Hasil kajian KPK dan UP4 Anti-Corruption Resource Center mengungkap masih masifnya korupsi di sektor kehutanan. Negara dirugikan hingga belasan triliun rupiah per tahun.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Buruknya pengawasan hutan menjadikan korupsi sektor kehutanan tumbuh subur dan merajalela. Penegakan hukum terhadap pelaku korupsi di sektor kehutanan, baik perseorangan maupun korporasi, perlu mendapatkan perhatian ekstra.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengatakan, buruknya pengawasan hutan menyebabkan negara merugi hingga Rp 35 miliar per tahun akibat pembalakan liar. Berdasarkan analisis KPK, kelemahan pengawasan dalam izin pinjam pakai menyebabkan terjadinya potensi kehilangan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) akibat pertambangan di dalam kawasan hutan sebesar Rp 15,9 triliun per tahun.
”Ini baru data di Kalimantan, Sumatera, dan Papua saja, ditemukan 1.052 usaha pertambangan di kawasan hutan yang tak melalui prosedur pinjam pakai,” kata Alex saat membuka Peluncuran Kajian KPK dan U4 Anti-Corruption Resource Centre, Senin (16/11/2020).
Hadir sebagai pembicara dalam acara itu, Duta Besar Jerman untuk Indonesia Peter Schoof; Duta Besar Norwegia untuk Indonesia Vegard Kaale; Lead Advisor Governance and Inclusive Growth Philipp Johannsen; Senior Adviser U4 Anti-corruption Resource Centre Monica Kirya; Senior Adviser U4 Anti-corruption Resource Centre Sofie A Schuette; dosen Southeast Asian Politics di Murdoch University, Australia, Jacqui Baker; dan mantan pemimpin KPK Laode M Syarief.
Alex menegaskan, prinsip usaha dengan tata kelola yang buruk telah menyuburkan korupsi. Kajian perizinan KPK tahun 2013 menunjukkan, kebijakan pengelolaan SDA sangat rentan dengan korupsi.
Dengan metode corruption risk assessment, KPK menganalisis 21 regulasi tentang pemanfaatan hasil hutan kayu dan penggunaan kawasan hutan. Dari jumlah tersebut, 18 regulasi di antaranya rentan korupsi. Akibatnya, setiap bisnis proses perizinan penuh dengan suap, konflik kepentingan, perdagangan pengaruh, pemerasan, bahkan state capture corruption.
Merugikan
Selain itu, kata Alex, kajian sistem PNBP kehutanan yang dilakukan pada 2015 juga menemukan 77 persen sampai 81 persen laporan produksi kayu tidak tercatat di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Hal ini membuat negara menanggung potensi kerugian dari PNBP Provisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi sebesar Rp 5,24 triliun-Rp 7,24 triliun per tahun selama periode kajian 2003-2014. Potensi kerugian negara dari nilai kayu komersial yang tak tercatat sebesar Rp 12 triliun-Rp 16,8 triliun per tahun.
”Upaya pemberantasan korupsi di sektor kehutanan menjadi perhatian utama sejak KPK berdiri. Melalui proses penindakan, setidaknya sudah ada 27 kasus yang ditangani KPK yang sudah berkekuatan hukum tetap,” kata Alex.
Meski demikian, Sofie A Schuette mengungkapkan, KPK memang telah menangani kasus korupsi yang melibatkan lebih dari 600 pelaku sejak 2004. Namun, hanya sekitar 5 persen terdakwa yang dituntut atas pelanggaran sektor kehutanan.
Ia mengatakan, pemerintah telah memprakarsai berbagai kebijakan pencegahan untuk mengurangi cepatnya deforestasi. Namun, penegak hukum gagal menghadirkan perusahaan sebagai terdakwa dan menyita semua hasil korupsi yang dinikmati.
Terkait dengan hal itu, Alex mengakui bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk memberantas korupsi sektor kehutanan. Utamanya, yang dilakukan perusahaan.
Sementara itu, Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani yang hadir dalam kegiatan tersebut mengatakan, hasil kajian KPK dan U4 Anti-corruption Resource Centre akan menjadi pembelajaran bagi KLHK. Ia berjanji akan melakukan investigasi untuk membongkar jaringan penebangan liar, penambangan liar, dan aktivitas kriminal lainnya. Rasio menegaskan, KLHK akan berkolaborasi dengan KPK untuk mengatasi permasalahan tersebut.