RUU Cipta Kerja Pasca-persetujuan
Pengalaman mengajarkan betapa susahnya mendapat kepercayaan, apalagi kalau yang butuh kepercayaan tak tahu kalau dia tak mau paham. Perlu langkah bijak mengambil langkah agar tak menggoyang stabilitas sosial dan hukum.
Publik menyaksikan riuhnya Rapat Paripurna DPR sewaktu memberikan persetujuan terhadap draf Undang-Undang Cipta Kerja, Senin (5/10/2020). Banyak yang senyum-senyum menyimak bersemangatnya pimpinan sidang, atau ketika sedang bersitegang, juga ketika ada yang walk out.
Di media, pemberitaan tentang reaksi yang menyusul juga beragam. Hari-hari berikutnya, entah apa motif dan tujuannya, ada yang demo. Itu yang terkait proses. Lantas, bagaimana pula tanggapan terhadap isi draf undang-undang itu sendiri?
Baca juga : Politik Hukum ”Omnibus” Cipta Kerja
Laporan media mengidentifikasi reaksi di empat spot di bidang ketenagakerjaan, lingkungan, pemerintah daerah/otonomi, dan pendidikan. Setidaknya itu. Atau sejauh ini, itulah yang ramai diperbincangkan.
Bisa saja semua tadi baru sebatas isu-isu yang populer, yang meski tidak jelas benar atau salahnya, memang gampang menyulut emosi negatif. Ada yang bertekad mendemo. Namun, ada pula yang menasihati agar mengujinya ke Mahkamah Konstitusi. Tidak adakah contoh bidang lain yang dampaknya layak diperhatikan dan diantisipasi?
Tidak adakah contoh bidang lain yang dampaknya layak diperhatikan dan diantisipasi?
Kalau dicerna dengan sikap positif, kekhawatiran yang lebih layak diungkap tampaknya tentang kesiapan pelaksanaannya. Ihwal keribetan dan saran antisipasinya sudah diberikan. Bukan saja dalam elaborasi pengaturannya, melainkan lebih lagi dalam kesiapan pengadministrasiannya.
Ambil contoh tentang Pusat Investasi. Bukan soal bagaimana nanti dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Namun, tengoklah sisi lain dari keping kelembagaan itu.
Baca juga : ”Omnibus Law” Tidak Sesuai UU No 12/2011
Bukankah diketahui luas, dulu ada ikrar dan janji untuk berpemerintahan dengan organisasi yang ramping dan efisien? Baru kemarin memangkas kelembagaan (dan kabarnya masih akan ada lagi), sekarang sudah ancang-ancang membentuk lembaga baru lagi. Apalagi di tengah beban berat APBN saat ini.
Reaksi jenaka
Ada lagi yang lebih jenaka. Ada yang jenaka karena bukan mereaksi substansi, melainkan lebih tampil sebagai aktivitas. Mahasiswa dan pelajar ikut berdemo bersama dan menampilkan solidaritas buruh. Jenaka karena tak jelas dalam kaitannya dengan soal pendidikan atau apa, atau malah soal ketenagakerjaan.
Ada lagi kejenakaan lain. Jauh dari makna hibur-menghibur, tetapi lebih dalam konteks politik hukum. Tepatnya politik hak kekayaan intelektual (HKI).
Dalam naskah RUU Cipta Kerja yang diajukan Presiden awal Februari 2020, sejauh tentang HKI, hanya ada satu usulan di Bagian Ketiga, Pasal 110 RUU yang isinya hanya satu pula, yaitu penghapusan Pasal 20 UU Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (UU Paten 2016).
Baca juga : Pembonceng ”Omnibus”
Pasal 20 yang akan dihapus itu mengatur: ”(1) Pemegang Paten wajib membuat produk atau menggunakan proses di Indonesia, (2) Membuat produk atau menggunakan proses sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) harus menunjang transfer teknologi, penyerapan investasi dan/atau penyediaan lapangan kerja.”
Dengan dua artikel terdahulu (Kompas, 13/2/2020 dan 6/3/2020), penulis menyarankan: Pasal 20 UU Paten 2016 jangan dihapus. Batalkan Pasal 110 RUU Cipta Kerja yang diajukan Presiden.
Ada yang jenaka karena bukan mereaksi substansi, melainkan lebih tampil sebagai aktivitas.
