Pilkada, Kaderisasi, Dana Parpol, dan Pencegahan Korupsi
Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengingatkan, salah satu penyebab terjadinya korupsi kepala daerah ialah biaya untuk mendapatkan rekomendasi dari parpol cukup besar. Bisakah hal tersebut diatasi?
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
Bantuan pendanaan kepada partai politik yang disertai dengan sejumlah prasyarat dapat berperan sebagai salah satu instrumen menekan korupsi, termasuk di daerah. Selama ini, biaya politik besar yang disertai kurangnya transparansi pendanaan parpol menjadi salah satu penyebab terjadinya korupsi yang melibatkan politisi dari beragam partai politik.
Tahapan Pilkada Serentak 2020 di 270 daerah, yang Jumat (4/9/2020) memasuki tahapan pendaftaran bakal pasangan calon kepala daerah-wakil kepala daerah, perlu dijadikan momen untuk merefleksikan kembali upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah korupsi politik.
Dari kajian yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2017 disebutkan, partai politik (parpol) dan para politisi parpol menjadi contoh yang buruk dalam penegakan tata kelola pemerintahan yang baik serta bersih. Sebab, suap dan korupsi melibatkan para pejabat publik berasal dari parpol.
Laporan tahunan KPK 2016 menunjukkan, 32 persen tersangka suap dan korupsi yang ditangani oleh KPK adalah para politisi parpol. Mereka merupakan kepala daerah dan wakilnya maupun anggota legislatif dari pusat hingga daerah.
Korupsi yang dilakukan oleh politisi juga belum terhenti. Sebagian diduga juga tidak terlepas dari belenggu upaya mempertahankan kekuasaan. Pada 3 Juli 2020, KPK menangkap Bupati Kutai Timur, Kalimantan Timur, Ismunandar beserta istrinya, yang juga Ketua DPRD Kutai Timur, Encek UR Firgasih, terkait dugaan suap proyek infrastruktur.
Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango, saat itu, mengatakan, Ismunandar dan Encek ditangkap saat berada di Jakarta. Ismunandar ke Jakarta dalam rangka kegiatan sosialisasi pencalonan yang bersangkutan sebagai calon bupati Kutai Timur periode 2021-2024 (Kompas, 4/7/2020).
Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan Jumat (4/9/2020), mengatakan, salah satu penyebab terjadinya korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah karena biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan rekomendasi dari parpol cukup besar.
”Untuk calon yang memiliki elektabilitas tinggi atau populer akan didekati oleh parpol. Namun, untuk orang kaya yang maju datang ke partai dan tidak populer, dia harus mengeluarkan biaya atau mahar untuk mendapatkan rekomendasi,” kata Pahala.
Mahar tersebut menjadi salah satu pemasukan dari parpol. Pemasukan lainnya diperoleh dari sumbangan tidak mengikat dari kader ketika mereka sudah menduduki jabatan sebagai kepala daerah. Dana tersebut bisa diperoleh dari proyek pengadaan, perizinan, atau pengusaha. Situasi tersebut menyebabkan korupsi yang melibatkan kepala daerah sulit dihilangkan.
Oleh karena itu, pemerintah perlu memberikan bantuan dana kepada parpol untuk meminimalkan terjadinya tindak pidana korupsi karena biaya yang dikeluarkan oleh parpol cukup besar. Jika pendanaan parpol terus seperti saat ini, korupsi pasti terjadi.
Pahala mengungkapkan, pada Desember 2019, KPK dan LIPI sudah mengusulkan agar pemerintah membantu dana kepada parpol senilai Rp 8.461 per suara. Nilai tersebut merupakan 50 persen dari total perkiraan kebutuhan parpol.
Angka tersebut diperoleh dari hasil kajian kebutuhan dana partai politik yang mencapai Rp 16.922 per suara tiap tahun. Kajian tersebut didasari pada data yang diberikan oleh PDI-P, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Demokrat.
