Pemerintah Didorong Lakukan Dialog
Setelah pengesahan RUU Cipta Kerja, yang menimbulkan aksi massa di Tanah Air, pemerintah didorong berdialog dengan publik seiring meningkatnya eskalasi unjuk rasa dan penolakan massa terhadap pengesahan UU tersebut.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah didorong untuk melakukan dialog dengan publik seiring dengan meningkatnya eskalasi unjuk rasa dan penolakan massa terhadap pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Sejumlah tokoh dan organisasi kemasyarakatan mendorong pemerintah untuk lebih terbuka dalam berdialog dan menerima masukan publik serta mendengarkan aspirasi mereka mengenai RUU Cipta Kerja.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti, saat dihubungi, Kamis (8/10/2020), mengatakan, dengan banyaknya unjuk rasa dan penolakan oleh berbagai elemen, mestinya pemerintah memahami suasana psikologis dan kekecewaan masyarakat. ”Perlu dialog dengan elemen masyarakat, terutama dengan yang berkeberatan. Pemerintah hendaknya tidak menggunakan pendekatan kekuasaan semata-mata,” kata Mu’ti.
Dalam menyikapi RUU Cipta Kerja, sejak awal penyusunan dan pembahasan RUU, PP Muhammadiyah telah memberikan masukan kepada pemerintah dan DPR. Melalui kajian dari tim ahli bidang hukum dan hak asasi manusia (HAM), serta berbagai diskusi dengan akademisi, PP Muhammadiyah telah menyampaikan pandangannnya terhadap RUU Cipta kerja. Muhammadiyah menilai RUU itu tidak sesuai dengan konstitusi. Muhammadiyah bahkan telah menyurati semua pimpinan partai politik (parpol) dan pimpinan DPR terkait pembahasan RUU Cipta Kerja.
Baca Juga: Politik Hukum RUU Cipta Kerja
Di dalam suratnya, Muhammadiyah menilai RUU Cipta Kerja menyalahi moralitas konstitusi dan Pancasila yang termaktub di dalamnya. Di samping itu, pembahasannya juga tidak partisipatif dan tidak demokratis. Substansi RUU juga bertentangan dengan realitas masyarakat yang semakin termarjinalkan oleh sistem politik dan ekonomi.
Perlu dialog dengan elemen masyarakat, terutama dengan yang berkeberatan. Pemerintah hendaknya tidak menggunakan pendekatan kekuasaan semata-mata.
Namun, setelah RUU itu disetujui DPR, Senin lalu, Mu’ti mengatakan, Muhammadiyah masih akan mempelajari terlebih dahulu substansi RUU Cipta Kerja. ”Muhammadiyah masih akan mempelajari UU Cipta Kerja setelah secara resmi diundangkan oleh pemerintah. Judicial Review (uji materi) dilakukan jika terdapat pasal-pasal yang bertentangan dengan UUD 1945 dan ada kerugian konstitusional akibat pelaksanaan suatu undang-undang. Muhammadiyah masih wait and see,” kata Mu’ti.
Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj mengatakan, RUU Cipta Kerja harus dipandang dengan kritis. Namun, sikap kritis itu harus disampaikan secara elegan. ”Mari kita cari jalan keluar yang elegan, yang seimbang dan tawassuth (moderat). Kepentingan buruh dan rakyat kecil harus kita jamin, terutama yang menyangkut pertanahan, kedaulatan pangan, dan pendidikan,” katanya.
Said menilai, UU Cipta Kerja itu juga tidak seimbang karena cenderung hanya menguntungkan satu kelompok, dan menindas kelompok lainnya, seperti buruh, petani, dan rakyat kecil. Oleh karena itu, ia mengungkapkan warga NU harus memiliki sikap tegas dalam menilai UU Cipta Kerja. Namun, sikap warga NU harus tetap elegan dan tidak boleh anarkis.
”Untuk menyikapi UU yang baru saja diketok ini, warga NU harus melakukannya dengan sikap kritis tapi elegan. Tidak boleh anarkistis karena itu tidak ada gunanya,” katanya.
