Segera Buka Akses Publik terhadap Draf RUU Cipta Kerja
Hampir sepekan sejak disetujui oleh DPR, draf final RUU Cipta Kerja belum dapat diakses oleh publik. Baleg DPR menjanjikan draf itu dapat diakses pada awal pekan depan.
Oleh
Tim Kompas
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat harus segera membuka akses bagi publik untuk mendapatkan draf Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang sudah disetujui untuk disahkan. Draf tersebut dibutuhkan masyarakat agar dapat menelaah RUU Cipta Kerja secara kritis guna mempersiapkan konstruksi hukum saat memohonkan uji materi dan uji formil undang-undang ini ke Mahkamah Konstitusi.
Sejumlah elemen masyarakat sipil berencana menguji konstitusionalitas RUU tersebut ke MK. Presiden Joko Widodo juga mempersilakan ketidakpuasan terhadap RUU Cipta Kerja disalurkan ke MK (Kompas, 10/10/2020).
Namun, hingga Sabtu (10/10/2020), atau hampir sepekan sejak RUU Cipta Kerja disetujui untuk disahkan DPR pada 5 Oktober, draf finalnya belum bisa diakses publik. Di laman dpr.go.id, progres RUU Cipta Kerja terhenti di pleno pengambilan keputusan atas hasil pembahasan RUU Cipta Kerja 3 Oktober 2020. Draf final belum diunggah.
Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR Netty Prasetiyani mengatakan, sebagai bagian dari anggota Panitia Kerja RUU Cipta Kerja, fraksinya hingga kini tak mendapat draf hasil pembahasan Panja dan Tim Perumus Badan Legislasi DPR.
”Bagaimana mungkin bisa terjadi undang-undang disahkan, sementara anggota Panja saja belum menerima naskah otentiknya,” ujarnya.
Dalam Sidang Paripurna DPR 5 Oktober, tujuh fraksi menyetujui pengesahan RUU Cipta Kerja, sedangkan dua fraksi menolak, yakni Partai Keadilan Sejahtera dan Demokrat.
Ketua Bidang Penyelesaian Sengketa Informasi Komisi Informasi Pusat Arif Adi Kuswardono mengatakan, ketika sudah disetujui untuk disahkan dalam rapat paripurna, draf RUU Cipta Kerja seharusnya dibuka kepada publik. Dokumen itu perlu diunggah di laman DPR.
Hal ini kian penting mengingat RUU Cipta Kerja memicu gelombang penolakan karena dianggap merugikan masyarakat. DPR harus memberikan akses terbuka terhadap dokumen ini agar bisa dikritisi.
Arif melihat implikasi dari ketidakterbukaan informasi itu serius. Masyarakat yang coba membedah dan mengkritisi RUU Cipta Kerja dituduh menyebarkan hoaks karena draf final belum ada. Pada saat yang sama, pemerintah mengklaim informasi yang beredar di masyarakat sebagai hoaks.
Ketua Baleg DPR sekaligus Ketua Panja RUU Cipta Kerja Supratman Andi Agtas memastikan naskah RUU Cipta Kerja telah final. Namun, tim masih menyisir naskah itu guna menemukan salah ketik atau pengulangan kata. Karena itu, naskah belum dibuka kepada publik.
Ia berharap, penyisiran selesai pada Senin (12/10/2020) sehingga dapat ditampilkan di situs DPR. Dia juga membantah tudingan soal proses yang serba tertutup terkait pengesahan RUU Cipta Kerja. Ia berjanji, penyisiran tak akan menyentuh substansi RUU tersebut.
”Ngapain ditutup-tutupin. Yang kami khawatirkan, jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak dibahas masuk. Jadi, kami teliti betul. Saya selaku ketua panja juga harus bertanggung jawab untuk melihat mana yang masih salah karena ini barang tebal banget,” katanya.
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Firman Noor menyayangkan ketidakterbukaan DPR. ”Hal ini refleksi dari oligarki, bagaimana mereka biasa bekerja di ruang tertutup dengan kalangan terbatas untuk menentukan nasib orang banyak,” ujar Firman.
Menurut dia, alasan perbaikan salah ketik tidak bisa diterima mentah-mentah. Alasannya, dengan perbaikan di ruang tertutup, pasal-pasal yang telah disepakati rawan dipolitisasi sehingga dimanfaatkan kalangan tertentu.
Terkait uji formil dan uji materiil, Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Padang Feri Amsari mengaku skeptis pada independensi MK setelah ada revisi UU MK. Revisi UU MK mengatur perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi dari lima tahun menjadi 15 tahun.
Selain itu, hakim MK juga pensiun sampai usia 70 tahun asalkan keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 tahun. Revisi UU MK dinilai rawan konflik kepentingan karena diterapkan untuk hakim yang saat ini menjabat.
Sebaliknya, pengamat hukum tata negara Refly Harun menaruh optimisme pada MK. Meskipun revisi UU MK oleh DPR menjadi ”hadiah” bagi hakim yang sekarang menjabat, Refly berharap MK tetap independen dan pro terhadap kepentingan rakyat.
Menanggapi hal itu, juru bicara Mahkamah Konstitusi, Fajar Laksono, mengatakan, MK akan tetap jernih dalam berpikir untuk menegakkan hukum dan keadilan dalam momentum apa pun. Untuk membuktikan dan mengawal itu semua, publik diminta memantau seluruh kinerja, terutama penanganan perkara yang aksesnya telah dibuka seluas-luasnya.
Sementara itu, Polri menyatakan akan terus memeriksa ribuan orang yang sudah ditangkap untuk mengungkap auktor intelektualis demonstrasi penolakan RUU Cipta Kerja yang terjadi pada 7-9 Oktober.
Menurut Kepala Divisi Humas Polri Irjen Argo Yuwono, polisi mengamankan 5.918 orang di seluruh polda dalam unjuk rasa menolak RUU Cipta Kerja. Mereka ditangkap karena diduga membuat kericuhan. Dari hasil pemeriksaan, Polri menaikkan status 240 orang ke tahap penyidikan atau proses pidana.
Polri masih memeriksa mereka yang sudah ditangkap dan mengumpulkan barang bukti untuk mengungkap auktor intelektualis. Jika tidak ditemukan barang bukti, Polri akan membebaskan pengunjuk rasa. ”Pada prinsipnya, yang tidak ada barang bukti pasti dilepas,” ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen (Pol) Awi Setiyono. (DEA/BOW/DIT/NSA/EGI/JOG/HLN)