Mahkamah Konstitusi menjamin pemberian kesempatan yang seimbang dalam pengujian UU Cipta Kerja. Saat ini sudah ada tiga permohonan pengujian. Jumlah yang mengajukan pengujian diperkirakan akan bertambah.
Oleh
RINI KUSTIASIH/NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi menjamin pemberian kesempatan yang seimbang kepada para pemohon dan termohon dalam pengujian konstitusionalitas Undang-Undang Cipta Kerja. Pengujian konstitusionalitas pun dihargai sebagai bagian dari hak konstitusional warga negara yang merasa hak-haknya terancam akibat disahkannya suatu legislasi.
Kepala Bagian Humas dan Hubungan Dalam Negeri MK Fajar Laksono Soeroso saat dihubungi, Sabtu (17/10/2020), mengatakan, MK telah menerima tiga permohonan uji materi dan uji formil terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Ketiga permohonan itu akan diregistrasi sebelum berkasnya diperiksa oleh majelis hakim konstitusi.
Banyaknya pengajuan uji konstitusionalitas ke MK juga ditanggapi positif oleh MK.
”Salah satunya, masyarakat punya kesadaran dan kehendak untuk menempuh mekanisme atau jalan konstitusional yang disediakan UUD. Setidaknya, di sidang MK terbuka ruang untuk berargumentasi, dan oleh MK, semua diberikan kesempatan secara seimbang,” kata Fajar.
RUU Cipta Kerja telah disetujui untuk disahkan menjadi UU dalam Rapat Paripurna DPR, 5 Oktober lalu. Kemudian, pada Rabu (14/10/2020), Sekretariat Jenderal DPR telah menyerahkan naskah UU itu kepada Presiden Joko Widodo untuk ditandatangani sebagai tanda UU telah disahkan. Namun, hingga hari ini, proses pengesahan oleh Presiden belum rampung.
Sesuai konstitusi, Presiden memiliki waktu 30 hari untuk menandatangani naskah UU itu. Jika tenggat terlampaui, UU itu secara otomatis sah dan harus diundangkan di dalam Lembaran Negara.
Terkait dengan permohonan uji konstitusionalitas terhadap UU Cipta Kerja yang belum tuntas diundangkan, Fajar mengatakan, penilaian atas permohonan itu tetap dikembalikan kepada mahkamah.
”Tetap diperiksa pemberkasannya. Tetapi, untuk penilaian hukumnya merupakan kewenangan majelis hakim,” katanya.
Victor Santoso Tandiasa, salah satu kuasa hukum pemohon uji formil, mengatakan, kliennya datang dari beragam latar belakang. Mereka berlatar belakang mahasiswa, pekerja perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT), hingga siswa sekolah menengah kejuruan (SMK).
”Semua pemohon memiliki kerugian konstitusional langsung dengan berlakunya RUU Cipta Kerja tersebut. PKWTT, kan, sudah tidak lagi diatur di dalam UU dengan berlakunya RUU Cipta Kerja sehingga nasib mereka menjadi tidak jelas. Lalu, mereka yang kini menjadi siswa SMK juga nasibnya terancam dengan berlakunya ketentuan RUU Cipta Kerja. Sebab, para siswa di SMK itu, kan, calon pekerja juga,” katanya saat dihubungi, Minggu (18/10/2020).
Namun, dalam pengujian ke MK, kliennya tidak mengajukan uji materi. Alasannya, secara prosedural, pembentukan RUU Cipta Kerja itu dinilai cacat.
Victor menambahkan, kecacatan pembentukan RUU Cipta Kerja itu terang benderang diketahui oleh publik, antara lain karena ada perubahan substansi setelah RUU itu disetujui bersama oleh DPR dan pemerintah. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur tidak boleh ada perbaikan substansi apa pun setelah persetujuan diberikan oleh DPR.
Waktu tujuh hari yang diberikan UU, menurut Victor, hanyalah untuk perbaikan kesalahan teknis penulisan, tetapi tidak boleh mengubah substansi.
”Pasal per pasal itu banyak sekali yang berubah. Mula-mula muncul draf 905 halaman, lalu ada draf 1.035 halaman, dan terakhir ada draf 812 halaman. Ini katanya hanya mengubah ukuran kertas, tetapi saya perhatikan banyak perubahan. Begitu keluar draf 812 halaman, salah satu pasal kebijakan fiskal bertambah, yang sebelumnya tidak ada,” ujarnya.
Jika dikabulkan, ujar Victor, uji formil itu dapat mengakibatkan batalnya sebuah UU secara keseluruhan. Sekalipun MK dalam sejarahnya belum pernah mengabulkan pengujian formil suatu UU, dalam pembentukan RUU Cipta Kerja ditemui sejumlah pengabaian terhadap proses penyusunan UU yang baik.
Selain itu, pemohon mendalilkan adanya pelanggaran sejumlah asas pembentukan UU, yakni asas keterbukaan, asas kedayagunaan, asas kehasilgunaan, dan asas kejelasan tujuan.
Kelompok buruh
Rencana pengujian konstitusional UU Cipta Kerja juga akan dilakukan oleh kelompok buruh. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, KSPI dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) pimpinan Andi Gani Nuna Wea telah menunjuk kuasa hukum untuk mengajukan permohonan ke MK, antara lain Hotma Sitompul dan Said Salahudin.
”Tim kuasa hukum sedang berproses membuat gugatan, baik uji materi maupun uji formil. Gugatan akan diajukan begitu keluar nomor UU Cipta Kerja tersebut,” ujarnya.
Menurut Said, selain menggunakan jalur konstitusional, buruh akan tetap berunjuk rasa serta mendorong dilakukannya perubahan atau revisi UU melalui jalur eksekutif ataupun legislatif.
Dihubungi secara terpisah, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Achmad Baidowi mengatakan, pengujian UU ke MK merupakan bagian dari hak warga negara yang harus dihargai. ”Itu hak konstitusional warga,” ujarnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Azis Syamsuddin mengatakan, setiap pihak yang merasa keberatan dengan RUU Cipta Kerja agar mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas ke MK. Jalan itu dipandang sebagai jalur hukum konstitusional, yang saat ini paling mungkin dilakukan. Hal senada pernah disampaikan Presiden Joko Widodo.