JAKARTA, KOMPAS - Perekaman data kartu tanda penduduk elektronik atau KTP-el secara nasional telah mencapai 97,41 persen. Penduduk yang belum terekam paling banyak berada di Pulau Papua.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat, sebanyak 265,18 juta penduduk telah memiliki nomor induk kependudukan (NIK). Dari jumlah tersebut, sebanyak 192,67 juta penduduk wajib memiliki KTP-el. Hingga Februari 2019, sebanyak 187,67 juta penduduk atau 97,41 persen penduduk telah merekam data KTP-el.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dalam penandatangan nota kesepahaman antara Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kemendagri, serta Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), di Jakarta, Selasa (19/2/2019), mengatakan, penduduk di Provinsi Papua dan Papua Barat masih banyak yang belum melakukan perekaman data KTP-el.
“Selain itu, dari hasil pengamatan kami, masih ada 20 persen penduduk Indonesia yang bersekolah atau bekerja di luar negeri belum merekam data KTP elektronik. Namun, secara keseluruhan, sekitar 97 persen sudah merekam data dengan baik,” kata Tjahjo.
Data dari Kemendagri menyebutkan, Provinsi Papua, Papua Barat, Sulawesi Barat, Maluku, dan Maluku Utara masih memiliki tingkat perekaman KTP-el di bawah 85 persen. Provinsi Bengkulu, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat memiliki tingkat perekaman KTP-el berkisar 85-95 persen. Provinsi lainnya telah memiliki tingkat perekaman di atas 95 persen.
Tjahjo melanjutkan, pemerintah berupaya untuk terus meningkatkan perekaman data KTP-el. Untuk suku terasing serta penduduk di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T), pemerintah melakukan jemput bola untuk merekam data.
Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh menambahkan, ketika pendataan telah sempurna, lembaga pemerintah dan nonpemerintah dapat membuat kebijakan yang lebih tepat sasaran.
Pendataan penduduk menyimpan data krusial. Data yang direkam antara lain nama lengkap, jenis kelamin, nomor induk kependudukan (NIK), nomor kartu keluarga, alamat, golongan darah, status perkawinan, cacat fisik/mental, pendidikan, pekerjaan, sidik jari, iris mata, serta tanda tangan.
Zudan memberi contoh, perekaman data kependudukan semester II tahun 2018 menemukan, jumlah penduduk Indonesia tidak cacat mencapai 263 juta orang atau sebesar 99,34 persen. Sedangkan jumlah penduduk cacat fisik mencapai 277.133 orang, cacat mental 39.083 orang, serta cacat fisik dan mental 14.398 orang.
“Data seperti ini penting untuk diketahui pemerintah dalam merencanakan pembangunan. Selain itu, data juga dapat digunakan untuk meningkatkan pelayanan publik, menentukan alokasi anggaran, melakukan penegakan hukum, serta mencegah tindak kejahatan,” ujar Zudan.
Pemerintah berkomitmen agar KTP-el berperan sebagai nomor identitas tunggal (single identity number). Dengan demikian, pemerintah akan memiliki database transaksi yang dilakukan penduduk.
Data KTP-el penting untuk merencanakan pembangunan, meningkatkan pelayanan publik, menentukan alokasi anggaran, melakukan penegakan hukum, dan mencegah tindak kejahatan
KTP-el ganda
Menurut Tjahjo, tantangan lain yang harus dihadapi dalam menuntaskan perekaman KTP-el adalah terdapat sekitar 2 juta KTP-el ganda. Kasus yang sering ditemukan adalah terdapat dua atau tiga KTP dengan orang yang sama, tetapi tinggal di alamat yang berbeda.
“Penduduk dengan KTP ganda tidak bisa kami kejar. Mereka yang harus proaktif untuk melaporkan bahwa mereka memiliki KTP ganda,” kata Tjahjo.
Pendataan KTP-el yang akurat dapat dimanfaatkan oleh lembaga pemerintah dan nonpemerintah membuat keputusan. Berdasarkan catatan Kemendagri, sebanyak 2,6 miliar NIK telah diakses oleh 1.174 lembaga yang bekerja sama dengan Kemendagri. Lembaga yang paling banyak mengakses di antaranya PT Telekomunikasi Selular, Kementerian Sosial, BPJS Kesehatan, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengatakan, pemanfaatan data KTP-el akan sangat bermanfaat bagi program perhutanan sosial. “Data kependudukan sangat membantu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menerbitkan izin perhutanan sosial yang tepat sasaran bagi penduduk yang berdomisili di dalam dan sekitar hutan,” katanya.