Pemerintah dan elite politik pun diharapkan terbuka, mau mendengarkan, dan tidak memanfaatkan suara rakyat atau publik hanya untuk kepentingan pemilu. Said mengatakan, suara publik terkait dengan isu-isu kesejahteraan harus didengarkan oleh pemerintah dan elite politik. ”Kalau sedang Pilkada, Pileg, dan Pilpres suaranya (rakyat) dibutuhkan. Tetapi kalau sudah selesai (rakyat) ditinggal. UUD 1945 Pasal 33 itu hanya tulisan di atas kertas, tetapi tidak pernah diimplementasikan,” ujarnya.
Uji konstitusionalitas
Sementara itu, sejumlah elemen masyarakat tengah menyiapkan pengajuan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Pengajuan resminya masih harus menunggu UU itu disahkan oleh presiden sehingga memperoleh nomor UU. Dari kalangan NU, Lembaga Pendidikan (LP) Maarif secara tegas menyatakan akan mengajukan uji materi ke MK terhadap Pasal 65 UU Cipta Kerja.
Ketua LP Maarif, Arifudin Junaidi, mengatakan, pihaknya akan menguji Pasal 65 UU Cipta Kerja tentang kluster pendidikan. Di dalam pasal itu diatur mengenai ketentuan sekolah harus mengurus izin berusaha. Pengaturan itu dinilai bertentangan dengan filosofi pendidikan yang merupakan elemen nirlaba. Selain itu, DPR mengatakan telah mencabut kluster pendidikan dari UU Cipta Kerja. Namun, pada kenyataannya kluster itu tetap ditemui di dalam draf UU.
”Sudah ada putusan MK yang mengatakan pendidikan itu nirlaba. Namun, jika merujuk pada UU ini, pendidikan harus memiliki izin berusaha sehingga orientasinya mencari laba. Ini, kan, bertentangan dengan konstitusi. Karena kami bergerak di pendidikan, kami menyikapi pasal tentang pendidikan itu saja,” ujarnya.
Sudah ada putusan MK yang mengatakan pendidikan itu nirlaba. Namun, jika merujuk pada UU ini, pendidikan harus memiliki izin berusaha sehingga orientasinya mencari laba. Ini, kan, bertentangan dengan konstitusi. Karena kami bergerak di pendidikan, kami menyikapi pasal tentang pendidikan itu saja. (Arifudin Junaidi)
Menurut Arifudin, LP Maarif selama ini berupaya memenuhi amanat konstitusi yang mengatakan pendidikan adalah hak setiap warga negara. Salah satu tujuan bernegara ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, keharusan bagi lembaga pendidikan untuk memiliki izin berusaha itu dipandang tidak sesuai dengan amanat konstitusi.
”Kami memiliki 13.000 madrasah. Kalau dari ribuan madrasah itu diwajibkan mengurus izin berusaha, kami mungkin tidak sanggup memenuhi syarat-syarat itu. Bagaimana nanti nasib sekolah kami kalau tutup karena tidak memiliki izin berusaha. Apakah pemerintah mau menanggung syarat-syarat itu,” katanya.
Saat sejumlah kalangan masyarakat sipil mulai berencana mengajukan uji konstitusionalitas di MK, dinamika politik dalam prosedur pembahasan dan pengesahan RUU Cipta Kerja itu masih berlangsung di DPR. Hingga saat ini, draf resmi dari RUU Cipta Kerja yang disetujui oleh DPR belum final. Draf yang sebelumnya beredar diketahui belum final karena harus melalui pengecekan dan perbaikan dari sisi tanda baca dan penyempurnaan redaksional.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Didi Irawadi Syamsuddin, mengatakan, tidak ada satu lembar pun naskah RUU Cipta Kerja yang dibagikan saat sidang paripurna, 5 Oktober 2020. ”Sudah 3 periode saya jadi anggota DPR, baru kali ini saya punya pengalaman yang tidak terduga. Pimpinan DPR telah mengesahkan RUU yang sesat dan cacat prosedur. Tidak ada selembar pun naskah RUU terkait Cipta Kerja yang dibagikan saat rapat paripurna, 5 Oktober 2020,” katanya.
