Bawaslu RI: Penundaan Pilkada Tidak Mustahil Kembali Terjadi
"Kalau pelanggaran (protokol kesehatan) terus terjadi tidak mustahil penundaan (pilkada) dilakukan. Kami tidak ingin ada kluster baru. Tetapi, itu terjadi karena pelanggaran masif,” kata anggota Bawaslu Fritz Edward.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Badan Pengawas Pemilu tidak menutup kemungkinan penundaan Pilkada Serentak 2020 dapat kembali terjadi apabila terjadi pelanggaran protokol kesehatan berskala masif. Akan tetapi, parameter pelanggaran protokol kesehatan berskala masif tersebut belum jelas.
Kemungkinan penundaan kembali Pilkada 2020 mulai disuarakan kelompok masyarakat sipil setelah mencermati tiga hari pendaftaran pasangan bakal calon kepala daerah-wakil kepala daerah pada 4-6 September. Sebagian pasangan bakal calon melanggar protokol kesehatan Covid-19 dengan menggelar arak-arakan dan mengumpulkan massa.
Anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar mengatakan, penundaan pelaksanaan pilkada bergantung pada keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan pemerintah. Bawaslu juga bisa memberi rekomendasi terkait hal itu.
“Kami sudah mendiskusikannya, kalau memang pelanggaran terus terjadi tidak mustahil penundaan dilakukan karena ada pihak yang tidak patuh. Kami tidak ingin ada kluster baru. Tetapi, itu terjadi karena pelanggaran protokol masif,” kata Fritz, saat dihubungi, Selasa (8/9/2020).
Fritz melanjutkan, Bawaslu saat ini masih membahas mengenai skala masif yang dimaksud. Namun, sejauh ini, Bawaslu bersama lembaga terkait berkomitmen untuk mencegah proses pilkada memunculkan kluster Covid-19 baru, termasuk Komisi II DPR, Kementerian Dalam Negeri dan partai politik.
“Terkait pelanggaran saat pendaftaran kemarin, Bawaslu akan mengkaji, mengklasifikasi, dan menindaklanjuti laporan ke Polisi. Itu bentuk ketegasan kami. Tetapi, penegakan itu juga tidak hanya tugas Bawaslu. Ini tugas kita bersama,” tuturnya.
Adapun, sebelumnya hari pemungutan suara Pilkada 2020 mundur dari tanggal 23 September 2020 menjadi 9 Desember 2020 akibat pandemi Covid-19.
Pertimbangan matang
Sejumlah negara telah menunda dan menggelar pemilu selama pandemi berlangsung. International Institute for Democracy and Electoral Assistance (International IDEA) melaporkan, selama 21 Februari-18 Agustus 2020, setidaknya 70 negara dan teritori menunda pemilu nasional dan subnasional akibat Covid-19. Sementara itu, sebanyak 18 negara dan teritori telah menyelenggarakan pemilu yang semua ditunda karena Covid-19.
Senior Program Manager for Asia and the Pacific International IDEA, Adhy Aman dihubungi dari Jakarta, mengatakan, penundaan pemilu membutuhkan perhitungan yang matang. Penundaan biasanya terjadi akibat meningkatnya kasus Covid-19, seperti yang terjadi di Hongkong. Di beberapa negara, pemilu berlangsung ketika kurva penularan dalam keadaan stabil, seperti Korea Selatan.
“Kalau pemilihan terjadi pada saat kurva tinggi, laju penyebarannya menjadi lebih tinggi. Pemerintah sebaiknya melakukan prediksi pada hari pilkada, kurva akan seperti apa untuk memutuskan apakah pilkada akan berlanjut atau ditunda. Prediksi itu tak gampang dan belum tentu benar, tetapi pemerintah perlu mendengarkan saran para ahli epidemiologi,” tuturnya.
Adhy melanjutkan, keputusan mengenai penyelenggaraan pilkada perlu diambil berdasarkan konsultasi dengan publik agar keputusan tidak sepihak. Hal ini untuk menghindari tuduhan bahwa pemerintah akan mendapat keuntungan dari penundaan pilkada.
Adhy melanjutkan, hal yang perlu diperhatikan dalam mengadakan pemilu selama pandemi adalah transparansi hasil pemilu dan tingkat partisipasi. Protokol kesehatan bisa menghambat pemantau pemilu dan saksi mengawasi proses pencoblosan serta penghitungan suara. Sementara itu, motivasi pemilih untuk mencoblos dapat terpengaruh oleh pandemi.
“Ini bergantung pada tingkat kepercayaan pemilih terhadap protokol kesehatan yang disiapkan. Di Malaysia dan Jepang, terjadi penurunan tingkat partisipasi meskipun tidak signifikan akibat ada akibat Covid-19. KPU harus lebih aktif meyakinkan pemilih,” ujarnya.
Menurut Adhy, negara-negara yang telah menyelenggarakan pemilu menentukan sejumlah protokol kesehatan. Pemerintah Singapura, misalnya, mewajibkan peserta pemilu untuk tak melakukan pertemuan dalam jumlah besar. Sementara itu, Pemerintah Mongolia memperbolehkan pertemuan berjarak.
Pada umumnya, semua mewajibkan untuk menghindari kontak antar-manusia. Di Korea Selatan, banyak calon melakukan kampanye. "Pandemi Covid-19 membuat peserta pemilu harus mencari jalan dan cara inovatif dalam berkampanye dan banyak yang pergi ke daring,” tutur Adhy.
Sejumlah protokol kesehatan juga berlaku bagi pemilih. Mereka rata-rata diwajibkan memakai masker dan menjaga jarak sekitar 1,5 meter hingga dua meter. Di Malaysia, pemerintah menjadwalkan waktu coblos bagi pemilih untuk menghindari kerumunan. Pemerintah Singapura juga memberlakukan jam coblos khusus bagi pemilih lansia yang rentan.
Banyak hal dipertimbangkan
UU Nomor 6 Tahun 2020 yang merupakan penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 2/2020 membuka peluang penundaan jika pemungutan suara tak dapat digelar Desember karena pandemi belum usai. Jika itu terjadi, pemungutan suara ditunda dan dijadwalkan kembali setelah pandemi berakhir.
Anggota KPU, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi menyebutkan, pembahasan soal penundaan pilkada telah dilakukan dengan mempertimbangkan banyak hal. Apalagi, saat ini proses pilkada telah sampai pada tahap dimana bakal calon sudah mendaftar.
“Mengenai hal itu, telah dibahas jauh hari sebelumnya. Sebelum tahapan pilkada lanjutan dimulai, KPU telah bersurat ke Gugus Tugas dan telah dijawab. Pada prinsipnya, Pilkada dapat dilakukan dengan penerapan protokol kesehatan dan berkoordinasi secara intensif dengan gugus tugas,” tuturnya.
KPU telah mengatur protokol penyelenggaraan pilkada selama pandemi lewat PKPU 6/2020 yang kemudian diubah menjadi PKPU 10/2020. Sejumlah protokol yang diatur, antara lain penggunaan sarana teknologi informasi untuk mendaftar, jumlah massa yang hadir dalam kampanye, dan jumlah massa yang hadir dalam debat antar-calon.
“Pengaturan itu sudah sangat memadai karena dirancang berdasarkan saran dan konsultasi dengan DPR dan pemerintah. Sekarang tantangannya adalah bagaimana pasangan calon, tim kampanye, dan masyarakat berkomitmen untuk menjaga dan melaksanakan protokol itu,” ujarnya. (Reuters)