Pelaksanaan tahapan Pilkada serentak 2020 mulai mengkhawatirkan karena ditemukan banyak pelanggaran protokol kesehatan. Pilkada dikhawatirkan memicu munculnya kluster baru penyebaran Covid-19.
Oleh
ANITA YOSSIHARA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengerahan massa pada masa pendaftaran bakal calon kepala daerah di sejumlah kabupaten/kota menuai keprihatinan karena berpotensi menjadi kluster baru penularan Covid-19. Karena itu, seluruh calon kepala daerah-calon wakil kepala daerah diminta tidak mengorbankan rakyat dengan memberikan teladan berdisiplin menerapkan protokol kesehatan ketat selama tahapan pemilihan kepala daerah serentak berlangsung.
Keprihatinan salah satunya disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir, Senin (7/9/2020). Ia menyampaikan bahwa pilkada di saat kasus Covid-19 masih relatif tinggi menimbulkan risiko penularan yang juga tinggi. Meski penyelenggaraan pilkada serentak 2020 memiliki dasar dan pertimbangan yuridis, politik, maupun moral kenegaraan, ancaman wabah Covid-19 tetap harus menjadi perhatian dan pertimbangan utama.
”Pilkada jangan sampai menjadi ajang penularan yang membuat negeri ini semakin berat menghadapi Covid-19. Politik dan demokrasi penting, tetapi jangan memperberat beban rakyat menghadapi pandemi. Apalagi sampai mengorbankan jiwa manusia sesama anak bangsa,” katanya.
Haedar menyoroti pengerahan massa yang dilakukan oleh para pasangan kandidat pilkada di hampir seluruh daerah. Tak hanya saat melakukan pendaftaran di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), tetapi juga pengerahan massa yang dilakukan pada saat deklarasi pencalonan.
”Kami sedih menyaksikan suasana kacau massa. Sejumlah calon kepala daerah yang baru mau mendaftar ke KPU saja sudah diarak massa secara euforia, tanpa pembatasan jumlah orang dan tanpa protokol kesehatan. Padahal waktu pilkada cukup lama, belum masuk ke masa kampanye yang biasanya rawan,” tuturnya.
Kami sedih menyaksikan suasana kacau massa. Sejumlah calon kepala daerah yang baru mau mendaftar ke KPU saja sudah diarak massa secara euforia, tanpa pembatasan jumlah orang dan tanpa protokol kesehatan. Padahal waktu pilkada cukup lama, belum masuk ke masa kampanye yang biasanya rawan. (Haedar Nashir)
Politik dan demokrasi, lanjut Haedar, memang penting. Tetapi keamanan dan keselamatan rakyat juga penting untuk dijaga. Karena itu, para calon kepala daerah diharapkan bersikap bijaksana, menghindari segala bentuk aktivitas yang merugikan rakyat.
Para elite politik dan pendukungnya diharapkan lebih mengedepankan kepentingan yang lebih besar, yakni mencegah mata rantai penularan Covid-19 dan menyelamatkan jiwa manusia. Jangan sampai rakyat menjadi korban karena para elite dan pendukungnya yang abai dengan protokol kesehatan.
Semestinya para calon kepala daerah menunjukkan keteladanan yang baik dengan tidak membiarkan euforia massa dalam proses pilkada. Tak perlu mengerahkan massa saat mendaftar ke KPU serta mengumpulkan massa dengan dalih deklarasi pencalonan.
”Kepada para calon kepala daerah maupun para elite negeri lainnya kami berharap, tunjukkanlah keteladanan yang baik di hadapan publik dengan tidak membiarkan euforia massa menumpah dalam proses demokrasi pilkada. Bukankah para elite negeri tersebut adalah para calon pemimpin yang akan memegang mandat rakyat dan negara? Apalagi ada di antaranya para petahana yang sudah berpengalaman. Tunjukkan jiwa kenegarawanan untuk berpikir dan bertindak bijak dan dewasa demi meringankan beban hadapi wabah dan penyelamatan jiwa manusia,” kata Haedar menegaskan.
