Jalan Panjang Menuju Data Tunggal
Mimpi untuk memiliki data kependudukan tunggal di negeri ini hampir terwujud. Hingga saat ini tinggal 2 persen penduduk atau setara 3,9 juta jiwa yang belum melakukan perekaman data kependudukan.
Akhir jalan yang panjang dan terjal untuk mewujudkan data tunggal kependudukan sudah di depan mata. Menjelang akhir 2020, tinggal sekitar 2 persen atau 3,9 juta jiwa yang belum melakukan perekaman data kependudukan untuk memperoleh Kartu Tanda Penduduk elektronik. Apa langkah selanjutnya setelah data tunggal kependudukan terwujud 100 persen?
Mimpi membangun data tunggal kependudukan sudah terbentang sejak Februari 2011. Untuk merealisasikan hal itu, pemerintah menginisiasi sistem yang memungkinkan seorang penduduk hanya memiliki satu nomor induk kependudukan (NIK). Meluncurlah program kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el). Dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, problem kependudukan seperti data ganda bisa dicegah.
Namun, sejak mimpi itu lahir, jalan mewujudkannya tidak mudah. Proyek pengadaan KTP-el sempat menjadi bancakan pejabat pemerintah hingga politisi pada 2011-2013. Imbasnya, proyek perekaman tersendat. Kualitas kartu yang dihasilkan pun tak sesuai harapan.
Baca juga: Verifikasi Data Kependudukan Tekan Risiko Penipuan
Amburadulnya data kependudukan berimbas ke banyak sektor. Setiap kali pemilu misalnya, data kependudukan yang diserahkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai rujukan daftar pemilih, selalu tidak akurat.
Persoalan data ganda terutama membuat penyelenggara pemilu selalu kerepotan untuk menyisirnya, bahkan kerap kali disalahkan. Tak jarang, ini juga dijadikan celah oleh peserta pemilu untuk berbuat curang dalam pemilu. Belum lagi penipuan yang kerap terjadi dengan berbekal KTP palsu. Tanpa sistem yang memadai, pemilik KTP palsu akan mudah menipu.
Amburadulnya data kependudukan berimbas ke banyak sektor. Setiap kali pemilu, misalnya, data kependudukan yang diserahkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai rujukan daftar pemilih, selalu tidak akurat.
Karut-marut data kependudukan lambat laun dibenahi setelah persoalan-persoalan tersebut muncul. Sistem dibenahi. Perekaman data kependudukan untuk KTP-el dikebut. Petugas di berbagai daerah jemput bola untuk memburu mereka yang belum melakukan perekaman data. Sebab, hanya dengan melakukan perekaman KTP-el, data tunggal kependudukan bisa terwujud.
Baca juga: Perekaman Data KTP-el Capai 97,41 Persen
Percepatan
Bersamaan dengan itu, percepatan perekaman dikebut melalui sejumlah undang-undang. Melalui Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) misalnya, pemilih diwajibkan memiliki KTP-el sebagai syarat untuk memilih. Tak ada lagi penggunaan surat keterangan KTP sebagai pengganti KTP-el.
Hasil dari berbagai upaya itu mulai terlihat dalam enam tahun terakhir. Hingga November 2020, sudah sekitar 192,4 juta penduduk memiliki KTP-el. Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh optimistis target 100 persen bisa selesai 2-3 tahun ke depan.
Meski demikian, upaya itu akan sulit tercapai jika hanya mengandalkan jemput bola. Warga juga harus ikut proaktif melakukan perekaman terutama di Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur. Lalu apa selanjutnya setelah data tunggal kependudukan terwujud?
Saat ini 2.818 lembaga sudah bekerja sama untuk pemanfaatan data kependudukan yang dimiliki Dukcapil. Di luar itu masih ada ribuan lembaga yang belum memanfaatkannya.
Zudan mengatakan, saat ini 2.818 lembaga sudah bekerja sama untuk pemanfaatan data kependudukan yang dimiliki Dukcapil. Di luar itu, masih ada ribuan lembaga yang belum memanfaatkannya. Padahal, hal itu penting, salah satunya untuk mencegah penipuan.
Fungsi lain, lebih mengoptimalkan penggunaan data tunggal kependudukan untuk membantu kerja aparat penegak hukum. Selama ini sudah ada kerja sama untuk mencocokkan KTP yang dimiliki penjahat atau korban dengan data tunggal kependudukan. Ini akan mempercepat kerja aparat.
Kerja sama berlanjut. Optimalisasi data daftar pencarian orang (DPO) milik aparat penegak hukum pun telah dimasukkan ke dalam basis data Kemendagri. Ini belajar dari kasus Joko Soegiarto Tjandra, yang sempat membuat KTP-el ketika masih berstatus buron.
”Dulu, kan, Dukcapil tidak tahu ada DPO siapa. Sekarang data DPO sudah masuk. Kalau ada DPO mengurus dokumen, dalam database kelihatan, ada kodenya. Petugas kami akan langsung lapor aparat penegak hukum di kawasan setempat,” tutur Zudan.
