Penyusunan revisi Undang-Undang Kejaksaan memasuki tahap harmonisasi dan sinkronisasi serta pembulatan di Badan Legislasi DPR. Perluasan kewenangan kejaksaan mendapat sorotan anggota Baleg DPR, di antaranya penyadapan.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyusunan revisi Undang-Undang Kejaksaan kini telah memasuki tahap harmonisasi dan sinkronisasi serta pembulatan di Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat. Sejumlah perluasan kewenangan kejaksaan yang diusulkan untuk diatur di dalam revisi UU Kejaksaan, termasuk penyadapan, mendapatkan sorotan anggota Baleg karena dinilai berpotensi keluar dari batas penyadapan yang diatur dalam koridor penegakan hukum.
Dalam rapat bersama Kejaksaan Agung, Rabu (2/9/2020) di Jakarta, sejumlah anggota DPR memberikan masukan kepada kejaksaan terkait materi atau susbtansi revisi UU tersebut. Beberapa hal dipandang krusial karena pengaturan di dalam revisi UU Kejaksaan memberikan sejumlah penguatan kewenangan kepada kejaksaan, antara lain dengan menggabungkan pengaturan mengenai penyadapan itu dengan kewenangan kejaksaan di bidang ketertiban dan ketenteraman umum.
Rapat Baleg dipimpin oleh Ketua Baleg Supratman Andi Agtas dan dihadiri oleh Wakil Jaksa Agung Setia Untung Arimuladi. Dalam paparannya, Setia menyebutkan ada delapan poin revisi UU Kejaksaan, sebagaimana diinisiasi oleh Komisi III DPR selaku pengusung revisi UU. Poin-poin itu menyangkut penyempurnaan kewenangan kejaksaan pada tindak pidana korupsi, pencucian uang, kehutanan, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), intelijen penegakan hukum, serta pengawasan barang cetakan dan multimedia.
Beberapa hal dipandang krusial karena pengaturan di dalam revisi UU Kejaksaan memberikan sejumlah penguatan kewenangan kepada kejaksaan, antara lain dengan menggabungkan pengaturan mengenai penyadapan itu dengan kewenangan kejaksaan di bidang ketertiban dan ketenteraman umum.
Poin lainnya adalah pengaturan jaksa agung sebagai advokat negara, penguatan sumber daya manusia kejaksaan melalui pendidikan dan pelatihan, kewenangan kerja sama kejaksaan dengan lembaga lain, termasuk organisasi internasional; kewenangan pertimbangan dan keterangan sebagai bahan verifikasi ada tidaknya pelanggaran hukum dalam perkara pidana, serta penegasan peran kejaksaan dalam menjaga keutuhan serta kedaulatan negara dan bangsa pada saat negara dalam keadaan bahaya, darurat sipil dan militer, serta dalam keadaan perang.
Di dalam draf revisi UU Kejaksaan, delapan poin itu masuk ke dalam penguatan dan perluasan kewenangan kejaksaan. Namun, kejaksaan juga mengusulkan empat hal untuk dimasukkan ke dalam substansi revisi UU Kejaksaan. Empat hal itu ialah perlindungan terhadap jaksa dan keluarganya, penyelenggaraan kesehatan yustisial dalam mendukung tugas dan fungsi kejaksaan, penguatan kewenangan jaksa selaku eksekutor dalam pengelolaan aset, dan perumusan pasal penyadapan.
Dari draf sementara revisi UU Kejaksaan yang saat ini diharmonisasi oleh Baleg DPR, ketentuan mengenai penyadapan itu masuk ke dalam Bab III mengenai Tugas dan Wewenang Kejaksaan, yakni di dalam Pasal 30 Ayat (5). Di dalam ayat tersebut, revisi UU Kejaksaan mengatur kewenangan jaksa di bidang ketertiban dan ketenteraman umum. Pasal 30 Ayat (5) huruf g berbunyi, ”Di bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan melakukan penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan guna mendukung kegiatan dan kebijakan penegakan hukum yang meliputi (g) penyadapan dan menyelenggarakan pusat monitoring.”