Diselamatkan DPR
Sekarang, dalam RUU yang baru-baru ini disetujui dalam Rapat Paripurna DPR, Pasal 20 UU Paten No 13/2016 tak jadi dihapus. Namun, entah apakah itu hikmah dari sebuah koalisi politik yang dibangun Presiden dengan sejumlah parpol atau oleh pertimbangan lain, usulan tentang paten dalam RUU yang diajukan Presiden diselamatkan DPR. Tak menghapus atau meniadakan, DPR mengubah empat Pasal UU Paten 2016, terutama Pasal 20. Termasuk pasal yang diubah adalah Pasal 82 yang tampaknya terpaksa harus disesuaikan dengan perubahan isi Pasal 20.
Oleh DPR, Pasal 20 UU No 13/2016 diubah menjadi sebagai berikut. ”(1) Paten wajib dilaksanakan di Indonesia. (2) Pelaksanaan Paten sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), yaitu: a. Pelaksanaan Paten-produk yang meliputi membuat, mengimpor, atau melisensikan produk yang diberi Paten; b. Pelaksanaan Paten-proses yang meliputi membuat, melisensikan, atau mengimpor produk yang dihasilkan dari proses yang diberi Paten; atau c. Pelaksanaan Paten-metode, sistem, dan penggunaan yang meliputi membuat, mengimpor, atau melisensikan produk yang dihasilkan dari metode, sistem, dan penggunaan yang diberi Paten.”
Baca juga : Jalan Tengah untuk RUU Cipta Kerja
Sementara Pasal 82 diubah sehingga rumusannya menjadi: ”(1) Lisensi-wajib merupakan Lisensi untuk melaksanakan Paten yang diberikan berdasarkan Keputusan Menteri atas dasar permohonan dengan alasan: a. Paten tidak dilaksanakan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dalam jangka waktu 36 (tiga puluh enam) bulan setelah diberikan paten; b. Paten telah dilaksanakan oleh Pemegang Paten atau penerima Lisensi dalam bentuk dan dengan cara yang merugikan kepentingan masyarakat; atau c. Paten hasil pengembangan dari Paten yang telah diberikan sebelumnya tidak bisa dilaksanakan tanpa menggunakan Paten pihak lain yang masih dalam pelindungan. (2) Permohonan Lisensi-wajib sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dikenai biaya.”
Benarkah langkah untuk tak jadi menghapus Pasal 20 UU Paten 2016, tetapi mengubahnya, adalah sebuah penyelesaian win-win, pasti tergantung dari sudut pandangnya. Secara politis, terutama dalam hubungan Presiden dan DPR, hal itu mungkin. Tetapi, dari segi hukum, terutama dari sudut politik HKI, tampillah kejenakaan tadi.
Tetapi, dari segi hukum, terutama dari sudut politik HKI, tampillah kejenakaan tadi.
Kewajiban yang diamanatkan kepada para pemegang paten yang diberi/didaftarkan di Indonesia untuk membuat produk dan menggunakan proses (dalam RUU Cipta Kerja yang baru disetujui = ”wajib dilaksanakan di Indonesia”), bertolak dari prinsip keseimbangan hak dan kewajiban dalam hukum.
Sedari penyusunan UU Paten 1989, hingga perubahan keempat di 2016, asas keadilan dipegang teguh untuk mewujudkan prinsip keseimbangan ini. Ada hak, ada kewajiban. Pembebanan kewajiban itu pun dilandaskan pada asas manfaat, yang diperlukan bagi upaya pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk kegiatan alih teknologi di Indonesia.
Tak bertentangan dengan hukum internasional
Dari sudut hukum internasional, mewajibkan pelaksanaan paten adalah hak berdaulat negara. Baik Organisasi Hak atas Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO/PBB) maupun Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sekalipun tidak melarang. Traktat, konvensi, persetujuan, ataupun protokol (termasuk dan terutama TRIPs) yang diadministrasikan kedua lembaga dunia tadi juga tidak melarangnya.
Ketentuan UU Paten Indonesia dirancang dengan sungguh-sungguh memperhatikan kesesuaian dengan perjanjian internasional di bidang itu. Sebagai perunding HKI baik di WIPO hingga 1997 atau TRIPs dalam Putaran Uruguay GATT/WTO maupun perancangan UU Paten hingga perubahan yang ketiga pada 2001, penulis sangat mengetahui hal tersebut.
