Divonis Penjara 6 Tahun, Hak Politik Wahyu Setiawan Tidak Dicabut
Majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis bekas anggota KPU, Wahyu Setiawan, 6 tahun penjara. Vonis itu lebih ringan dari tuntutan jaksa, yakni 8 tahun penjara, denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wahyu Setiawan, bekas anggota Komisi Pemilihan Umum, Senin (24/8/2020), dinyatakan terbukti bersalah menerima suap terkait pergantian antarwaktu anggota DPR. Namun, majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta tidak sependapat dengan tuntuan jaksa penuntut umum untuk mencabut hak politiknya.
Majelis hakim memvonis Wahyu dengan hukuman pidana 6 tahun. Vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menuntut Wahyu dengan pidana penjara 8 tahun, denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan. Selain itu, jaksa juga menuntut Wahyu pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 4 tahun terhitung pada saat Wahyu selesai menjalani pidana.
”Menjatuhkan kepada terdakwa satu (Wahyu Setiawan) dengan pidana penjara selama 6 tahun dan pidana denda sebesar Rp 150 juta dengan ketentuan apabila pidana denda tidak dibayar, maka diganti dengan kurungan selama 4 bulan,” kata Ketua Majelis Hakim Susanti Arsi Wibawani.
Sidang ini dihadiri hakim anggota Panji Surono dan Sukartono, kuasa hukum terdakwa, serta jaksa penuntut umum. Sementara itu, Wahyu dan terdakwa lainnya, bekas anggota Badan Pengawas Pemilu, Agustiani Tio Fridelina, mengikuti sidang melalui telekonferensi dari Gedung KPK, Jakarta.
Susanti mengatakan, majelis hakim tidak sependapat dengan jaksa penuntut umum untuk mencabut hak politik Wahyu. Majelis hakim mengambil putusan tersebut dengan pertimbangan karena tidak terdapat alasan yang membenarkan tuntutan tersebut. Mereka menilai, meskipun Wahyu dijatuhi pidana, tetapi masih bersifat pembinaan.
Hal yang memberatkan Wahyu, sehingga majelis hakim menjatuhkan vonis tersebut, yaitu perbuatan Wahyu tidak mendukung program pemerintah dalam mewujudkan pemerintah yang bebas dari korupsi. Selain itu, perbuatan itu berpotensi mencederai hasil pemilu sebagai proses demokrasi yang berlandaskan pada kedaulatan rakyat dan terdakwa telah menikmati hasil kejahatannya.
Vonis Agustiani
Adapun Agustiani divonis pidana penjara 4 tahun, denda Rp 150 juta subsider 4 bulan kurungan. Hukuman itu lebih ringan dari tuntutan jaksa, yakni pidana penjara 4 tahun 6 bulan dan denda Rp 200 juta, serta subsider 6 bulan kurungan.
Hakim menyatakan, dakwaan primer dari jaksa sudah terbukti. Dari fakta yang terungkap di persidangan, Wahyu dan Agustiani melakukan hal seperti disampaikan pada tuntutan umum.
Wahyu bersama Agustiani dinyatakan terbukti menerima uang dari Saeful Bahri sebesar 19.000 dollar Singapura dan 38.350 dollar Singapura atau total setara dengan Rp 600 juta. Uang tersebut diberikan dengan tujuan agar Wahyu selaku anggota KPU periode 2017-2020 mengupayakan persetujuan permohonan pergantian antarwaktu anggota DPR 2019-2024 dari PDI Perjuangan daerah pemilihan Sumatera Selatan 1, yakni dari Riezky Aprilia ke Harun Masiku.
Selain itu, Wahyu juga terbukti menerima suap Rp 500 juta dari Sekretaris KPU Papua Barat Rosa Muhammad Thamrin Payapo terkait proses seleksi calon anggota KPU Provinsi Papua Barat periode 2020-2025. Uang tersebut dikirimkan Rosa kepada Wahyu melalui rekening istri dari sepupu Wahyu, Ika Indrayani.
Hakim menyatakan, pemberian uang tersebut berkaitan dengan jabatan Wahyu sebagai anggota KPU. Hakim menolak bantahan dari Wahyu yang mengaku tidak mengenal Rosa. Bantahan dari Wahyu bertentangan dengan keterangan dari Rosa yang menjadi saksi.
Hakim juga menolak permintaan dari penasihat hukum terdakwa agar Wahyu dibebaskan. Penasihat hukum terdakwa menilai, Wahyu tidak terbukti secara sah memenuhi unsur-unsur dakwaan primer.
Dalam persidangan, Wahyu sempat mengajukan untuk menjadi justice collaborator (JC). Namun, majelis hakim sependapat dengan jaksa. Mereka tidak dapat menetapkan Wahyu sebagai JC karena ia tidak memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditentukan di Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 yang mengatur tata cara penetapan saksi pelaku yang bekerja sama.
Atas vonis tersebut, Wahyu dan Agustiani memilih untuk pikir-pikir. Hal serupa juga dipilih jaksa penuntut umum yang menyatakan pikir-pikir.