Dana bantuan tersebut lebih besar dari dana bantuan partai politik yang diberikan pemerintah saat ini, yaitu Rp 1.000 per suara, seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2018 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik.
Akan tetapi, usulan dari KPK dan LIPI tersebut sampai sekarang belum direalisasikan meskipun sudah mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo pada Desember 2019. Padahal, dana bantuan parpol tersebut diberikan bertahap, yaitu 30 persen di tahun pertama hingga 100 persen pada tahun kelima. Menurut Pahala, jika partai memiliki dana yang cukup, kaderisasi bisa jalan.
”Sangat disayangkan hingga sekarang belum direspons oleh pemerintah, sedangkan pendaftaran pasangan bakal calon kepala daerah sudah dibuka. Padahal, tahun pertama butuhnya hanya Rp 1,24 triliun dan Rp 2,14 triliun di tahun kedua,” kata Pahala.
Ia menegaskan, dana parpol tersebut diberikan tidak hanya berdasarkan perolehan suara. Namun, juga ada syarat lainnya, seperti harus diaudit Badan Pemeriksa Keuangan dan harus membuka laporan keuangannya kepada publik.
Anggota Komisi II DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Mardani Ali Sera, mengatakan, PKS menyetujui kajian KPK yang mengajukan pendanaan parpol oleh negara Rp 8.461 per suara. Pernyataan tersebut diungkapkan Mardani dalam diskusi bertajuk ”Membangun Ulang Prasyarat Pendanaan Parpol” yang diselenggarakan secara daring, Kamis (3/9/2020).
Hingga saat ini, PKS masih menerima Rp 1.000 per suara sesuai jumlah yang disetujui Kementerian Keuangan. PKS dengan suara 11,5 juta mendapatkan dana parpol dari negara Rp 11,5 miliar untuk tingkat pusat. Sebagian besar dana tersebut digunakan PKS untuk kaderisasi. Sisanya digunakan untuk sewa kantor, bayar listrik dan pegawai, serta transportasi.
Menurut Mardani, dana tersebut sudah cukup, tetapi akan bagus jika sesuai dengan yang diajukan oleh KPK. Dana dari negara untuk parpol tersebut berguna untuk menghindari terjadinya oligarki.
Transparansi
Peneliti Indonesian Parliamentary Center, Arif Adiputro, mengungkapkan, dalam demokratisasi, akuntabilitas membawa tata pemerintahan yang baik dengan bermuara pada jaminan pada hak asasi manusia. Karena itu, transparansi dibutuhkan agar masyarakat dapat ikut berpartisipasi aktif dalam mengontrol setiap langkah dan kebijakan yang diambil penyelenggara negara.
Menurut dia, saat ini belum sepenuhnya semua partai politik peserta pemilu transparan. Hal tersebut dapat dilihat, di antaranya, ada beberapa partai politik belum memublikasikan program umum, kegiatan parpol, dana bantuan parpol dari APBN, serta alokasi anggaran parpol.
”Minimnya transparansi keuangan parpol menjadi instrumen penting dalam penilaian parpol tersebut ke depan. Apakah perlu atau tidak menambahkan anggaran parpol jika laporan keuangannya saja tertutup?” ujar Arif.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, parpol perlu perbaikan di sektor keterbukaan informasi. Selain memenuhi kebutuhan masyarakat, keterbukaan informasi juga menjadi bahan evaluasi permintaan kenaikan dana bantuan parpol dari APBN. Karena itu, dalam Undang-Undang Partai Politik, perlu dimasukkan pasal terkait keterbukaan informasi.
Peneliti Kode Inisiatif Muhammad Ihsan Maulana mengatakan, untuk menjamin transparansi penerimaan dan pengeluaran parpol, dalam laporan harus disebutkan dengan jelas seperti identitas lengkap setiap sumber penerimaan dan jumlahnya. Selain itu, perlu disebutkan rincian program pengeluaran, jumlah setiap jenis pengeluaran, dan bentuk pengeluaran.