Masyarakat sipil menyayangkan melemahnya KPK satu tahun pascarevisi UU KPK. Padahal, lembaga itu selama ini menjadi lokomotif bagi upaya pemberantasan korupsi.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang disahkan pada 17 September 2019 dinilai telah memberikan dampak buruk pada upaya pemberantasan korupsi. KPK dipandang makin melemah, kepercayaan publik pun menurun.
Mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas mengatakan, reformasi dikorupsi menjadi opini masyarakat sipil setelah KPK dilumpuhkan melalui revisi UU KPK tahun lalu. Penolakan secara masif terhadap undang-undang hasil revisi terjadi di sejumlah daerah. Dua mahasiswa di Kendari, Sulawesi Tenggara, bahkan terluka dalam aksi massa untuk meminta pemerintah menghentikan revisi UU KPK.
Dalam diskusi ”Refleksi 1 Tahun Revisi UU KPK: Mati (Suri)nya Pemberantasan Korupsi” yang diselenggarakan Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Senin (21/9/2020), Busyro mengungkapkan, sejak revisi dilakukan, independensi KPK menjadi hilang. KPK menjadi aparat pemerintah. Pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) sehingga menimbulkan konflik kepentingan dalam politik dan bisnis. Penempatan perwira tinggi Kepolisian Negara RI di KPK semakin banyak.
Selain Busyro, hadir sebagai pembicara adalah Direktur Pukat UGM Oce Madril; Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati; pengajar Ilmu Hukum dan Peneliti Pukat Korupsi FH UGM, Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar; serta Koordinator Jaringan Gusdurian Alissa Wahid.
Dengan hilangnya independensi itu, menurut Busyro, KPK terancam kesulitan membongkar aktor utama dan mengusut tuntas kasus-kasus besar. Kasus-kasus itu, misalnya, korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Meikarta, bekas komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), proyek reklamasi, Bank Century, dan e-KTP. Sikap pimpinan KPK juga terlihat pasif terhadap skandal kasus Joko Tjandra, terpidana dalam perkara cessie Bank Bali.
Zainal Arifin Mochtar menambahkan, saat ini KPK telah mengalami langkah ke arah yang keliru dalam memberantas korupsi. Ia pun mengkritik Ketua KPK Firli Bahuri yang menunjukkan perilaku hidup mewah saat menggunakan helikopter dalam perjalanan menuju Baturaja, Sumatera Selatan.
Oce Madril mengungkapkan, revisi UU KPK telah mendapatkan penolakan dari mahasiswa dan memunculkan sejumlah gerakan dari masyarakat sipil secara masif. Akan tetapi, penolakan tersebut justru berdampak buruk, salah satunya peretasan media sosial dan gawai terhadap aktivis. Ia menilai buruknya kinerja legislasi berimbas pada kebebasan sipil.
Sementara itu, Alissa Wahid menyayangkan perubahan yang terjadi pada KPK saat ini. Sebab, selama ini KPK telah menjadi lokomotif dan memimpin dalam upaya pemberantasan korupsi. Menurut dia, KPK merupakan pegangan dalam gerakan antikorupsi bagi masyarakat Indonesia.
Persepsi publik terhadap kinerja KPK juga tecermin dalam jajak pendapat Litbang Kompas pada 17-20 Juni 2020. Sebanyak 56,9 persen responden mengaku tak puas pada kinerja KPK dalam mencegah dan memberantas korupsi.
Citra KPK juga menurun. Hasil jajak pendapat Juni 2020 menunjukkan, 44,6 persen responden menjawab citra KPK baik. Angka tersebut lebih kecil dibandingkan dengan hasil jajak pendapat pada Januari 2020, saat terdapat 64,2 persen responden yang menjawab citra KPK baik.
Persepsi masyarakat terkait citra KPK pada medio Juni tersebut tercatat menjadi yang terburuk dalam delapan jajak pendapat secara berkala oleh Litbang Kompas dari Januari 2015 hingga Juni 2020.
Sementara itu, salah satu pemimpin KPK saat ini tidak sependapat dengan penilaian-penilaian tersebut. Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar mengatakan, revisi UU KPK tak membatasi ruang gerak KPK dan tetap seperti biasa.
”Tidak ada yang dibatasi, malah dikuatkan (dan) dipastikan juga seperti kewenangan eksekusi,” kata Lili.