Data tunggal kependudukan membuka jalan untuk perbaikan pemilu. Bisa saja, suatu saat nanti ketika data sudah akurat, KTP-el yang digunakan. Lebih jauh lagi, KTP-el bisa jadi alat untuk memilih dalam pemilu.
Perbaikan pemilu
Tak hanya itu, data tunggal kependudukan membuka jalan untuk perbaikan pemilu. Bisa saja, suatu saat nanti ketika data sudah akurat, KTP-el yang digunakan. Lebih jauh lagi, KTP-el bisa jadi alat untuk memilih dalam pemilu.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) telah mengembangkan sistem ini dan mengaplikasikannya di pemilihan kepala dusun (pilkadus) di Kabupaten Jembrana, Bali, Juli 2009. Penduduk tinggal membawa KTP-el, di tempat pemungutan suara dicocokkan dengan mesin pembaca kartu. Jika mesin menyatakan tak ada masalah, dia bisa memilih.
Penerapan sistem ini mampu menghemat biaya lebih dari 60 persen, mempersingkat dan memudahkan proses pemilihan. Hanya butuh 20 detik untuk memberikan suara. Dengan kartu cip sebagai kartu identitas penduduk dan sistem verifikasi, penyimpangan proses pemilihan pun dapat dihindari.
Bayangkan biaya yang bisa dihemat jika pola ini diterapkan di seluruh daerah. Selama ini, untuk penyusunan daftar pemilih sebagai contoh, KPU harus melakukan pencocokan dan penelitian (coklit) yang membutuhkan biaya besar.
Di KPU Binjai, Sumatera Utara, misalnya, total honor untuk petugas coklit bisa mencapai Rp 473 juta. Belum lagi, akibat pilkada digelar di tengah pandemi Covid-19, para petugas harus dites cepat (rapid test). Jika diakumulasi, biaya yang dikeluarkan sekitar Rp 543,9 juta. Itu hanya di satu daerah dari 309 kabupaten/kota yang akan menggelar pilkada tahun ini.
Pada prinsipnya, menurut Kepala Pusat Manajemen Informasi BPPT Irwan Rawal Husdi, data tunggal kependudukan ini harus bisa dioptimalkan lebih jauh. Sebab, ke depan, semua layanan dan transaksi mengandalkan identitas tunggal.
Saat ini pun, lanjut Irwan, BPPT terus mengkaji optimalisasi pemanfaatan KTP-el secara lebih luas. ”Memang betul sudah ada kajian oleh BPPT, yang disebut KTP-el multiguna,” ujarnya.
Data tunggal kependudukan ini harus bisa dioptimalkan lebih jauh. Sebab, ke depan, semua layanan dan transaksi mengandalkan identitas tunggal.
Agung Harsoyo, ahli teknologi telekomunikasi Institut Teknologi Bandung dan komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia, pun sependapat, ke depan, bukan tidak mungkin, publik tinggal membawa KTP-el untuk bisa bertransaksi hingga menggunakan hak suara di pemilu. Namun, semua itu harus ditunjang dengan ketersediaan mesin pembaca kartu untuk menghindari KTP palsu.
”Kita mesti berupaya bagaimana caranya harga card reader itu bisa relatif terjangkau karena saat ini masih dirasa mahal,” kata Agung.
Pemakaian mesin pembaca kartu hanya digunakan jika berhadapan dengan petugas. Bagaimana kalau tidak ada petugas? Untuk itu, arsitektur mesin pembaca kartu ini perlu dirancang ulang karena terakhir dibangun pada 2013.
Secara teknologi, Agung meyakini, hal itu sangat memungkinkan. Apalagi, cip KTP-el menyimpan data biometrik meliputi sidik jari, foto wajah, dan iris mata.
Syarat utamanya adalah tersedia layanan telekomunikasi yang baik. Hingga saat ini, masih ada 12.548 desa dan kelurahan yang masih belum terfasilitasi internet (blank spot).
Memang, syarat utamanya adalah tersedia layanan telekomunikasi yang baik. Hingga saat ini masih ada 12.548 desa dan kelurahan yang masih belum terfasilitasi internet (blank spot). Artinya, itu tantangan lain.
Dari sisi keterjangkauan harga, perancangan perangkat pembaca KTP-el setidaknya harus mampu memindai dua hal, sidik jari dan wajah. Sebab, untuk bisa membaca iris mata, dibutuhkan perangkat yang lebih mahal.
Lalu, demi keamanan data publik, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) harus mampu menjaga betul perangkat yang ada. Perangkat itu harus aman sedemikian rupa sehingga hampir tidak mungkin menyimpan data di dalamnya. Setelah proses verifikasi, data harus bisa langsung terhapus.
”Harus dipikirkan masak-masak sebelum implementasi. Sebab, kalau mengimplementasi tanpa mempertimbangkan dengan baik secara sekuritas, kita sebagai bangsa bisa kecolongan data penduduk yang sangat berharga,” kata Agung.