logo Kompas.id
Politik & HukumJerat Donatur dalam Pilkada
Iklan

Jerat Donatur dalam Pilkada

Dengan besarnya ongkos untuk berkontestasi dalam pilkada, sumbangan donatur dibutuhkan. Namun, terlalu bertumpu pada donatur justru bisa menyandera calon. Ingat, dalam politik, tidak ada makan siang yang gratis.

Oleh
IQBAL BASYARI
· 5 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/_LkL4jPFb22kQpJIJrhbBJgHAd4=/1024x683/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F09%2Fd3432988-37ab-4b9a-924b-ec7c92c28bdb_jpg.jpg
Kompas/Heru Sri Kumoro

Sejumlah kendaraan yang telah dihias digunakan KPU Kota Tangerang Selatan untuk sosialisasi Pemilihan Wali Kota-Wakil Wali kota Tangerang Selatan 2020, Minggu (20/9/2020).

Dengan besarnya ongkos untuk berkontestasi dalam pilkada, sumbangan donatur memang dibutuhkan. Namun, terlalu bertumpu kepada donatur justru bisa menyandera calon, terutama ketika sudah terpilih. Ingat, dalam politik, tidak ada makan siang yang gratis.

Survei yang dilakukan Litbang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada sejumlah pasangan calon (paslon) kepala/wakil kepala daerah yang berlaga dalam beberapa pemilihan kepala daerah (pilkada) menunjukkan, sebagian besar calon mengandalkan donasi pihak ketiga.

Pada Pilkada 2017, misalnya, 82,3 persen calon kepala daerah dan wakil kepala daerah menyatakan dibantu oleh donatur. Sementara pada Pilkada 2018, calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dibantu donatur 70,3 persen.

Ketergantungan sejumlah paslon kepada donatur ini pun kembali terulang pada Pilkada 2020. Dari penelusuran laporan penerimaan sumbangan dana kampanye (LPSDK), sejumlah paslon terlihat menerima sumbangan dari pihak ketiga.

Baca juga : Kampanye Daring Pilkada yang Tak Nyaring

https://cdn-assetd.kompas.id/Ij3bl3A002tEZhZImq68PsrnEz8=/1024x659/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F10%2F0a827581-ccee-4e18-a3b8-aa4bb4636ab4_jpg.jpg
Kompas/Bahana Patria Gupta

Warga melewati mural Pilkada Surabaya 2020 yang dibuat peserta lomba mural yang diselenggarakan KPU Kota Surabaya di Kecamatan Jambangan, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (4/10/2020).

Di Surabaya, misalnya, pasangan Eri Cahyadi-Armuji melaporkan sumbangan dana kampanye dari pihak ketiga unsur perseorangan Rp 674 juta. Paslon dengan kekayaan Rp 25,7 miliar itu juga melaporkan sumbangan dana kampanye dari unsur paslon Rp 721 juta dan parpol Rp 448 juta.

Lawannya, yaitu paslon Machfud Arifin-Mujiaman, melaporkan sumbangan dari unsur pihak lain badan hukum swasta Rp 6,75 miliar. Nilai sumbangan dari paslon dengan kekayaan total Rp 37,4 miliar itu jauh lebih besar dibandingkan dengan dana kampanye yang dikeluarkan oleh paslon itu sendiri senilai Rp 500 juta.

Adapun pada Pilgub Sulawesi Utara, paslon Olly Dondokambey-Steven Octavianus Estefanus Kandouw yang memiliki kekayaan total Rp 196 miliar melaporkan sumbangan dari pihak lain perseorangan Rp 1 juta, sedangkan dana dari paslon Rp 3,4 miliar.

Sumbangan dana kampanye ini bukan hal yang diharamkan dalam pilkada. Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2020 telah mengatur sejumlah persyaratan terkait sumbangan dana kampanye. Untuk sumbangan yang berasal dari perseorangan dibatasi maksimal Rp 75 juta, sedangkan dari partai politik, kelompok, dan atau badan hukum swasta maksimal Rp 750 juta. Pemberi sumbangan pun harus jelas identitasnya.

https://cdn-assetd.kompas.id/Fp0OtphAAbDEk_HkoXVO5jAFvK8=/1024x576/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F10%2F2f3632d2-3116-44ad-9b7e-23368ec40b4a_jpg.jpg
Kompas/Wawan H Prabowo

Warga melintasi baliho pasangan calon wali kota dan wakil wali kota Depok pada Pilkada Depok 2020, di dekat Tugu Margonda, Depok, Minggu (25/10/2020).

Puluhan hingga ratusan miliar

Sumbangan dana kampanye ini juga dibutuhkan oleh calon. Apalagi dengan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk berlaga dalam pilkada.

Kajian oleh Kementerian Dalam Negeri menemukan, yang diperlukan untuk menjadi bupati/wali kota Rp 20 miliar-Rp 30 miliar. Sementara untuk pemilihan gubernur mencapai Rp 20 miliar-Rp 100 miliar. Artinya, setiap paslon memerlukan tidak kurang dari Rp 20 miliar untuk memenangi kontestasi.

Padahal, dari hasil olah data laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) oleh KPK terhadap 1.472 calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang memenuhi syarat per 19 Oktober menunjukkan, rata-rata harta kekayaan calon Rp 10,6 miliar.