Keprihatinan serupa juga disampaikan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo. Menurut dia, pelaksanaan tahapan pilkada serentak mulai mengkahwatirkan karena ditemukan banyak pelanggaran protokol kesehatan.
”Di banyak daerah, kegiatan pendaftaran bapaslon (bakal pasangan calon) masih melibatkan banyak orang dan mengabaikan protokol kesehatan,” tuturnya.
Kekhawatiran pilkada akan menjadi kluster baru penularan pun menguat karena sejumlah bakal pasangan calon juga terkonfirmasi positif Covid-19. Bahkan, penularan di kalangan penyelenggara pilkada juga mulai ditemukan.
Mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat itu mencontohkan, penularan di kalangan penyelenggara salah satunya terjadi di Boyolali, Jawa Tengah. Setidaknya 69 petugas Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Boyolali terkonfirmasi positif Covid-19.
Kecenderungan pelanggaran protokol kesehatan lebih besar diperkirakan akan terjadi saat kampanye pilkada yang berlangsung sejak 26 September hingga 5 Desember 2020.
Kecenderungan pelanggaran protokol kesehatan lebih besar, lanjut Bambang, diperkirakan akan terjadi saat kampanye pilkada yang berlangsung sejak 26 September hingga 5 Desember 2020. Untuk itu, KPU maupun Bawaslu daerah harus berani membatasi jumlah orang dalam setiap kegiatan yang berkaitan dengan pilkada.
Penyelenggara pemilu juga harus berani meminta satuan polisi pamong praja maupun petugas Kepolisian Negara RI (Polri) untuk menegakkan disiplin saat melihat ada kandidat maupun pendukung yang tak mematuhi protokol kesehatan.
Tak hanya itu, para calon kepala daerah juga diminta untuk mengendalikan massa pendukung agar tetap mematuhi protokol kesehatan. Sebab jika pasangan calon gagal mengendalikan aktivitas massa pendukung, dikhawatirkan pilkada akan jadi kluster baru penularan Covid-19. Apalagi pilkada serentak tahun ini digelar di 270 daerah yang terdiri dari 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Batasi pengunjung
Sebenarnya KPU sudah berupaya mencegah penularan Covid-19 dengan membatasi jumlah pengunjung, termasuk saat pendaftaran pemilih. Namun, KPU tidak bisa mencegah massa yang turut mengantar bakal pasangan calon mendaftar pilkada karena bukan kewenangan penyelenggara pemilu.
”Sebenarnya kalau di area pendaftaran di kantor KPU, semua berjalan sesuai dengan protokol kesehatan. Hanya saja di luar memang ada pengerahan massa, tetapi itu bukan menjadi kewenangan kami untuk mengatur,” kata Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan KPU Kabupaten Bantul Mestri Widodo.
KPU sudah berupaya mencegah penularan Covid-19 dengan membatasi jumlah pengunjung, termasuk saat pendaftaran pemilih. Namun, KPU tidak bisa mencegah massa yang turut mengantar bakal pasangan calon mendaftar ikut pilkada.
Senada dengan Mestri, anggota KPU Provinsi Riau, Nugroho Noto Susanto, mengatakan, KPU hanya bisa membatasi pengunjung di aula kantor. Meski sudah memberikan imbauan agar kontestan pilkada tak mengerahkan massa saat pendaftaran, KPU tidak memiliki kewenangan untuk bertindak saat ada pelanggaran.
Tahapan pendaftaran bakal pasangan calon kepala daerah menjadi pelajaran bagi KPU untuk lebih memperketat pencegahan Covid-19. Salah satunya saat tahapan pengundian nomor urut pasangan calon kepala daerah pada 24 September.
”Jalan di sekitar Kantor KPU Bantul akan disterilkan hingga 100 meter. Para bakal calon dengan pendukung terbatas harus berjalan kaki 100 meter menuju Kantor KPU Bantul. Ini ikhtiar kami untuk mencegah penularan Covid-19,” kata Mestri menjelaskan.