Upaya perbaikan Undang-undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja mesti mengikuti prosedur konstitusi. Sejumlah fraksi pun mulai pertimbangkan opsi legislative review sebagai salah satu solusi untuk atasi kesalahan.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·7 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Upaya perbaikan terhadap Undang-undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja mesti mengikuti prosedur konstitusi. Karena itu diperlukan konsistensi pembentuk UU untuk lebih cermat dalam melakukan legislative review maupun judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Ketidakcermatan dalam mengikuti tuntunan konstitusi tidak hanya membuat UU Cipta Kerja berpotensi cacat formil, tetapi juga menciderai prinsip negara hukum.
Sementara itu, sejumlah fraksi mulai mempertimbangkan opsi legislative review sebagai salah satu solusi untuk mengatasi kesalahan rujukan pasal dan ayat, serta kesalahan lain yang sifatnya substantif di dalam UU Cipta Kerja. Opsi legislative review itu dipandang sebagai jalan konstitusional yang memungkinkan untuk diambil sejalan dengan adanya dorongan dari publik agar pembentuk UU tidak serta-merta menyerahkan problem formil maupun materiil kepada MK, tetapi juga bertanggung jawab terhadap publik atas pembentukan legislasi yang baik.
Pelaksana Harian Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Saleh Partaonan Daulay, Minggu (8/11/2020) mengatakan, ada dua jalur yang saat ini menjadi dorongan publik, yakni uji konstitusionalitas ke MK dan legislative review. Dua jalur itu sama-sama dapat ditempuh. Oleh karena itu, apapun masukan publik mengenai dua jalur itu mesti didengarkan oleh pemerintah dan DPR selaku pembuat UU.
"Ada dua jalur yang saat ini menjadi dorongan publik, yakni uji konstitusionalitas ke MK dan legislative review. Dua jalur itu sama-sama dapat ditempuh. Oleh karena itu, apapun masukan publik mengenai dua jalur itu mesti didengarkan oleh pemerintah dan DPR selaku pembuat UU"
“Fraksi PAN sendiri menilai setiap aspirasi dan masukan dari masyarakat terkait dengan penguatan demokrasi di Indonesia, harus kita hargai, dengar, dan perhatikan. Karena itu, dalam konteks usulan legislative review ini, PAN harus membaca dan mengkaji dulu pasal-pasal mana saja yang dinilai bermasalah, kemudian apa keberatannya, sehingga apa solusi yang dapat ditawarkan untuk membenahi persoalan itu,” ujarnya.
Upaya mengkaji kembali UU yang berjumlah 1.187 halaman itu bukan hal yang mudah. Menurut Saleh, fraksi harus mengupas satu per satu isi UU Cipta Kerja itu, yang dinilai publik bermasalah. “Silahkan publik menyuarakan keinginannya agar dilakukan legislative review. Jika PAN menilai ini penting dan layak diteruskan, tentu akan kami dukung. Kalau yang dinilai kurang lengkap adalah prosesnya, kita akan minta disempurnakan. Atau memang jika nanti semua parpol sudah menyatakan kesediaannya membahas legislative review, tentu kita dengan senang hati membahas ulang UU tersebut,” kata Saleh lagi.
Fraksi PAN menerima UU Cipta Kerja tetapi dengan catatan. Dari sembilan fraksi, enam fraksi menyatakan menerima UU Cipta Kerja, dua fraksi menolak, yaitu Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), serta satu fraksi menerima dengan catatan, yakni PAN. Dalam pandangan minifraksinya, PAN antara lain menyoroti pembahasan RUU Cipta Kerja yang terlalu tergesa-gesa dan minim partisipasi publik. Karena itu, PAN menilai hasil dari RUU ini kurang optimal. Oleh karena itu, penyusunan aturan turunannya perlu menyerap aspirasi publik secara luas. Selain dibacakan di dalam rapat paripurna pembahasan tingkat dua di DPR, 5 Oktober 2020, catatan kritis PAN juga disampaikan di dalam rapat-rapat panja.
Sebelumnya, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Parta Demokrat Didik Mukrianto mengatakan, sebagai produk politik yang resmi disahkan, partainya menyadari langkah yang tersedia ialah legislative review. Pihaknya pun menghormati dan mendukung pihak-pihak yang mengambil jalan konstitusional untuk mengajukan uji formil maupun uji materiil ke MK.
“Sebagai bagian dari sikap Demokrat yang menolak persetujuan RUU Cipta kerja di rapat paripurna DPR, tentu kami akan menyiapkan langkah-langkah legislative review melalui tata cara dan mekanisme yang diatur dalam UU, termasuk hak kami sebagai anggota FPD DPR RI untuk mempertimbangkan langkah-langkah mengusulkan Revisi UU Cipta Kerja,” katanya.
Sejalan dengan Pancasila
Secara terpisah, anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi PKS yang juga Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengatakan, legislative review sejalan dengan prinsip negara Pancasila, negara hukum, dan mengutamakan kedaulatan rakyat. “Saya mengapresiasi pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD bahwa tidak menutup kemungkinan dilakukannya legislative review terhadap UU Ciptaker yang telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo,” ujarnya.
Menurut Hidayat, permasalahan terkait UU Cipta Kerja itu tidak lagi sekedar kesalahan ketik, tapi berjalin berkelindan serta banyak aspeknya, mencakup berbagai hal dan ketentuan terkait UU Ciptakerja. Langkah legislative review, merupakan salah satu opsi legal yang bisa dilakukan agar DPR dan Presiden agar dapat mengobati luka rakyat, yakni dengan memperbaiki secara mendasar berbagai hal terkait penyusunan, pengesahan dan sosialisasi UU Cipta Kerja.
