Banten, Dinasti Politik, dan Minimnya Sirkulasi Elite
Provinsi Banten masih jadi salah satu daerah yang kerap dirujuk saat membahas dinasti politik mulai dari tingkat kabupaten/kota hingga provinsi. Ada pertalian relasi adik-kakak, ibu-anak, keponakan, dan sepupu.
Pemilihan kepala daerah serentak seolah menjadi ”etalase” politik politik kekerabatan di sejumlah daerah. Sejauh ini, Provinsi Banten masih menjadi salah satu daerah yang kerap dirujuk akademisi dan pemerhati politik saat membahas dinasti politik mulai dari tingkat kabupaten/kota hingga provinsi.
Di Pilkada 2020, Banten juga masih menjadi salah satu daerah yang disoroti terkait politik kekerabatan. Pilkada 2020 yang akan berlangsung pada 9 Desember melibatkan 270 daerah. Di Banten, dari delapan kabupaten/kota, ada empat daerah yang menggelar pilkada, yakni Kota Cilegon dan Tangerang Selatan, serta Kabupaten Serang dan Pandeglang.
Proses pencalonan untuk Pilkada 2020 baru akan berlangsung pada September 2020, tetapi jauh hari sebelumnya sudah bermunculan nama-nama bakal calon yang berniat berkontestasi. Belakangan, sejumlah partai politik juga mulai mengeluarkan rekomendasi pencalonan, yang menjadi salah satu syarat pencalonan di Komisi Pemilihan Umum setempat. Dari nama-nama yang sudah mendapat lampu hijau dari parpol, juga terdapat nama yang terkait dengan ”dinasti” politik lokal.
Di Kota Tangerang Selatan ada nama Pilar Saga Ichsan, yang resmi diusung Partai Golkar sebagai bakal calon wakil wali kota Tangerang Selatan mendampingi Benyamin Davnie. Pilar merupakan anak kandung Bupati Serang Ratu Tatu Chasanah yang juga keponakan Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany.
Politisi yang masih berusia 29 tahun itu juga merupakan saudara sepupu Wakil Gubernur Banten Andika Hazrumy yang juga berarti keponakan bekas Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Sementara Benyamin Davnie merupakan Wakil Wali Kota Tangerang Selatan yang saat ini mendampingi Airin.
Baca juga: Pilkada Jadi Musim Semi Politik Kekerabatan
Jika Pilar mengikuti kontestasi politik di Kota Tangerang Selatan, ibunya, Ratu Tatu Chasanah, kembali maju dalam Pemilihan Bupati Serang. Sama dengan anaknya, Tatu yang kembali berpasangan dengan Panji Tirtayasa juga diusung Partai Golkar. Delapan partai politik lain, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Hati Nurani Rakyat, Partai Bulan Bintang, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Berkarya, Partai Kedilan Sejahtera, dan Partai Nasdem, juga sudah menyatakan akan mengusung pasangan petahana tersebut.
Tatu mengawali karier politik dengan menjadi Wakil Bupati Serang mendampingi Bupati Taufik Nuriman pada tahun 2010-2015. Baru pada Pilkada 2015, Tatu yang maju bersama Panji terpilih menjadi Bupati Serang. Tahun ini, Tatu kembali mengikuti pemilihan bupati-wakil bupati Serang bersama Panji yang sebelumnya merupakan birokrat karier.
Politik kekerabatan juga mewarnai pilkada di Kabupaten Pandeglang. Bupati Irna Narulita dan Wakil Bupati Tanto Warsono Arban kembali maju bersama dalam Pilkada Pandeglang tahun 2020. Irna merupakan istri mantan Bupati Pandeglang yang kini anggota Dewan Perwakilan Rakyat, A Dimyati Natakusuma. Irna juga merupakan ibu kandung anggota DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Rizki Aulia Rahman Natakusuma.
Sementara Tanto merupakan suami anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Andiara Aprilia Hikmat, yang tak lain merupakan anak kedua Ratu Atut. Artinya, Tanto juga memiliki hubungan kekerabatan karena pernikahan dengan Wagub Banten Andika, Bupati Serang Tatu, dan Wali Kota Tangerang Selatan Airin.
Pemilihan wali kota-wakil wali kota Cilegon juga menjadi ajang mempertahankan kekuasaan keluarga Tubagus Aat Syafaat, Wali Kota Cilegon 2000-2010 yang meninggal tahun 2016. Ratu Ati Marliati, putri kandung Aat yang kini menjabat sebagai Wakil Wali Kota Cilegon, resmi diusung Partai Golkar, Partai Nasdem, dan Partai Gerindra untuk mengikuti Pilkada 2020.
Ratu Ati merupakan kakak kandung Tubagus Iman Ariadi, Wali Kota Cilegon periode 2010-2015 dan kembali terpilih sebagai wali kota periode 2015-2021. Namun, Iman hanya menjabat hingga tahun 2017 karena harus menjalani hukuman setelah ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena menerima suap perizinan usaha.
