Semua Pihak Mesti Bertindak
Penularan Covid-19 dikhawatirkan terjadi menyusul pelanggaran protokol kesehatan saat pendaftaran Pilkada 2020. Semua pihak, baik pemerintah, penyelenggara, maupun aparat keamanan, mesti mencegah terulangnya kerumunan.
JAKARTA, KOMPAS — Semua pihak, baik pemerintah maupun penyelenggara pemilu, beserta aparat keamanan mesti bertindak mencegah dan mengantisipasi terjadinya kerumunan massa saat Pilkada 2020. Risiko penularan Covid-19 dikhawatirkan akan terjadi dalam Pilkada 2020 menyusul tiga hari terakhir tahapan pendaftaran pasangan calon diwarnai dengan arak-arakan dan kerumunan massa pendukung, yang mengabaikan protokol kesehatan.
Kondisi serupa dikhawatirkan terulang pada tahapan berikutnya hingga pencoblosan pada 9 Desember mendatang. Pendaftaran paslon ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat, pada 4-6 September 2020, diperkirakan bukan menjadi titik akhir bagi kerentanan penularan Covid-19. Selepas pendaftaran biasanya diikuti dengan deklarasi masing-masing paslon yang berpotensi pula dihadiri oleh massa pendukung. Selain itu, masih ada tahapan kampanye yang juga berpotensi memicu penularan Covid-19 dan terjadinya pelanggaran protokol kesehatan.
Menurut catatan KPU, hingga Minggu (6/9/2020) siang, sebanyak 418 calon yang mendaftar. Dari jumlah itu, sebanyak 13 bakal paslon mendaftar untuk pilkada tingkat provinsi, 348 bakal paslon mendaftar untuk pilkada kabupaten, 57 bakal paslon mendaftar untuk pilkada kota. Total bakal paslon dari jalur partai politik (parpol) sebanyak 366 calon dan jalur perseorangan sebanyak 39 calon. Pendaftaran ditutup hingga pukul 24.00 waktu setempat.
Baca juga: Langgar Protokol Covid-19 di Pilkada, Bawaslu Tak Bisa Menindak
Dari catatan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), pada hari pertama pendaftaran paslon, terdapat 141 daerah yang bakal calonnya menyertakan massa dalam proses pendaftaran. Pada hari kedua, ada 102 daerah yang bakal calonnya menyertakan massa. Sementara itu, Bawaslu juga mencatat ada 16 bakal calon yang terindikasi positif Covid-19.
Kekhawatiran Pilkada 2020 menjadi kluster baru bagi Covid-19 juga mengemuka setelah ditemukan sedikitnya 30 anggota panitia pengawas kecamatan (panwascam) di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, yang positif Covid-19 setelah dilakukan tes usap.
Kekhawatiran Pilkada 2020 menjadi kluster baru bagi Covid-19 juga mengemuka setelah ditemukan sedikitnya 30 anggota panitia pengawas kecamatan (panwascam) di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, yang positif Covid-19 setelah dilakukan tes usap terhadap mereka.
Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Aditya Perdana, yang dihubungi, Minggu (6/9/2020), menuturkan, risiko penularan Covid-19 dalam proses pendaftaran paslon ke KPU mestinya diantisipasi untuk tahapan lainnya di kemudian hari. Semua pihak harus memastikan tahapan selanjutnya tidak melibatkan massa. Penerapan protokol kesehatan harus menjadi perhatian.
”Saat ini, seolah semua saling melempar tanggung jawab. Peraturan KPU (PKPU) sendiri tidak secara jelas menyebutkan siapa yang bertanggung jawab membubarkan kerumunan dan menertibkan massa pendukung saat pendaftaran calon. Kondisi ini jika tidak dievaluasi akan berpotensi kembali terjadi pada tahapan selanjutnya, yakni kampanye,” tutur Aditya.
