Presiden Perlu Bentuk Tim Investigasi Independen untuk Ungkap Pelarian Joko Tjandra
Presiden Jokowi dinilai perlu membentuk tim investigasi independen melibatkan Ombudsman RI, KPK, Komnas HAM, serta masyarakat sipil untuk menguak kasus pelarian Joko Tjandra secara terang benderang.
JAKARTA, KOMPAS — Sudah sebulan Joko Tjandra, terpidana kasus cessie Bank Bali yang buron sejak tahun 2009, meriuhkan ruang publik. Berbagai pihak yang diduga memfasilitasi Joko terus terungkap dan kian meluas ke berbagai personel lembaga negara. Namun, selain Joko belum kunjung tertangkap, pemerintah juga belum bisa mengungkap peta persoalan secara komprehensif.
Kini, peninjauan kembali (PK) yang diajukan Joko Tjandra di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan juga masih terus bergulir kendati Joko sudah tiga kali mangkir dari sidang perdana. Pada Senin (27/7/2020) sidang kembali diagendakan berlangsung di PN Jakarta Selatan.
Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (26/7) petang, mengatakan, kasus Joko Tjandra merupakan bentuk refleksi budaya dan proses politik di Indonesia. Busyro menyebut fenomena itu sebagai bentuk spiral kejahatan korupsi. Dengan begitu, jika tidak diselesaikan secara tuntas, ada kemungkinan kasus tersebut akan terulang kembali.
Oleh karena itu, menurut Busyro, pemerintah perlu memperhitungkan efek jera secara sistemik terhadap oknum yang terlibat dalam kasus ini. ”Pemerintah harus menghindari penyelesaian secara parsial. Semuanya harus diperiksa dan itu mustahil jika hanya dilakukan oleh satu institusi, misalnya Polri,” kata Busyro.
Menurut Busyro, kepercayaan publik terhadap Polri sudah menurun. Misalnya, dalam penyelesaian kasus penganiayaan terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan, Polri dinilainya kurang profesional dalam menjalankan tugas. Polisi dinilai tak bisa mengungkap kasus secara tuntas dan terang benderang. Dalam kasus itu, hanya dua anggota Polri yang divonis sebagai penyerang Novel.
Baca juga: Kejaksaan Diharapkan Segera Tuntaskan Pemeriksaan Jaksa Terkait Joko Tjandra
Dalam kasus Joko Tjandra, apabila kasus ditangani secara parsial di masing-masing institusi, Busyro khawatir nasibnya akan sama seperti kasus Novel. Oleh karena itu, Busyro mengusulkan agar Presiden membentuk tim investigasi independen. Tim investigasi dapat dibentuk dari unsur Ombudsman RI, KPK, Komnas HAM, serta masyarakat sipil. Dengan komisi yang independen ini, diharapkan akan menguak kasus secara terang benderang.
”Komnas HAM memiliki kewenangan untuk menjadi tim investigasi independen karena Indonesia sudah meratifikasi konvensi internasional yang memuat tentang hak sipil, politik, ekonomi, dan sosial,” tutur Busyro menjelaskan.
Sementara itu, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia Topo Santoso mengatakan, kesalahan satu institusi akan memengaruhi institusi lain dalam sistem peradilan pidana terpadu. Karena itu, masing-masing aparat penegak hukum harus mau bekerja sama memperbaiki koordinasi antarlembaga.
Kesalahan demi kesalahan yang dilakukan aparat penegak hukum itu, kata Topo, juga dapat memengaruhi tingkat kepercayaan publik terhadap sistem hukum di Indonesia. Masyarakat akan bersikap apatis dan tidak memercayai sistem hukum. Oleh karena itu, menurut Topo, Presiden harus memberikan perhatian yang tinggi terhadap kasus ini.
Kesalahan demi kesalahan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum itu juga dapat memengaruhi tingkat kepercayaan publik terhadap sistem hukum di Indonesia. Masyarakat akan bersikap apatis dan tidak memercayai sistem hukum. Oleh karena itu, Presiden harus memberikan perhatian yang tinggi terhadap kasus ini.
Caranya adalah menunjukkan komitmen bahwa Joko Tjandra ditangkap dan seluruh aparat yang memfasilitasinya ditindak dengan tegas. ”Upaya Polri yang cekatan mencopot tiga perwira tinggi karena terbukti bersalah itu harus diapresiasi. Namun, jangan hanya selesai sampai di situ. Jika ada bukti-bukti tindakan pidana, harus diproses secara tegas,” kata Topo.
Aparatur negara
Koalisi Pemantau Peradilan dalam konferensi pers, Minggu, menyampaikan catatan kronologi masuk-keluarnya Joko Tjandra di Indonesia. Siasat Joko untuk mendaftarkan PK dimulai saat istrinya, Anna Boentaran, melalui surat tertanggal 16 April 2020 meminta penghapusan nama Joko Tjandra dari red notice Interpol. Divisi Hubungan Internasional Polri (Divhubinter) menindaklanjuti permintaan Anna dengan berkoordinasi dengan markas pusat interpol (IPSG) di Lyon, Prancis, pada 22 April.
Koordinasi kemudian dilanjutkan dengan surat tanggal 29 April 2020. Surat tersebut di antaranya berisi informasi red notice Joko Tjandra dengan nomor A1897/7-2009 telah terhapus di basis data Interpol sejak tahun 2014.