“Melakukan legislative review itu juga dalam rangka mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap demokrasi dan lembaga negara, baik pemerintah (eksekutif) maupun DPR (legislatif)”
Sejak dari pembahasannya, UU Cipta Kerja, menurut Hidayat, tidak cermat dan diburu-buru target. Draf final juga tidak diberikan kepada setiap fraksi pada pengambilan keputusan tingkat I dan II. Bahkan jadwal rapat paripurna persetujuan RUU Cipta Kerja pun tiba-tiba dimajukan. Hingga RUU itu dibawa ke Sekretariat Negara, masih ditemukan beberapa kesalahan, dan penghapusan pasal. Bahkan, ketika sudah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo masih ada kekeliruan pasal yang menimbulkan polemik.
“Melakukan legislative review itu juga dalam rangka mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap demokrasi dan lembaga negara, baik pemerintah (eksekutif) maupun DPR (legislatif),” ujarnya.
Dihubungi terpisah, Ketua Fraksi Nasdem Ahmad Ali mengatakan, pihaknya masih sedang membicarakan opsi yang paling mungkin diambil dalam menyikapi sejumlah kesalahan yang terjadi di dalam UU Cipta Kerja. “Apakah harus legislative review atau cara lain, itu masih kami bicarakan dengan teman-teman kami di Baleg. Kami harus melihat apakah kesalahannya itu substantif ataukah tidak. Kalau tidak substantif ya kita lakukan koreksi, tetapi ini kan masih didiskusikan dengan dewan pakar. Nanti baru kami akan simpulkan, supaya langkah selanjutnya ini tidak menimbulkan kegaduhan lagi,” ujarnya.
"Keranjang sampah"
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti mengatakan, tujuan baik suatu UU tidak berarti harus menghalalkan segala cara. Terlepas dari tujuan UU Cipta Kerja yang dikemukakan oleh pemerintah dan DPR ialah untuk membuka lapangan kerja, dan meningkatkan investasi, yang pada akhirnya memperbaiki ekonomi nasional, cara yang ditempuh dalam menyusun dan membahas UU itu tetap tidak boleh mengabaikan prinsip dan asas yang telah diatur di dalam UU No 12/2011 juncto UU No 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“Penyusunan UU itu merupakan satu rangkaian total dari berbagai proses atau tindakan hukum. Di dalam prosesnya ada berbagai tindakan hukum, mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan yang di dalamnya ada persetujuan bersama DPR dan pemerintah, kalau ada persetujuan bersama maka masuk ke pengesahan, dan pengundangan. Ketika ada kesalahan di tahapan pengundangan, penyelesaiannya ialah melalui cara-cara layaknya sebuah perubahan UU dilakukan,” katanya.
Opsi penerbitan Distribusi II, menurut Susi, tidak ada dasar hukumnya, dan karenanya merupakan perbuatan ilegal jika dipaksakan untuk diambil oleh pemerintah. Perbaikan UU adalah suatu tindakan ketatanegaraan, sehingga harus mengikuti aturan formil ketetanegaraan dalam melakukannya.
Susi mengingatkan, prosedur pembuatan UU dibuat kaku dan detil dengan tujuan agar UU yang dihasilkan itu betul-betul berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan terhadap publik. Di dalam prosedur formil pembuatan UU itu tercakup asas-asas penting yang harus diakomodir oleh pembentuk UU, seperti fairness, sesuai kebutuhan publik, pelibatan publik, kecermatan, dan kehati-hatian, yang semuanya itu merupakan syarat dari suatu UU yang baik.
"Sikap yang mudah menyerahkan perbaikan UU hanya kepada MK menunjukkan pembentuk UU hanya memedulikan legitimasi mereka sebagai pembentuk UU, tetapi mereka tidak dapat mempertanggungjawabkan kualitas dari UU yang dibuatnya. Hal ini di satu sisi juga seolah menjadikan MK sebagai keranjang sampah dari berbagai UU bermasalah"
“Jika pembentuk UU meyakini UU ini baik, atau tujuannya baik, parameternya tidak sekadar substansi, melainkan juga pembentukannya secara formil. Karena di dalam prosedur formil itulah dapat diuji sejauhmana penyusunan UU itu deliberatif dan memerhatikan kebutuhan publik. Bahkan jika substansinya betul-betul baik sekalipun, bukan berarti dapat mengabaikan proses formil dan asas-asas pembentukan UU yang baik,” katanya.
Susi mengatakan, sikap yang mudah menyerahkan perbaikan UU hanya kepada MK menunjukkan pembentuk UU hanya memedulikan legitimasi mereka sebagai pembentuk UU, tetapi mereka tidak dapat mempertanggungjawabkan kualitas dari UU yang dibuatnya. Hal ini di satu sisi juga seolah menjadikan MK sebagai keranjang sampah dari berbagai UU bermasalah.
Di sisi lain, jika yang didorong ialah legislative review, publik menanti konsistensi pembentuk UU dalam melakukan proses perbaikan UU itu sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam UU No 12/2011 juncto UU No 15/2019. “Yang terpenting ialah hasil dari legislative review itu, apakah nantinya diajukan revisi UU Cipta Kerja, yang tentu harus mengikuti prosedur UU,” ungkap Susi.