KPU telah membuat sejumlah PKPU yang mengatur tahapan dan pelaksanaannya di masa pandemi, yakni PKPU Nomor 5 Tahun 2020 tentang Tahapan Pilkada dan PKPU No 6/2020 tentang Pilkada di Masa Pandemi. Salah satu titik beratnya ialah penerapan protokol kesehatan secara ketat bagi penyelenggara pemilu ataupun warga. Namun, sanksi atas pembatasan massa dan pelanggaran protokol kesehatan itu belum diatur jelas di dalam PKPU.
”Sejak awal di dalam PKPU tidak jelas siapa yang mengambil alih soal itu (penertiban massa). Bawaslu sebagai pengawas hanya bisa bilang kalau ada pelanggaran akan dilaporkan kepada kepolisian. Sementara tidak ada kewenangan polisi yang secara langsung diatur di dalam PKPU,” katanya.
Aditya mengatakan, seharusnya saat ini bukan saatnya saling melempar tanggung jawab. Kepolisian di satu sisi berwenang membubarkan massa dalam tahapan pilkada. Setiap ada kerumunan yang berisiko menularkan Covid-19, baik terkait dengan pilkada ataukah tidak, semestinya menjadi kewenangan polisi untuk membubarkannya. Untuk memastikan hal itu, koordinasi dan evaluasi mesti dilakukan antara penyelenggara pemilu dan aparat keamanan.
Hal kedua, masih adanya kerumunan massa dan pelanggaran terhadap protokol kesehatan dipicu oleh ketidakpatuhan peserta pemilu, pendukung, dan partai politik (parpol). Ketika ada kerumunan, peserta pemilu dan parpol tidak boleh lepas tangan.
Aditya mengatakan, masih ada tahapan kampanye dan pemungutan suara yang berpotensi menimbulkan kerumunan. Simulasi harus dilakukan oleh penyelenggara pemilu sehingga segala kemungkinan dapat diperhitungkan dengan cermat.
”Konkretnya, harus dibuat simulasi bagaimana tahapan pilkada selanjutnya ditangani. Sebagai contohnya, KPU membatasi kampanye dalam satu ruangan hanya diisi oleh 50 orang, bagaimana ini disimulasikan. Apakah ada juga daftar hadir sebab ini penting untuk melacak seandainya ada yang positif. Selain itu, apakah boleh membuka masker dan apakah cukup mengenakan masker dan face shield, termasuk peran polisi membubarkan massa ketika ada kerumunan,” papar Aditya.
Beri sanksi
Terkait dengan penegakan protokol kesehatan dalam pilkada, Direkter Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik mengatakan, pihaknya telah menjatuhkan sanksi teguran kepada enam kepala daerah petahana yang tidak menaati protokol kesehatan dalam tahapan pilkada. Kemendagri hanya dapat menjatuhi sanksi kepala daerah petahana yang mencalonkan diri kembali. Namun, untuk calon kepala daerah lainnya yang bukan petahana, sanksi dari Kemendagri itu tidak dapat dilakukan.
Kalau untuk petahana, kami telah menjatuhkan sanksi kepada enam kepala daerah. Sebab, mereka telah disumpah untuk taat kepada setiap peraturan perundang-undangan. Namun, untuk calon lain di luar petahana, itu mestinya menjadi ranah Bawaslu. Bawaslu selaku pengawas wajib memperingatkan setiap calon, baik petahana maupun nonpetahana. Jangan berwacana lagi, kan, tugas Bawaslu adalah mengawasi tahapan.
”Kalau untuk petahana, kami telah menjatuhkan sanksi kepada enam kepala daerah. Sebab, mereka telah disumpah untuk taat kepada setiap peraturan perundang-undangan. Namun, untuk calon lain di luar petahana, itu mestinya menjadi ranah Bawaslu. Bawaslu selaku pengawas wajib memperingatkan setiap calon baik petahana maupun nonpetahana. Jangan berwacana lagi, kan, tugas Bawaslu adalah mengawasi tahapan,” tutur Akmal.
Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar mengatakan, jika diperlukan untuk sikap yang lebih tegas lagi, KPU sebaiknya membuat aturan untuk mendiskualifikasi calon yang tidak peduli dengan protokol kesehatan. ”Jangan pilih kepala daerah yang tidak memedulikan protokol kesehatan karena dia tidak menyayangi rakyatnya. Rakyat bisa mati massal. Jika diperlukan, dibuat perppu untuk mendiskualifikasi paslon yang tidak peduli pada protokol kesehatan. Keselamatan warga negara di atas segalanya. Saya mengusulkan agar KPU dan Bawaslu mendiskualifikasi paslon yang tidak peduli protokol kesehatan,” tuturnya.
Dihubungi terpisah, Ketua Bawaslu Abhan mengatakan, Senin ini, pihaknya akan berkoordinasi dengan kepolisian terkait dengan penanganan pelanggaran protokol kesehatan. Sebab, selain melanggar PKPU, pengabaian itu juga dapat dikenai dengan pidana.
Sebelumnya, Abhan menyebutkan, pelanggaran terhadap protokol kesehatan dapat dikenai sanksi administrasi ataupun pidana. Terkait dengan sanksi pidana, hal itu diatur dalam Pasal 212 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 218 KUHP, Pasal 14 Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, serta Pasal 93 UU No 6/2018 tentang Karantina Kesehatan (Kompas, 6/9/2020).
”Teman-teman di daerah juga sudah menyampaikan imbauan agar saat pendaftaran tidak membawa massa. Untuk kewenangan kami dalam penanganan pelanggaran administrasi, akan kami rekomendasikan kepada KPU,” katanya.
Ranah ketertiban
Anggota Bawaslu, M Afifuddin, mengatakan, pihaknya mendorong kepolisian dan Satpol PP untuk mengambil tindakan di lapangan. Kerumunan massa yang tidak memerhatikan protokol kesehatan harus dibubarkan. Tindakan itu bukan kewenangan Bawaslu karena itu menjadi ranah ketertiban umum yang menjadi wilayah Satpol PP atau kepolisian.
”Hal ini sudah kami perhitungkan, tahapan pencalonan dan kampanye harus diantisipasi sebab tahapan ini menguras emosi massa pendukung. Setiap ada tindakan yang mengganggu pasangan calon seolah ini mengganggu kehormatan dirinya sendiri,” katanya.
Sementara itu, anggota KPU, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, mengatakan, terkait dengan keharusan menaati protokol kesehatan itu sejak lama disosialisasikan oleh KPU. PKPU No 5/2020 tentang Tahapan Pilkada dan PKPU No 6/2020 tentang Pilkada di Masa Pandemi juga telah mengatur kewajiban menerapkan protokol kesehatan.
Soal pengawasan dan penanganan pelanggaran protokol kesehatan, kewenangan KPU terbatas karena itu merupakan ranah Bawaslu dan kepolisian.
”Soal pengawasan dan penanganan pelanggaran protokol kesehatan, kewenangan KPU terbatas karena itu merupakan ranah Bawaslu dan kepolisian,” katanya.
Baca juga: Setitik Nila pada Tahap Pertama Pilkada Tangerang Selatan
Raka mengatakan, di sela-sela tahapan verifikasi persyaratan pendaftaran, penyelenggara pemilu dan pemangku kepentingan terkait lainnya akan melakukan koordinasi dan evaluasi. ”Ketentuannya sudah jelas di dalam UU dan PKPU, siapa yang melakukan pengawasan dan penegakan hukum sesuai ruang lingkup unsur-unsurnya,” katanya.
Secara terpisah, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia mengatakan, penyelenggara pemilu harus lebih aktif dan tegas dalam menegakkan penerapan protokol kesehatan. Ia meminta setiap pasangan calon, utamanya kepala daerah petahana, agar menertibkan rombongan pendukungnya dan mengikuti peraturan yang telah ditetapkan.