Kabulkan PK Bekas Bupati Talaud, MA Kembali Ringankan Hukuman Koruptor
MA mengabulkan PK bekas Bupati Talaud, Sulawesi Utara, Sri Wahyumi Maria Manalip. Dalam catatan ICW, sejak Maret 2019 sampai saat ini, setidaknya MA telah mengurangi hukuman 11 terpidana korupsi lewat putusan PK.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Agung kembali memberikan keringanan hukuman kepada koruptor setelah mengabulkan peninjauan kembali bekas Bupati Talaud, Sulawesi Utara, Sri Wahyumi Maria Manalip. Tindakan ini dikhawatirkan menjadi preseden buruk dalam upaya pemberantasan korupsi.
Mahkamah Agung (MA) mengurangi hukuman Sri Wahyumi menjadi 2 tahun dan denda sebesar Rp 200 juta, subsider 6 bulan kurungan. MA mengabulkan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Sri Wahyumi. Sebelumnya, dia divonis 4 tahun 6 bulan penjara serta denda Rp 200 juta, subsider 3 bulan kurungan oleh majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Desember 2019 (Kompas.com, 9/12/2020).
Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), sejak Maret 2019 sampai saat ini, setidaknya MA telah mengurangi hukuman 11 terpidana kasus korupsi di tingkat peninjauan kembali.
Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro saat dihubungi di Jakarta, Selasa (1/9/2020), mengatakan, MA mengabulkan permohonan PK Sri Wahyumi sehingga batal putusan judex facti. Kemudian, MA mengadili kembali.
”Menyatakan pemohon PK terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Huruf a UU PTPK (Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Menjatuhkan pidana penjara selama 2 tahun dan denda sebesar Rp 200 juta/subsider 6 bulan kurungan,” kata Andi.
Ia menjelaskan, pertimbangan MA mengambil putusan itu karena Sri Wahyumi belum menerima hadiah tersebut atau belum menikmatinya.
Adapun Sri Wahyumi ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi pada 30 April 2019 karena meminta sejumlah barang mewah senilai Rp 513,8 juta dari pengusaha lokal Bernard Hanafi Kalalo. Sri Wahyumi meminta fee 10 persen melalui tim sukses bupati Benhur Lalenoh kepada kontraktor untuk mendapatkan proyek pekerjaan di Kabupaten Talaud. Sebagian fee itu diberikan dalam bentuk barang mewah (Kompas, 2/5/2019).
Terkait putusan PK Sri Wahyumi, Pelaksana Tugas Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri mengatakan, jaksa penuntut umum KPK belum menerima salinan putusan resmi dari MA. Namun, jika putusan tersebut benar, selisih putusan PK dengan tuntutan jaksa sangat jauh. Adapun jaksa menuntut Sri Wahyumi dengan hukuman penjara 7 tahun dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Oleh karena itu, KPK menyatakan kecewa atas putusan tersebut. Meskipun demikian, KPK tetap harus menghormati dan menerima putusan itu. ”Kami khawatir putusan tersebut menjadi preseden buruk dalam upaya pemberantasan korupsi,” kata Ali.
Ali menambahkan, majelis hakim telah memutus Sri Wahyumi terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Namun, vonis yang dijatuhkan di bawah ancaman pidana minimum sebagaimana diatur Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yaitu minimum pidana penjara 4 tahun. KPK berharap ada kesamaan visi dan semangat antar-aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi.
Tren pengurangan hukuman
Menurut peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, tren pengurangan hukuman di tingkat PK harus menjadi perhatian khusus bagi Ketua MA Muhammad Syarifuddin. Ia meminta kepada MA agar menolak 20 permohonan PK yang sedang diajukan para terpidana kasus korupsi.
Dalam beberapa tahun terakhir, permohonan PK di MA untuk perkara korupsi juga cenderung meningkat. Berdasarkan data Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (Leip) yang diolah dari laporan tahunan MA, pada 2019 ada 235 perkara. Sebelumnya, pada 2018 ada 208 perkara dan pada 2017 sebanyak 188 perkara (Kompas, 10/8/2020).
”Bukan tidak mungkin, PK ini hanya akal-akalan sekaligus jalan pintas agar pelaku korupsi itu bisa terbebas dari jerat hukum,” kata Kurnia.
Jalan pintas tersebut sempat digunakan oleh terpidana kasus dugaan korupsi pengalihan hak tagih atau cessie Bank Bali, Joko Tjandra. Namun, pada akhirnya Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan tidak meneruskannya ke MA karena Joko Tjandra tidak pernah hadir dalam sidang.
Kurnia mengecam putusan PK yang mengurangi hukuman Sri Wahyumi. Ia menilai putusan PK itu aneh karena hukuman perantara suap jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hukuman penyelenggara negara yang menjadi dalang pidana korupsi. Benhur Lalenoh dijatuhi hukuman pidana 4 tahun penjara.