Sidang putusan dugaan pelanggaran kode etik Ketua KPK Firli Bahuri akan digelar pada Selasa (15/9/2020). Pelapor dugaan pelanggaran itu dan sejumlah pihak menilai Firli layak dijatuhi sanksi berat.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri dinilai layak diberi sanksi berat dalam kasus dugaan pelanggaran kode etik karena menggunakan helikopter mewah untuk keperluan pribadi pada Juni 2020. Pelanggaran tersebut dianggap telah merugikan KPK sebagai lembaga negara.
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman yang merupakan pelapor kasus dugaan pelanggaran etik tersebut, Minggu (13/9/2020), mengatakan, ia menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
”Harapannya, ya, Dewas menyatakan Firli terbukti melanggar etik dan dikenai sanksi mengundurkan dari jabatan Ketua KPK,” kata Boyamin. Menurut Boyamin, pemberian sanksi berat tersebut dapat dijatuhkan karena Firli diduga telah bergaya hidup mewah.
Senada dengan Boyamin, pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, Firli layak diberikan sanksi berat karena KPK adalah lembaga penegak hukum independen yang mempunyai tugas dan fungsi pemberantasan serta pencegahan korupsi. Pengertian korupsi tidak terbatas pada merugikan keuangan negara, tetapi juga menerima suap dan gratifikasi, seperti menerima fasilitas dari pihak lain.
Oleh karena itu, KPK harus diisi oleh orang-orang, terutama komisionernya, dengan standar moral dan integritas yang tinggi. Sebab, sumber daya manusia di KPK tidak hanya menjadi pelaksana tugas-tugas KPK, tetapi juga menjadi teladan bagi insan penegak hukum lain.
”Integritas dan standar moral yang tinggi menjadi sebuah persyaratan yang mutlak melekat pada pribadi komisionernya. Dengan perilaku yang bergaya hidup mewah (naik helikopter untuk kepentingan pribadi), maka itu jelas sebuah tindakan yang tidak etis,” kata Fickar.
KPK memiliki standar integritas yang tinggi sehingga bergaya hidup mewah merupakan pelanggaran etika berat dan cukup beralasan serta adil jika Firli dihukum dengan pencopotan jabatan.
Dalam peraturan Dewas KPK tentang etika telah diatur larangan gaya hidup hedonisme sebagai bentuk empati kepada masyarakat, terutama kepada sesama insan komisi.
Ia menegaskan, pelanggaran integritas sangat merugikan KPK sebagai lembaga negara yang artinya sama dengan merugikan negara. ”Kerugian dalam konteks etis itu tidak terbatas pada kerugian materiil, tetapi juga kerugian imateriil, dalam hal ini kerugian yang bersifat tidak nyata, seperti nama baik,” kata Fickar.
Fickar menegaskan, tercemarnya nama lembaga, bahkan kerugian imaterial terhadap negara sekecil apa pun berpengaruh dan merugikan negara.
Jika terbukti dugaan penggunaan helikopter itu merupakan sumbangan dari pengusaha, tindakan tersebut mengarah pada pelanggaran hukum. Dalam Undang-Undang KPK disebutkan, untuk bertemu dengan pihak yang sedang terkait perkara di KPK diancam sebagai kejahatan dengan hukuman lima tahun penjara.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, mengatakan, dalam Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK Pasal 9 Angka (3) Huruf C disebutkan, ”Dampak atau kerugian terhadap Negara termasuk Pelanggaran Berat”.
Ia menjelaskan, dampak kerugian pada negara tidak hanya dari sektor ekonomi. Dewas KPK tidak dapat melihat kasus ini secara parsial. Sebab, apa yang telah dilakukan Firli telah menjatuhkan citra KPK.
Kurnia menegaskan, KPK merupakan bagian negara sehingga rusaknya citra KPK mengakibatkan kerugian terhadap negara. Meskipun Firli berdalih perbuatan tersebut dilakukan saat cuti, hal tersebut tetap tidak bisa dibenarkan. Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyatakan, Ketua KPK menggunakan helikopter demi efisiensi waktu karena dia cuti hanya sehari (Kompas, 5/8/2020).
Firli juga menepis tudingan bahwa dirinya bergaya hidup mewah dengan menyewa helikopter saat melakukan perjalanan di Sumatera Selatan, akhir Juni 2020. Firli beralasan, penggunaan helikopter saat itu karena kebutuhan dan tuntutan kecepatan tugas. Dia juga mengaku membayar biaya sewa helikopter itu dari kantong pribadinya (Kompas, 26/8/2020).
Anggota Dewas KPK, Syamsudin Haris, mengatakan, sidang etik Firli sudah selesai dan tinggal sidang putusan pada Selasa (15/9/2020). ”Sidang putusan terbuka untuk umum,” kata Haris.
Ia mengungkapkan, pada sidang pemeriksaan Firli, Dewas KPK tidak menghadirkan saksi. Firli juga tidak mau menggunakan pleidoi (pembelaan).