DPR Jadikan Surat dan Naskah Akademik dari PP Muhammadiyah sebagai DIM RUU
Seusai mengkaji RUU Cipta Kerja, PP Muhammadiyah serahkan hasilnya ke DPR. Kajian diterima Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad yang akan menjadikan kajian itu bagian dari daftar inventarisasi masalah RUU Cipta Kerja.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, DPR sudah menerima surat berikut naskah akademik Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Rabu (15/7/2020) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Sebelumnya, surat dan naskah akedemik RUU Cipta Kerja itu diantar Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia Busyro Muqoddas.
Menurut Dasco, masukan dari PP Muhammadiyah itu akan dipelajari oleh DPR. Masukan itu juga akan dipandang sebagai daftar inventarisasi masalah atau DIM dari publik. Selain Muhammadiyah, sejumlah organisasi lain juga telah menyampaikan masukannya kepada DPR. Semua masukan itu akan ditampung oleh DPR.
”Kami akan lihat masukannya, dan ada beberapa persyaratan tadi. Kalaupun mau dilanjutkan, ya nanti akan didialogkan, dan akan coba penuhi supaya semua bisa berjalan dengan baik,” ujarnya saat dihubungi.
Kami akan lihat masukannya, dan ada beberapa persyaratan tadi. Kalaupun mau dilanjutkan, ya nanti akan didialogkan, dan akan coba penuhi supaya semua bisa berjalan dengan baik.
Saat dihubungi, Busyro mengatakan, sebelum diterima langsung oleh pimpinan DPR, surat itu sebenarnya juga telah dikirimkan kepada fraksi-fraksi dan pimpinan pusat partai politik melalui kurir. Surat bahkan juga dikirimkan kepada pimpinan DPR dan Presiden Joko Widodo.
”Kami mengambil keputusan untuk bertemu langsung dengan unsur pimpinan DPR agar surat itu segera mendapatkan tanggapan dan menjadi masukan bagi parlemen untuk menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja. Tidak usahlah ditunda-tunda lagi untuk menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja itu. Hampir semua masyarakat, akademisi, kampus, lalu ormas-ormas keagamaan dan tokoh-tokoh agama, seperti dari NU dan Muhammadiyah, meminta agar RUU itu dihentikan pembahasannya,” tutur Busyro.
Surat yang merupakan sikap resmi Muhammadiyah itu dilengkapi naskah akademik yang merupakan kajian para cendekiawan dan ahli dalam tiga kali rangkaian diskusi. Diskusi, antara lain, digelar di Jakarta dan Magelang, serta seminar secara virtual yang diikuti oleh berbagai pihak. Hasilnya, Muhammadiyah menolak RUU Cipta Kerja dan meminta Presiden selaku pengusung RUU Cipta Kerja itu menarik draf dari pembahasan di DPR.
Minta ditarik
Lebih jauh, menurut Busyro, dalam surat tersebut, PP Muhammadiyah kembali menegaskan sikapnya untuk meminta RUU Cipta Kerja yang dibentuk dengan mekanisme omnibus law agar ditarik dari pembahasan di DPR. Sikap itu dituangkan di dalam surat dan naskah akademik hasil kajian PP Muhammadiyah yang juga diantarkan kepada pimpinan DPR agar mendapatkan perhatian dari fraksi-fraksi yang menjadi respresentasi rakyat di Gedung Parlemen.
”RUU itu kami nilai menyalahi moralitas konstitusi dan Pancasila yang termaktub di dalamnya. Di samping itu juga tidak partisipatif, tidak demokratis prosedurnya karena tertutup dan eksklusif. Substansinya juga bertentangan dengan realitas masyarakat yang semakin termarjinalkan oleh sistem politik dan ekonomi,” tuturnya.
Dulu, RUU KPK cukup dibahas hanya dalam lima hari, dan KPK tidak pernah diundang dalam pembahasannya, itu juga tidak demokratis. Masa mau begitu terus. Masa sikap-sikap antidemokrasi itu mau diteruskan. Sebaiknya, RUU Cipta Kerja itu segera ditarik saja.
Hingga saat ini, pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) dari fraksi-fraksi di DPR masih terus berlangsung di Badan Legislasi (Baleg). Pada Rabu, rapat Baleg soal pembahasan DIM RUU Cipta Kerja telah sampai pada tema penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha, pengadaan, dan pemanfaatan lahan. Setiap fraksi menyampaikan pendapatnya terkait dengan pengaturan dalam pemberian izin tersebut, termasuk untuk pemanfaatan lahan.
”RUU Minerba sudah disahkan, dan itu tidak demokratis. Dulu, RUU KPK cukup dibahas hanya dalam lima hari, dan KPK tidak pernah diundang dalam pembahasannya, itu juga tidak demokratis. Masa mau begitu terus. Masa sikap-sikap antidemokrasi itu mau diteruskan. Sebaiknya, RUU Cipta Kerja itu segera ditarik saja,” tutur Busyro.