Uji Konstitusionalitas UU Cipta Kerja Sekaligus Jadi Ujian Independensi MK
Uji konstitusionalitas terhadap UU Cipta Kerja akan sekaligus menjadi ujian independensi MK yang baru mendapat “hadiah” revisi UU MK dari DPR. Di tengah skeptisisme itu, MK menegaskan akan menjaga independensinya.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi menjadi harapan masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang sudah disetujui pengesahannya oleh DPR pada 5 Oktober. Uji formil maupun uji materi terhadap UU Cipta Kerja akan sekaligus menjadi ujian independensi MK yang disebut masyarakat sipil baru mendapat ”hadiah” revisi UU MK dari DPR.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Padang Feri Amsari saat dihubungi, Sabtu (10/10/2020), mengatakan, pihaknya skeptis pada independensi MK setelah ada revisi UU MK. Revisi UU MK mengatur perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi dari lima tahun menjadi 15 tahun.
Selain itu, hakim MK juga pensiun sampai usia 70 tahun asalkan keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 tahun. Revisi UU MK itu dinilai rawan konflik kepentingan karena diterapkan untuk hakim yang saat ini menjabat.
”Sehingga muncul praduga bahwa tidak mungkin DPR memanjakan hakim konstitusi jika tidak ada kesepakatan lebih lanjut. Saya menduga negosiasi ini sudah dirancang sejak awal karena MK akan menangani banyak pengujian UU bermasalah seperti UU KPK, UU Penanganan Covid-19, UU Minerba, hingga yang terbaru UU Cipta Kerja,” kata Feri.
Menurut Feri, jika memang ingin menjaga independensi MK, seharusnya revisi UU MK berlaku untuk hakim periode selanjutnya. Sikap MK pun tidak menolak terhadap revisi UU tersebut. Ini mengindikasikan bahwa MK periode sekarang berbeda dengan MK periode sebelumnya.
Dalam bentuk putusan, independensi MK juga belum teruji. Sebab, produk legislasi problematik yang diuji belum ada yang diputus. Misalnya, revisi UU KPK yang diuji secara formil dan materiil oleh tujuh pemohon berbeda. Sampai saat ini, MK belum mengeluarkan putusan. Demikian juga dengan uji materi UU Penanganan Covid-19, sampai saat ini juga belum diputus oleh MK.
”Masyarakat hanya bisa menunggu apa putusan MK setelah revisi UU MK. Setelah itu, baru dilihat isi dan pertimbangan konstitusionalnya,” kata Feri.
Dalam laporan akhir tahun MK tahun 2019, Presiden Joko Widodo pernah meminta agar MK mendukung UU Sapu Jagat (omnibus law). Saat itu, ia mengatakan bahwa dukungan MK dibutuhkan untuk memastikan tiap pihak mengusung satu visi besar untuk menciptakan hukum yang fleksibel, sederhana, kompetitif, dan responsif.
Menurut Feri, hal itu sangat melanggar prinsip independensi peradilan. Meskipun hanya disampaikan di pidato, pihak-pihak yang berpotensi berperkara tidak boleh menanyakan atau mengatakan tentang UU yang berpotensi diuji.
Melihat kondisi MK saat ini, Feri juga mengingatkan bahwa pilihan untuk menguji UU di MK memiliki tantangan tersendiri. Untuk maju ke MK, dibutuhkan argumen dan pembuktian hukum yang kuat. Prosesnya pun akan panjang. Dan selama UU sudah disahkan dalam lembaran negara, UU itu tetap berlaku. Apalagi, jika gugatan ditolak oleh MK, UU Cipta Kerja akan memiliki legitimasi kuat karena dinyatakan konstitusional oleh MK.