Paternalistik
Direktur Eksekutif UsPolitica Uday Syuhada, saat dihubungi pada Rabu (23/7/2020), menengarai, kentalnya politik kekerabatan dalam kontestasi politik di Banten salah satunya disebabkan karakteristik masyarakat yang masih cenderung paternalistik. Kondisi itu diperparah dengan minimnya pendidikan politik yang dilakukan oleh parpol.
Kentalnya politik kekerabatan dalam kontestasi politik di Banten salah satunya disebabkan karakteristik masyarakat yang masih cenderung paternalistik. Kondisi itu diperparah dengan minimnya pendidikan politik yang dilakukan parpol.
Tak hanya itu, pertimbangan parpol dalam menetapkan kandidat untuk diusung dalam pilkada juga lebih didominasi oleh kepentingan pragmatis. ”Aspek kualitas, kapasitas, kompetisi, dan rekam jejak tidak menjadi pertimbangan utama. Justru yang didahulukan adalah pertimbangan modal, kepemilikan dana untuk membiayai pilkada,” kata Uday.
Meski keluarga mereka punya nama besar, tidak serta-merta para kandidat itu bisa memperoleh simpati, apalagi dukungan berupa suara dari rakyat. Sebab, menurut Uday, nama para kandidat yang berasal dari kerabat pejabat itu umumnya masih kurang dikenal. Para kandidat harus benar-benar turun ke lapangan untuk mengenalkan diri serta mengambil hati para pemilih.
Posisi sebagai petahana, menurut dia, juga tak menjamin mendapat banyak dukungan rakyat meski memiliki lebih banyak sumber daya dan dana. Berdasarkan survei UsPolitica, elektabilitas petahana, terutama di Kabupaten Serang dan Pandeglang, kurang dari 50 persen. Padahal, posisi petahana baru bisa dikatakan aman jika elektabilitas mereka bisa melebihi 60 persen.
Korupsi
Dinasti politik atau politik kekerabatan menjadi isu yang kerap muncul berbagai gelombang pilkada serentak. Ada pandangan yang menganggap bahwa hal itu sebagai sesuatu yang lazim. Salah satunya karena melarang seseorang untuk mengikuti sebuah proses pemilihan politik karena garis keturunan dianggap melanggar konstitusi.
Namun, ada pula yang menolak politik kekerabatan, salah satunya karena dalam membuka peluang terjadinya korupsi. Di Banten, selain Wali Kota Cilegon Tubagus Iman Ariadi yang ditangkap KPK, juga ada kasus korupsi yang dilakukan bekas Gubernur Banten Atut Chosiyah.
Atut melakukan korupsi dalam pengadaan alat kedokteran untuk RS rujukan Banten pada APBD 2012 dan APBD Perubahan 2012. Atut terbukti korupsi bersama adiknya, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan. Tindakan mereka mengakibatkan kerugian negara hingga Rp 94,317 miliar.
Menurut Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri, korupsi dan nepotisme memiliki pengaruh yang kuat. ”Nepotisme menyebabkan korupsi yang merugikan keuangan negara,” ujar Firli.
Untuk mencegah korupsi dalam dinasti politik diperlukan peran dan dukungan semua pihak mulai dari eksekutif, legislatif, yudikatif, dan masyarakat dalam perbaikan sistem secara menyeluruh. Hal tersebut dibutuhkan karena tidak ada sebab tunggal seseorang melakukan korupsi.
Korupsi terjadi karena keserakahan, kesempatan, kebutuhan, dan hukuman yang rendah. ”Korupsi juga dipengaruhi kekuasaan, kesempatan, serta minimnya integritas. Kalau kekuasaan eksekutif dan legislatif dikuasai hubungan keluarga, dapat diduga korupsi tak bisa terelakkan,” tutur Firli.
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo mengingatkan, dinasti politik lebih rentan melakukan penyimpangan. Ketika dinasti politik menggejala, tidak terjadi sirkulasi kekuasaan karena kekuasaan hanya berkutat pada segelintir orang yang memiliki keterkaitan dengan penguasa sebelumnya. Padahal, demokrasi secara substansi merupakan sarana melakukan sirkulasi dan pergantian kekuasaan dengan cara yang kompetitif, jujur, dan berintegritas.
”Penguasa yang masih berkuasa punya kans besar untuk membantu calon yang merupakan kerabat, anak, saudara, dan pasangan untuk menang dengan cara apa pun,” tutur Adnan.
Ketika kekuasaan terpusat, kekuasaan mempunyai kecenderungan untuk membungkam sistem pengawasan. Karena itu, konsekuensi lanjutannya adalah korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Akibatnya, sering kali daerah yang dikuasai dinasti politik tidak mengalami pembangunan berarti dibandingkan dengan daerah yang tidak ada poltik dinastinya.