Namun, ketika teknik perumusan dalam perubahan Pasal 20 dalam draf UU Cipta Kerja yang minggu lalu disetujui DPR dicermati, kejanggalan yang awalnya tampak tipis, malah kemudian mengganggu logika hukum rumusan Pasal 20 itu sendiri. Bagaimana mungkin, pelaksanaan dijabarkan hingga meliputi ”mengimpor”?
Sudah barang tentu, sebagai kata kerja, mengimpor juga bentuk pelaksanaan kegiatan. Namun, melaksanakan kegiatan mengimpor justru jauh artinya dari wajib memakai atau menggunakan paten di Indonesia! Sekalipun dibalut kata-kata yang sangat tipis bedanya, sungguh besar beda pikiran dasarnya, maknanya, dan wujud akhirnya!
Bagaimana mungkin, pelaksanaan dijabarkan hingga meliputi ”mengimpor”?
Tes berikutnya menyangkut perubahan kata-kata awal pada Pasal 82 tadi. Kalau sudah meliputi arti boleh dengan cara mengimpor, lantas apa makna dan tujuan Pasal 82 itu? Sesungguhnyalah, secara materiil, yang namanya Pelisensian Wajib yang diatur dalam Pasal 82 sebagai sarana dalam politik penyeimbang tadi, menjadi kehilangan makna.
Apabila dapat diungkap dengan bahasa yang lebih jelas (bukan kasar), Presiden ketika mengajukan RUU mungkin tak diberi pemahaman yang lengkap tentang hal ini. Sebaliknya, walau dengan niat yang baik, upaya DPR memberikan ”jalan keluar” itu pun malah membuat kita semua bagai tersesat dalam soal politik dan UU Paten tadi. Jenaka, bukan?
Siapa yang diuntungkan? Entah itu berkat tangan ketiga, keempat, atau tangan gaib, pemegang patenlah yang diuntungkan. Bukan rahasia, ada raksasa usaha yang jejaknya di dunia paling gigih merontokkan politik paten tadi demi politik dagang internasional mereka.
Bukan rahasia, bagi kelompok tersebut, strategi plastisnya adalah compulsory licensing must die! Kalaupun mereka hadir sebagai entitas nasional, dan nyatanya membuat obat di Indonesia, sesungguhnya mereka tidak memerlukan perubahan tadi. Pengecualiannya, hanya pada obat atau vaksin baru.
Dalam kalkulasi dagang internasional, mereka lebih untung jika volume peredaran produk dan harga dapat dikendalikan oleh perusahaan induk. Untuk itu, baru yang namanya perubahan Pasal 20 menjadi sangat berarti bagi mereka.
Namun, itukah yang dimaksud dengan ”kemudahan berusaha” dalam RUU Cipta Kerja? Patut dicermati, sekali lagi, tidak semua pemegang paten itu pengusaha, atau berusaha, atau investor. Sedari perancangan UU Paten 1989 hingga 2016, ataupun selama proses perundingan TRIPs, demikianlah keadaannya.
Apakah usul penghapusan—walau akhirnya hanya menjadi perubahan Pasal 20 dan 82 yang jenaka tadi—karena kibasan berbisa tersebut, wallahualam. Apakah Presiden nantinya mengesahkan RUU tadi menjadi UU? Wallahualam juga.
Sedari awal sudah disampaikan, niat dan tujuan RUU Cipta Kerja itu baik. Hanya cakupan dan perumusannya yang dikhawatirkan akan menjadi masalah. Bukankah inti persoalannya kemudahan investasi dan berusaha serta perizinannya? Baik untuk diingat, ide dan perumusan awal RUU sudah berlangsung jauh sebelum usrek soal Covid-19!
Kalaupun kebutuhan membangkitkan (kembali) ekonomi yang rentan gara-gara Covid-19 saat ini dan nanti lantas menjadi lebih besar, bijakkah mengambil langkah yang justru menggoyang stabilitas sosial dan hukum, yang sesungguhnya dapat dihindari?
Pengalaman pula yang mengajarkan betapa susahnya mendapat kepercayaan, apalagi kalau yang butuh kepercayaan tak tahu kalau dia tak mau paham.
Bambang Kesowo
Pemerhati Masalah HKI