Setelah nama Joko terhapus dari daftar red notice, kepolisian melaporkan itu kepada istri Joko, Anna Boentaran, pada Mei 2020. Laporan ditandatangani oleh Brigadir Jenderal (Pol) Nugroho Slamet Wibowo yang menjabat sekretaris National Central Bureau (NCB) Interpol Polri.
Untuk memuluskan pergerakan Joko di Indonesia, Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Pol) Prasetijo Utomo kemudian menerbitkan surat jalan. Joko dinyatakan sebagai konsultan Bareskrim Polri. Dalam perjalanan dari Jakarta ke Pontianak, Joko bahkan didampingi oleh Brigadir Jenderal (Pol) Prasetijo Utomo naik pesawat jet pribadi.
Kemudian, Direktorat Jenderal Imigrasi menghapus nama Joko Tjandra dari sistem perlintasan pada 13 Mei 2020. Tindakan itu diambil sebagai tindak lanjut surat pemberitahuan Sekretaris NCB Interpol bahwa red notice Joko sudah terhapus dari sistem sejak tahun 2014.
Ditjen Imigrasi, disebut, juga tidak berkoordinasi dengan kejaksaan yang menetapkan Joko sebagai DPO sejak 2009. Dengan dihapuskannya nama Joko dari sistem perlintasan itu, dia bebas masuk-keluar Indonesia. Joko kemudian masuk ke Jakarta pada 8 Juni 2020 untuk membuat KTP elektronik.
Kelurahan Grogol Selatan, Jakarta Selatan, menerbitkan KTP elektronik untuk seseorang yang berstatus terpidana dan buron. Lurah Grogol Selatan mengakui bahwa dia tidak mengetahui status buron Joko Tjandra. Sistem administrasi layanan kependudukan belum terintegrasi dengan data Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengenai status buron seseorang.
Tak hanya menjerat pejabat Polri dan Ditjen Imigrasi, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Anang Supriatna juga disebut bertemu dengan kuasa hukum Joko, Anita Kolopaking. Video pertemuan tersebut diunggah di dunia maya. Terkait hal tersebut, Kejaksaan Agung memeriksa Anang dalam dugaan pelanggaran kode perilaku jaksa.
Terakhir, kasus merambat ke Kejaksaan Agung. Oknum jaksa di Kejaksaan Agung berinisial P diadukan ke Komisi Kejaksaan karena diduga bertemu Joko Tjandra di Kuala Lumpur, Malaysia, sekitar 2019.
Selain itu, Anita Kolopaking juga terlihat berfoto bersama Ketua Mahkamah Agung (MA). MA kemudian mengklarifikasi bahwa foto itu diambil saat momen lebaran. Namun, menurut Koalisi Pemantau Peradilan, hal tersebut tetap tidak etis karena Joko Tjandra sedang mengajukan PK di MA. Pertemuan tersebut diduga Koalisi Pemantau Peradilan melanggar kode perilaku hakim.
Terkait fakta-fakta tersebut, Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan, Liza Farihah, mengatakan, pejabat negara yang diduga terlibat dan memfasilitasi Joko mulai diperiksa oleh masing-masing institusi. Bahkan, Polri telah mengambil langkah tegas, yaitu mencopot tiga perwira tinggi dari jabatannya. Penyidikan kasus tersebut didorong untuk diarahkan ke ranah pidana. Sebab, sudah ada temuan tindak pidana yang dilakukan, seperti penerbitan surat palsu.
”Koalisi pemantau peradilan berharap masing-masing institusi menindak tegas dugaan pelanggaran kode etik ataupun pidana. Kami akan terus mengawal agar kasus ini dijadikan momentum untuk berbenah,” ujar Liza.
Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch Tama Satrya Langkun menambahkan, kasus ini harus menjadi pijakan untuk reformasi aparat penegak hukum, terutama kepolisian dan kejaksaan. Masalah koordinasi harus diperbaiki agar tidak ada lagi saling tuding kesalahan.
Kami berharap Presiden membentuk tim bersama yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menyelidiki dan memproses berdasarkan hukum pidana yang berlaku setiap aparat institusi pemerintah dan penegak hukum yang membantu Joko Tjandra.
Sebab, fakta telah menunjukkan bahwa masing-masing lembaga negara memiliki andil kesalahan dalam kasus ini. Momentum ini seharusnya dimanfaatkan oleh institusi penegak hukum untuk berkoordinasi dan bekerja sama dalam mengeksekusi putusan peradilan yang berkekuatan hukum tetap.
”Kami berharap Presiden membentuk tim bersama yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menyelidiki dan memproses berdasarkan hukum pidana yang berlaku setiap aparat institusi pemerintah dan penegak hukum yang membantu Joko Tjandra,” kata Tama.
Sementara itu, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman berpendapat, masyarakat masih terus berharap kasus ini selesai dengan terang benderang. Menurut dia, saat ini masyarakat berharap agar Ombudsman, DPR, dan Presiden tegas dalam permasalahan ini. Saat ini, Ombudsman, berdasarkan laporan dari masyarakat, secara inisiatif memeriksa dan menginvestigasi mala-administrasi dalam kasus Joko Tjandra.
Ketegasan Ombudsman RI diharapkan bisa membuka kasus ini secara jelas. Selain itu, masyarakat juga berharap pada fungsi pengawasan DPR. Langkah tegas dari Presiden juga akan menentukan ke mana arah penyelesaian kasus ini.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan sebelumnya dalam rapat terbatas dengan Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kejaksaan Agung, Polri, dan Badan Intelijen Nasional meminta kementerian terkait bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk memburu Joko Tjandra. Langkah-langkah strategis perlu segera diambil agar Joko bisa ditangkap.