Gejolak Lahir akibat RUU Cipta Kerja, Benahi Komunikasi Publik
Komunikasi publik terkait dengan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja mendesak dibenahi. Persoalan komunikasi itu ikut memicu polemik seputar peraturan tersebut.
JAKARTA, KOMPAS — Simpang siur informasi mengenai naskah Undang-Undang Cipta Kerja coba diluruskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, penjelasan datang terlambat ketika gejolak publik sudah telanjur terjadi. Buruknya komunikasi publik, baik oleh DPR maupun pemerintah, ini harus jadi pelajaran. Di alam demokrasi, publik berhak mengetahui apa pun kebijakan negara dan dilibatkan dalam setiap pengambilan kebijakan.
Saat jumpa pers di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (13/10/2020), Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Aziz Syamsuddin menegaskan, draf UU Cipta Kerja yang akan dikirimkan kepada Presiden Joko Widodo untuk disahkan adalah draf yang terdiri atas 812 halaman.
Draf itu merupakan hasil pengetikan dan pengeditan oleh pihak Sekretariat Jenderal DPR dengan memperhatikan ukuran kertas, ukuran huruf, dan kesesuaian dengan ketentuan lain yang diatur di Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Proses ini dilakukan setelah substansi RUU disetujui disahkan dalam Rapat Paripurna DPR, 5 Oktober lalu. Sesuai dengan UU No 12/2011, DPR punya waktu tujuh hari kerja untuk menyampaikan RUU kepada pemerintah setelah RUU disetujui disahkan. Waktu tujuh hari jatuh pada Rabu (14/10) ini, dan menurut rencana, DPR akan mengirimkan draf kepada pemerintah tepat saat tempo tenggat itu tiba.
Baca juga: Rapat Utak-atik Draf Saat Gedung Parlemen Tengah "Lockdown"
”Proses yang dilakukan di Baleg (Badan Legislasi DPR) itu pakai kertas biasa. Tetapi, saat sudah masuk ke tingkat dua, masuk ke kesekjenan pakai legal paper yang sudah menjadi syarat ketentuan dalam UU sehingga besar tipisnya, yang berkembang ada 1.000 sekian, ada tiba-tiba 900 sekian. Tapi, setelah dilakukan pengetikan final berdasarkan legal drafter ditentukan dalam kesekjenan dan mekanisme, total jumlah pasal dan kertas halaman hanya 812 halaman,” kata Aziz.
Saat jumpa pers, Aziz didampingi Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Gerindra Supratman Andi Agtas, sejumlah anggota Baleg DPR, dan Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar.
Sebelum draf 812 halaman itu dipastikan sebagai draf final, Kompas menerima draf UU berjumlah 905 halaman dari pimpinan Baleg DPR saat RUU Cipta Kerja disetujui disahkan di Rapat Paripurna DPR, 5 Oktober lalu. Kemudian pada Senin (12/10) pagi, Indra Iskandar mengirimkan draf berisi 1.035 halaman. Tak hanya halaman yang berubah-ubah, hasil pengecekan Kompas, sejumlah substansi di ketiga draf itu berubah-ubah, Kompas (13/10/2020).
Baca juga: Draf UU Cipta Kerja Diduga Berubah
Tindakan pidana
Namun, Aziz menepis perubahan substansi tersebut. Upaya mengubah substansi yang telah disetujui disahkan di dalam rapat paripurna merupakan tindakan pidana.
Terkait dengan perbedaan substansi antara draf 1.035 halaman dan draf akhir, 812 halaman, terutama di sejumlah pasal di kluster ketenagakerjaan, Supratman Andi Agtas menjelaskan, perubahan untuk diselaraskan dengan keputusan saat RUU masih dibahas.
”Sebenarnya itu tidak mengubah substansi karena itu keputusan panja (panitia kerja) mengembalikan kepada UU yang ada. Jadi, ketentuan Pasal 161-172 UU No 13/2003 (tentang Ketenagakerjaan) itu disepakati di tingkat panja untuk kembali ke UU yang ada. Sementara pada saat dilakukan pengeditan di dalam itu ternyata disimplifikasi. Nah, akhirnya kita kembalikan ke posisinya bahwa semua ketentuan Pasal 161-172 itu dicantumkan di dalam Pasal 154 RUU Cipta Kerja,” katanya.
Meskipun DPR sudah memastikan draf UU Cipta Kerja yang final, dokumen UU tersebut belum dapat diakses publik melalui situs resmi DPR, hingga Selasa malam.
Problem serius
Pengajar komunikasi politik UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Gun Gun Heryanto, melihat ada problem serius dalam hal komunikasi kebijakan oleh DPR dan pemerintah. Ini tak hanya terlihat saat RUU Cipta Kerja, tetapi juga sejumlah UU sebelumnya, seperti revisi UU KPK tahun 2019. Alih-alih menghadirkan harapan dan kepercayaan publik, regulasi-regulasi itu memunculkan skeptisme yang kuat.
Selain itu, buruknya komunikasi publik berujung pada ketidakpercayaan publik. ”Paling tidak, kalau akses publik dibuka secara baik sejak awal, akan menghindari menguatnya prasangka negatif soal ketidaktransparanan perumusan dan pengesahan RUU Cipta Kerja. Hak untuk tahu masyarakat terpenuhi dan tidak terombang-ambing oleh hoaks,” kata Gun Gun.