Didi mengatakan, seharusnya sebelum palu keputusan diketok, RUU Cipta Kerja sudah bisa dilihat dan dibaca oleh anggota DPR. Namun, hingga saat ini draf final itu belum diperoleh oleh anggota DPR. ”Sebagai perbandingan, jangankan RUU Cipta Kerja yang sangat penting ini. Bahan-bahan untuk rapat tingkat komisi dan badan saja kami bisa mendapatkannya beberapa hari sebelumnya. Kenapa justru RUU Cipta Kerja yang berdampak luas pada kehidupan kaum buruh, UMKM, lingkungan hidup, dan lain-lain, tidak tampak naskahnya sama sekali,” ujarnya.
Belum adanya draf final itu dipertanyakan Didi karena dengan demikian tidak jelas draf UU mana yang disahkan dalam sidang paripurna tersebut.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Amin AK, mengatakan, dirinya sampai saat ini juga belum mendapatkan draf RUU Cipta Kerja. Hingga dua hari ketika draf itu disetujui DPR, belum ada kejelasan karena dijawab masih sedang dirapikan. ”Ini sudah masa reses. Sampai sekarang saya belum menerima dan teman-teman anggota sepengetahuan saya juga belum menerima dokumen yang resmi,” ujarnya.
Belum siapnya draf RUU Cipta Kerja ini mencerminkan pengesahan UU itu juga dilakukan secara terburu-buru. Akibatnya, ketika disahkan pun drafnya belum siap sepenuhnya. Bahkan, menurut Amin, seharusnya ketika pembahasan di Baleg draf itu sudah selesai.
Draf belum siap
Dihubungi secara terpisah, Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi mengatakan, bahan yang wajib dibagikan sesuai tata tertib DPR ialah pidato pimpinan DPR dalam pembukaan dan penutupan masa sidang, serta bahan rapat kerja dengan pemerintah dan pakar. Naskah atau draf UU yang akan disahkan tidak wajib diberikan kepada anggota DPR.
Draf ada dan disahkan. Tetapi kita, kan, ada waktu untuk cross check yang salah ketik, salah tanda baca. Yang penting jangan mengubah substansi. Karena dulu ada pengalaman RUU yang diundangkan ada salah ketik terlewat lalu diserahkan ke pemerintah. Seperti soal umur 50 (empat puluh), itu kan harus dikonfirmasi lagi ke DPR.
”Draf ada dan disahkan. Tetapi kita, kan, ada waktu untuk cross check yang salah ketik, salah tanda baca. Yang penting jangan mengubah substansi. Karena dulu ada pengalaman RUU yang diundangkan ada salah ketik terlewat lalu diserahkan ke pemerintah. Seperti soal umur 50 (empat puluh), itu, kan, harus dikonfirmasi lagi ke DPR,” ujarnya.
Baca Juga: Konferensi Pers Penjelasan UU Cipta Kerja
Selain itu, problem teknis juga menjadi alasan naskah belum dapat dicetak. Baidowi beralasan, tidak ada percetakan yang sanggup mencetak hampir 1.000 halaman dalam waktu 24 jam untuk 575 orang.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi, mengatakan, belum siapnya draf UU Cipta Kerja mengonfirmasi pembahasan UU yang tertutup dan tidak partisipatif. Prinsip keterbukaan dan kehati-hatian yang diatur di dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tidak dijalankan oleh pemerintah dan DPR dalam pembahasan UU Cipta Kerja.
”Jadi, sebenarnya draf mana yang disahkan. Lalu, pandangan Ketua Baleg dan fraksi-fraksi kemarin yang disampaikan di dalam sidang paripurna itu berdasarkan pada draf yang mana. DPR kini tidak bisa lagi berlindung di balik upaya ketok palu pengesahan karena setiap anggota DPR memiliki tanggung jawab kepada konstituennya masing-masing,” katanya.