Sementara itu, pengamat hukum tata negara Refly Harun justru menaruh optimisme pada MK. Menurut dia, dengan perpanjangan masa jabatan hakim, kini hakim konstitusi tidak menunggu sinyal dari Istana dan DPR. Meskipun revisi UU MK oleh DPR menjadi ”hadiah” bagi hakim yang sekarang menjabat, Refly berharap MK tetap bisa independen dan pro terhadap kepentingan rakyat.
Dia juga berharap independensi MK tidak terpengaruh meskipun mendapatkan perpanjangan masa jabatan dan pensiun. ”Mudah-mudahan saja tetap independen, tidak mudah dilobi dan lebih berpihak pada kepentingan rakyat,” kata Refly.
Menanggapi skeptisisme terhadap independensi MK, Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono mengatakan, MK akan tetap akan jernih dalam berpikir untuk menegakkan hukum dan keadilan dalam momentum apa pun. Untuk membuktikan dan mengawal itu semua, publik diminta memantau seluruh kinerja, terutama penanganan perkara yang aksesnya telah dibuka seluas-luasnya kepada publik.
”Insya Allah, peristiwa atau momentum apa pun tidak memengaruhi kejernihan berpikir MK dalam menegakkan hukum dan keadilan,” kata Fajar.
Refly mengatakan, masyarakat berhak menguji UU Cipta Kerja di MK. Sebab, UU itu dianggap telah memunculkan ketidakpastian hukum. Itu lantaran begitu banyaknya kluster yang diatur dalam UU Sapu Jagat tersebut. Jika sejak awal tujuannya untuk menarik investor ke Indonesia, seharusnya UU Cipta Kerja hanya mengatur soal perizinan dan investasi.
Sementara dalam UU Cipta Kerja, ada pengaturan soal ketenagakerjaan, perpajakan, pendidikan, dan sebagainya. Ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Karena dengan berlakunya UU Cipta Kerja, 70 lebih aturan yang ada UU sebelumnya akan dibatalkan.
”UU Cipta Kerja akan menimbulkan ketidakpastian hukum di Indonesia. Karena terlalu banyaknya kluster yang diatur dalam UU Sapu Jagat tersebut,” kata Refly.
Terkait dengan format pengujian di MK, Feri Amsari menyarankan agar sebaiknya dipisah antara uji formil dan uji materiil. Uji formil jika dikabulkan akan membatalkan UU seluruhnya. Lebih baik, hal ini diajukan terlebih dahulu. Apalagi, banyak fakta yang menunjukkan bahwa penyusunan UU ini serba cepat dan melanggar partisipasi publik. Setelah uji formil diajukan, uji materiil untuk menguji pasal-pasal tertentu bisa dilakukan.
”Sebaiknya masyarakat yang akan menguji UU Cipta Kerja di MK membagi peran. Karena akan rugi jika diuji dua sekaligus, masyarakat harus lebih jeli dan teliti,” kata Feri.
Potensi perppu kecil
Terkait kemungkinan Presiden Joko Widodo mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), Feri mengatakan opsi itu kecil jika melihat pola dan sikap Presiden. Menurut dia, Presiden saat ini kerap mengambil keputusan tanpa mendengarkan aspirasi publik. Presiden akan tetap berjalan jika keputusan itu sesuai dengan kepentingannya. Untuk UU Cipta Kerja ini, kepentingan Presiden adalah aspek ekonomi. Apalagi, UU ini awalnya juga merupakan ide dari Presiden.
”Memang sudah pernah terjadi, Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) mencabut UU Pilkada yang mengatur pemilihan langsung menjadi pemilihan oleh DPRD. Namun, sepertinya hal itu tidak akan dilakukan Jokowi,” kata Feri.
Senada dengan Feri, Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Wilayah Jakarta Bivitri Susanti mengatakan, perppu diduga bukan pilihan yang akan diambil.
Pertama, perppu mensyaratkan hal ihwal kegentingan memaksa sehingga perppu sangat bergantung pada Presiden. Sementara dalam konteks UU Cipta Kerja, Presiden yang memerintahkan membuat RUU tersebut.