Ketika ketidakpercayaan publik menguat dan hal itu diekspresikan dalam bentuk penolakan-penolakan, seperti unjuk rasa, ia melihat metode komunikasi publik tak disiapkan dengan matang, baik oleh DPR maupun pemerintah.
”Sehingga saya melihat ada paradoks komunikasi dengan munculnya beragam hoaks. Salah satu penyebabnya adalah pada bagian-bagian yang harus cepat ditangani, seperti soal draf UU Cipta Kerja yang hampir semingguan menjadi polemik, menurut saya ini tidak produktif dari sisi komunikasi kebijakan,” ucapnya.
Ketua Bidang Penyelesaian Sengketa Informasi Komisi Informasi Pusat Arif Adi Kuswardono pun menyoroti buruknya keterbukaan informasi selama pembahasan RUU Cipta Kerja hingga setelah disetujui disahkan. Padahal, transparansi merupakan syarat munculnya partisipasi publik. ”Akseptasi publik pun tidak bisa muncul kalau masyarakat tidak mendapat informasi,” ujarnya.
Baca juga: RUU Cipta Kerja Pasca-persetujuan
Menurut dia, apabila DPR dan pemerintah lebih transparan dan komunikatif dengan publik selama rangkaian penyusunan dan pembahasan, situasi dan kondisi masyarakat akan lebih kondusif pasca-RUU Cipta Kerja disetujui disahkan. ”DPR harus memahami bahwa dengan kemajuan teknologi sekarang ini, sebetulnya publik bisa dihadirkan untuk turut mengawasi perumusan hingga masalah titik koma. Ini menjadi prinsip negara demokrasi,” kata Arif.
Partisipasi publik
Adapun pengajar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengkritisi minimnya partisipasi publik dalam pembahasan RUU Cipta Kerja. Minimnya partisipasi publik itu menunjukkan salah satu kecacatan formal dalam RUU Cipta Kerja. Apalagi, UU No 12/2011 telah menegaskan, partisipasi publik menjadi hal yang integral dalam proses legislasi.
Ia memahami sejumlah serikat pekerja telah diundang dalam proses pembahasan RUU, tetapi RUU Cipta Kerja juga mengatur banyak kluster lain di luar ketenagakerjaan.
”Jadi, stakeholders (pemangku kepentingan) terkait RUU Cipta Kerja ini bukan cuma serikat pekerja, tetapi mulai dari nelayan, masyarakat adat, peternak, hingga notaris. Kalau dicek, akan terlihat betapa terbatasnya partisipasi publik dibandingkan cakupan isu yang diatur oleh RUU Cipta Kerja ini,” kata Bivitri.
Secara terpisah, Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) meminta pemerintah dan DPR untuk tidak sekadar meminta kelompok masyarakat yang tidak setuju dengan RUU guna menempuh jalur pengujian UU ke Mahkamah Konstitusi.
Seharusnya ruang dialog dengan pihak-pihak yang keberatan dibuka dan mendiskusikan jalan keluar yang baik secara hukum dan politik, termasuk mempertimbangkan diterbitkannya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk membatalkan RUU Cipta Kerja.
Pemerintah juga diminta lebih transparan dalam proses RUU Cipta Kerja yang masih akan menempuh dua tahap, yaitu pengesahan dan pengundangan.
Selain itu, pemerintah dan DPR harus memperbaiki proses legislasi agar proses buruk RUU Cipta Kerja tidak terulang. ”UUD 1945 memang mengatur mekanisme pengawasan yudikatif oleh Mahkamah Konstitusi. Namun, kami tidak akan membiarkan Mahkamah Konstitusi menjadi semacam keranjang tempat membuang hasil kerja pembuat undang-undang yang dilakukan asal-asalan,” bunyi pernyataan tertulis dari APTHN-HAN.
Baca juga: RUU Cipta Kerja dan Ironi Kekuasaan Mayoritas
Sebanyak 89 pertemuan
Dalam jumpa pers, Aziz menyampaikan, selama proses pembahasan RUU Cipta Kerja, Panitia Kerja RUU Cipta Kerja telah menggelar pertemuan dengan tokoh masyarakat, tokoh guru, tokoh pendidikan, pengusaha, buruh, dan kelompok masyarakat lainnya hingga 89 kali.
”Proses itu dilakukan baik secara fisik maupun secara virtual,” katanya.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah pun menekankan, pemerintah telah membuka ruang publik untuk menyampaikan masukan terkait RUU saat aturan itu masih dibahas. Sebagai contoh, dalam membahas kluster ketenagakerjaan, pemerintah berdialog dengan kelompok pekerja, pengusaha, akademisi, dan kelompok lainnya, seperti Organisasi Buruh Internasional (International Labor Organization).
Untuk penyusunan rancangan peraturan pemerintah sebagai aturan turunan dari UU Cipta Kerja kelak pun, pemerintah akan melibatkan serikat buruh dan pengusaha. ”Prinsip keterbukaan yang ditunjukkan pemerintah tidak hanya dalam penyusunan UU, tetapi juga akan berlaku saat kami menyusun PP nanti,” katanya. (REK/SPW/BOW/AGE)