini mereka tengah memeriksa sejumlah perkara krusial yang terkait langsung dengan kepentingan pemerintah.
”Pemberian tanda jasa ini sangat memengaruhi independensi hakim. Kita tahu bahwa independensi terbagi dua, institusional dan personal. Personal itu kita sebut imparsialitas/tidak memihak (mahkota hakim). Pemberian tanda jasa itu memengaruhi independensi hakim secara personal, apalagi yang dikasih adalah mayoritas, 6 orang,” kata Agil.
Pemberian tanda jasa kepada hakim aktif itu dikhawatirkan membuat hakim tidak independen dalam menangani dan memutus perkara, terutama untuk perkara UU yang merupakan usulan pemerintah, seperti UU KPK, UU Pemulihan ekonomi untuk Covid- 19 (Perppu No 1/2020), UU Minerba, UU MK, dan UU Cipta Kerja.
Enny mengatakan, pemberian tanda jasa dan peran hakim dalam memeriksa perkara adalah dua hal yang berbeda. Hal itu tidak seharusnya dikaitkan karena pemberian tanda jasa itu tidak terkait dengan perkara, tetapi sebagai penghargaan atas pengabdian mereka kepada negara.
”Dua hal itu harus dilepaskan. Prinsip independensi dan nilai-nilai profesionalitas itu tetap dijaga dalam memutus suatu perkara,” ujarnya.