Kerumunan Akan Berulang, Penyelenggara Pilkada 2020 Harus Tegas
Diperkirakan masih akan terjadi pengumpulan massa, yakni pada saat penetapan paslon serta deklarasi paslon di Pilkada 2020. Manajemen risiko penularan Covid-19 harus diperkuat, diikuti sanksi tegas.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Tahapan pendaftaran pasangan bakal calon kepala daerah-wakil kepala daerah di Pilkada Serentak 2020 yang berlangsung 4-6 September menunjukkan protokol kesehatan Covid-19 masih diabaikan. Pada tahap berikutnya, kerumunan massa amat berpotensi berulang, sehingga perlu langkah konkret untuk mencegahnya.
Hal itu terungkap di dalam diskusi daring yang diselenggarakan Rumah Kebangsaan dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Rabu (9/9/2020). Hadir sebagai panelis anggota Komisi Pemilihan Umum RI Dewa Raka Sandi, Kasubdit Wilayah IV Direktorat Fasilitasi Kepala Daerah dan DPRD Kementerian Dalam Negeri Saydiman Marto, Anggota Bawaslu Jawa Barat Lolly Suhenti, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana, dan Peneliti Perludem Heroik M Pratama.
Aditya mengatakan, masa pendaftaran bakal paslon selama tiga hari kemarin memperlihatkan ironi. Sebab, beberapa waktu lalu pemerintah, KPU, Bawaslu, dan DPR RI memutuskan penyelenggaraan Pilkada tetap dilaksanakan tahun ini dan yakin itu dapat dilaksanakan. Namun di sisi lain terjadi pelanggaran oleh para peserta pilkada. Pasangan bakal calon kepala daerah-wakil kepala daerah membawa massa saat mendaftar.
"Tampaknya pengalaman kemarin membuka mata bahwa KPU, Bawaslu dan aparat keamanan agak gagap menghadapi situasi itu. Padahal seharusnya itu bisa diperkirakan dan diantisipasi," kata Aditya.
Selain gagap, menurut Aditya, para pemangku kepentingan juga tampak saling lempar tanggung jawab atas apa yang telah terjadi. Padahal seharusnya hal itu diterima sebagai konsekuensi untuk kemudian dipikul bersama.
Ke depan, lanjut Aditya, diperkirakan masih akan terjadi pengumpulan massa, yakni pada saat penetapan paslon serta deklarasi paslon. Hal itu diharapkan segera diantisipasi untuk mencegah terjadinya kerumunan massa serta memastikan dilakukannya tindakan tegas bagi mereka yang melanggar.
Heroik mengatakan, dari pengalaman tiga hari pendaftaran calon peserta Pilkada 2020, tampak bahwa manajemen risiko belum diterapkan. Koordinasi di antara para pemangku kepentingan juga tidak nampak, sebaliknya ada kecenderungan saling lempar tanggung jawab.
Menurut Heroik, KPU sebenarnya telah memiliki teknologi informasi untuk memfasilitasi pendaftaran peserta Pilkada secara daring. Dalam kondisi pandemi, hal itu harusnya dimaksimalkan.
"Jika pemerintah KPU, Bawaslu, dan DPR tidak dapat memastikan protokol kesehatan dipenuhi secara ketat maka tidak ada cara lain selain menunda Pilkada, mengevaluasi, dan mengidentifikasi sampai ada prosedur yang cukup ketat untuk penyelenggaraan Pilkada di tengah pandemi," ujar Heroik.
Menurut Dewa, KPU RI telah melakukan simulasi pemungutan suara. Untuk mengurangi kerumunan ketika pemungutan suara, KPU telah mengaturnya dengan mengurangi jumlah pemilih di satu TPS dan memperbanyak TPS.
Untuk masa kampanye, KPU telah mengatur kampanye tatap muka dan dialog terbatas, jumlah pesertanya maksimal 50 orang dengan didukung teknologi informasi. Sedangkan untuk rapat umum dibatasi maksimal 100 orang dengan penerapan protokol kesehatan.
"Pada prinsipnya Covid-19 tidak akan menggugurkan bakal paslon dan paslon. Ini adalah hal baru yang harus bersama kita kawal dan kami akan lihat perkembangannya," kata Dewa.
Menurut Saydiman, Kemendagri telah menegur 69 kepala daerah yang tidak mengindahkan protokol kesehatan. Terkait kemungkinan pemberian sanski kepada paslon yang tidak mengindahkan protokol kesehatan berupa penundaan pelantikan, hal itu masih didiskusikan lebih lanjut.
"Masyarakat perlu mengetahui bahwa calon-calon pemimpin ini berkualitas dan mampu memimpin di masa pandemi yang memiliki masalah mencakup kesehatan, sosial, dan ekonomi," kata Saydiman.
Lolly mengatakan, Bawaslu telah menerbitkan Indeks Kerawanan Pilkada dengan memasukan instrumen pandemi Covid-19 ke dalamnya. Karena situasi di lapangan yang dinamis, maka indeks tersebut akan diterbitkan secara berkala.
Menurut Lolly, potensi kerumunan massa adalah ketika penetapan paslon dan saat kampanye. Dari pengalaman kemarin, pada praktiknya, Bawaslu dapat mengatur orang yang masuk ke ruangan. Namun, petugas tidak bisa mengatur kerumunan yang berada di luar gedung.
"Maka ini yang diperlukan adalah upaya penindakan. Karena ini tidak diatur. Maka kemudian berkoordinasi dengan pihak kepolisian yang berwenang membubarkan kerumunan," kata Lolly.