Perlu pengaturan rinci
Anggota Baleg dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari, mengatakan, ketentuan soal penyadapan merupakan hal yang perlu diatur secara detail dan jelas. Selama ini, penyadapan mengikuti ketentuan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Koridor penyadapan dilakukan ialah dalam penegakan hukum. Namun, di dalam revisi UU Kejaksaan, penyadapan itu dilakukan dalam konteks ketertiban dan ketenteraman umum.
”Semestinya pengaturan soal penyadapan ini dimasukkan ke dalam penegakan hukum. Kalau tidak bisa dimasukkan, atau berada di luar penegakan hukum, harus mengacu pada KUHAP dan disertai izin pengadilan. Jangan dibiarkan berada dalam konteks-koneks lain. Di dalam revisi UU ini juga diletakkan penyadapan bersama dengan dengan pusat monitoring,” paparnya.
Anggota Baleg dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), I Ketut Karyasa, mengatakan, penyadapan perlu dibatasi dengan jelas sehingga tidak menimbulkan kerentanan upaya penguasaan terhadap kelompok tertentu. ”Seumpama UU ini akan berlangsung cukup lama, apa jaminannya penyadapannya ini tidak untuk kepentingan kelompok tertentu atau penguasa siapa pun. Terlebih saat ini publik belum yakin dengan kelembagaan jaksa,” katanya.
Sikap kritis mengenai penyadapan dan keseluruhan penguatan kewenangan kejaksaan yang diatur di dalam revisi UU KPK juga dilontarkan anggota Baleg dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Zainuddin Maliki. Ia menggarisbawahi agar kejaksaan tidak semata-mata menjadi alat penguasa melalui segenap penguatan kewenangannya.
”Kami berharap revisi UU ini perlu dibuat untuk penguatan kelembagaan dan tugas serta kewenangan kejaksaan berdasarkan asas hukum dan konvensi yang berlaku universal. Ini penting supaya tidak digunakan sebagai alat represi melawan rakyatnya sendiri,” katanya.
Perlu diimbangi dengan pengawasan
Adapun Hinca Pandjaitan dari Fraksi Demokrat mengatakan, kewenangan luas yang diminta kejaksaan dalam revisi UU Kejaksaan itu mesti tetap diimbangi dengan pengawasan. Saat ini saja, dengan kewenangan yang ada, pendapat dari Komisi Kejaksaan (Komjak) untuk menjaga perilaku dan integritas kerap tidak dihormati. ”Di satu sisi meminta kewenangannya over, tetapi di sisi lain tidak mau diawasi,” katanya.
Kami berharap revisi UU ini perlu dibuat untuk penguatan kelembagaan dan tugas serta kewenangan kejaksaan berdasarkan asas hukum dan konvensi yang berlaku universal. Ini penting supaya tidak digunakan sebagai alat represi melawan rakyatnya sendiri.
Di dalam Pasal 38 revisi UU Kejaksaan, sebenarnya tetap diatur mengenai adanya suatu komisi yang susunan dan kewenangannya diatur oleh presiden. Ketentuan ini tidak jauh berbeda dari redaksional Pasal 38 UU Kejaksaan yang saat ini berlaku.
Supratman Andi Agtas mengatakan, kewenangan Baleg ialah melakukan harmonisasi, yakni untuk mencegah agar tidak ada pertentangan antara revisi UU Kejaksaan dan UU lainnya. Baleg antara lain mengkaji posisi kejaksaan, apakah setingkat menteri atau menjadi lembaga independen karena diberi kewenangan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman yang diamanatkan oleh konstitusi.
Jika merujuk pada Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945, kejaksaan termasuk ke dalam badan-badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman karena melakukan kegiatan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan eksekutor putusan pengadilan.