Di antara ribuan kandidat tersebut, 12 calon kepala dan wakil kepala daerah bahkan berharta minus. Kandidat dengan harta minus terbanyak ialah calon wakil bupati Sijunjung, Sumatera Barat, Indra Gunalan, yang melaporkan hartanya minus Rp 3,5 miliar. Sementara kandidat dengan harta kekayaan terbesar ialah calon wakil gubernur Kalimantan Selatan, Muhidin, yang  mencapai Rp 674 miliar.

https://cdn-assetd.kompas.id/HaFGjJLw9YS43XoJzbvq_c5lcLA=/1024x2224/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F10%2F20201025-H02-NSW-Kekayaan-Calon-1-mumed_1603650611.png
Iklan

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, saat dihubungi akhir pekan lalu mengatakan, paslon dengan harta kekayaan melimpah bukan berarti tidak menerima sumbangan dari pihak ketiga. Ini terutama donatur tidak memandang latar belakang harta kekayaan paslon saat memberikan sumbangan.

”Donatur pilkada cenderung memberikan sumbangan kepada paslon yang elektabilitasnya tinggi atau yang kemungkinan besar memenangi kontestasi pilkada, bahkan ada juga yang menyumbang kepada semua paslon,” katanya.

Sumbangan dana kampanye yang kebanyakan dari pengusaha itu, menurut Titi, diberikan karena donatur membutuhkan jaminan keamanan bisnis saat kepala/wakil kepala daerah yang baru terpilih dan menjabat. Dengan memberikan bantuan saat kampanye, mereka berharap mendapatkan imbal balik.

Berharap balas budi

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengingatkan, donasi yang diberikan pengusaha kepada calon dalam pilkada tidak ada yang gratis. Jika calon itu terpilih, pengusaha akan berharap balas budi. ”Jadi, tidak ada makan siang yang gratis. Mereka (pengusaha) selalu berharap ada imbalannya,” ujarnya.

https://cdn-assetd.kompas.id/Qr6Ux-cJ_sQ_lmF4Cb8N6urdJSU=/1024x2224/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F10%2F20201025-H02-NSW-Kekayaan-Calon-2-mumed_1603650615.png

Dari hasil kajian KPK, ada sejumlah hal yang diharapkan pengusaha setelah memberikan donasi, di antaranya kemudahan perizinan terhadap bisnis yang telah dan akan dilakukan (95,4 persen), kemudahan ikut serta dalam tender proyek pemerintah (90,7 persen), serta keamanan dalam menjalankan bisnis yang sudah ada (84,8 persen).

Tiga hal itu, menurut Alexander, masih masuk akal apabila dilakukan secara transparan oleh kandidat terpilih. ”Kalau tujuannya agar timbul persaingan yang fair (adil), itu bagus. Sebab, perusahaan kadang-kadang sulit ikut lelang karena tak bisa masuk sistem pengadaan barang/jasa elektronik,” tuturnya.

Namun, lanjut dia, ada dua harapan pengusaha yang tidak wajar dan rentan terjadi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Harapan itu adalah kemudahan akses bagi donatur atau kolega untuk menjabat di pemerintahan atau badan usaha milik daerah (81,5 persen), dan kemudahan akses dalam menentukan kebijakan atau peraturan daerah (72,2 persen).

”Ini sudah enggak bener harapannya. Tak usah diperhatikan,” ucap Alexander.

https://cdn-assetd.kompas.id/3ut8cuBJRwYutKXXpgeLTwmhVbY=/1024x2037/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F10%2F20201025-H02-NSW-Kekayaan-Calon-3-mumed_1603650616.png

Meskipun KPU telah membatasi dana kampanye dalam pilkada, menurut pengajar Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Mada Sukmajati, transparansi dana kampanye dinilai masih kurang kuat.

Aturan yang ada belum mampu menjamin kebenaran dana kampanye karena dalam praktiknya biaya yang dikeluarkan sering kali lebih besar dari yang dilaporkan.

Dalam risetnya pada Pilkada Kabupaten dan Kota Madiun 2018, pengeluaran yang dilakukan calon selama pilkada mencapai 10 hingga 15 kali lipat dari dana kampanye yang dilaporkan kepada KPU.

Selain persoalan transparansi, ia mengusulkan agar basis pembatasan dana kampanye salah satunya menggunakan gaji dan tunjangan yang diterima oleh paslon selama satu periode. Penggunaan gaji dinilai mampu menekan pengeluaran paslon agar tidak melebihi uang yang dikeluarkan saat kampanye.

”Jika biaya kampanye kepala daerah terpilih tidak melebihi gajinya selama satu periode, mereka tidak akan memiliki beban untuk mengembalikan modal,” ucapnya.

Baca juga : Parpol, Pilkada, dan Kekayaan Calon Kepala Daerah

https://cdn-assetd.kompas.id/lNc_yO-71-OkeQSNGrQO8nplwHo=/1024x709/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F08%2F20180705aici2.jpg
KOMPAS/ALIF ICHWAN 05-07-2018

Gubernur Aceh Irwandi Yusuf ditahan seusai diperiksa selama 12 jam oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (5/7/2018) akhirnya di tahan. Irwandi ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT), Selasa (3/7/2018).

Titi khawatir, jika donatur terus mendominasi pembiayaan calon, kepentingan publik bisa terabaikan.

Selain bisa berujung pada korupsi, kepala/wakil kepala daerah terpilih dikhawatirkan mendahulukan kepentingan donatur dibandingkan dengan kepentingan publik. Bahkan, bisa saja, mereka tersandera oleh kepentingan donatur.

”Implikasi lainnya, publik bisa tidak percaya pada produk demokrasi karena dianggap tidak berkontribusi untuk masyarakat,” ucap Titi.

Editor:
Antonius Ponco Anggoro
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000