Kelabakan Melayani Publik Saat Pandemi Covid-19
Sistem pelayanan publik dituntut untuk beradaptasi dengan kondisi pandemi Covid-19, apalagi pandemi bisa berlangsung lama. Namun, sejumlah persoalan klasik menghambat.
Sistem pelayanan publik dituntut untuk beradaptasi dengan kondisi pandemi Covid-19, apalagi pandemi bisa berlangsung lama. Namun, sejumlah persoalan klasik menghambat.
Kebijakan bekerja dari rumah untuk aparatur sipil negara (ASN) yang berlaku sejak 17 Maret lalu berimbas pada pelayanan publik. Pelayanan administrasi kependudukan hingga perizinan di banyak daerah harus menunggu hingga ASN kembali ngantor, Kompas (13/4/2020).
Persoalannya, pandemi Covid-19 yang menyebabkan keluarnya kebijakan bekerja dari rumah itu diperkirakan belum akan berakhir dalam waktu dekat. Ancaman dari virus korona jenis baru bisa saja berlangsung hingga tahun depan atau bahkan lebih lama jika vaksin tak kunjung ditemukan.
Dalam kondisi itu, kebijakan bekerja dari rumah untuk mencegah penyebaran Covid-19 bisa saja terus diperpanjang oleh pemerintah. Pada 20 April 2020, misalnya, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB) Tjahjo Kumolo kembali memperpanjang penerapan kebijakan itu hingga 13 Mei 2020.
Yang jadi pertanyaan, apakah pelayanan publik masih harus menunggu hingga ASN kembali ke kantor? Padahal, bisa jadi kebutuhan akan pelayanan itu sangat mendesak.
Baca juga : Jaga Pelayanan Publik meski Kerja dari Rumah
Seperti diberitakan Kompas, Selasa (14/4/2020), layanan secara daring bisa menjadi solusinya. Dengan demikian, masyarakat tidak perlu keluar rumah untuk mengurus dokumen-dokumen yang dibutuhkan.
Layanan secara daring di instansi-instansi pemerintah pelayan publik itu sebenarnya sudah lama didorong oleh pemerintah. Hal itu bagian dari reformasi birokrasi dan cita-cita menciptakan pemerintahan berbasis elektronik.
Untuk urusan administrasi kependudukan, misalnya, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Zudan Arif Fakrulloh mengklaim, 467 dari 514 dinas dukcapil di seluruh daerah sudah menerapkan layanan daring.
Namun, peralihan layanan ke digital yang digiatkan sejak tahun lalu itu belum tuntas di 47 daerah. Persoalannya karena keterbatasan internet plus kapasitas ASN yang belum terbiasa menggunakan teknologi informasi dan komunikasi.
”Sebanyak 47 daerah tersebut sedang berproses dan membiasakan online. Masih tahap sosialisasi,” ujar Zudan.
Namun, sekalipun mayoritas daerah sudah menyediakan layanan secara daring, khusus untuk pemohon dokumen KTP elektronik (KTP-el) tetap harus ke kantor kelurahan, kecamatan, atau disdukcapil kabupaten/kota. Hal ini karena perekaman iris mata, sidik jari, dan foto diri yang dibutuhkan untuk KTP-el belum bisa dilakukan secara daring.
Terkait perekaman itu, Zudan telah mengeluarkan kebijakan untuk menghentikan sementara prosesnya selama masa darurat pandemi Covid-19. Perekaman hanya bisa dilakukan jika kebutuhan akan KTP-el sangat mendesak. Padahal, setiap tahun, warga yang memenuhi syarat untuk memiliki KTP-el bisa jutaan jumlahnya. Tahun ini, misalnya, ada lima juta orang.
Ditanyakan apakah sudah ada teknologi yang memungkinkan perekaman bisa dilakukan secara daring, Zudan mengatakan, ”Belum ada teknologinya.”
Perizinan
Untuk urusan perizinan, lebih parah lagi. Berdasarkan data Kemendagri, masih ada 217 kabupaten/kota yang belum mengimplementasikan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik atau kerap disebut online single submission (OSS). Adapun di level provinsi masih ada 13 provinsi.
Padahal, Presiden Joko Widodo telah memerintahkan seluruh pemda mengaplikasikan sistem OSS, hampir dua tahun lalu. Ini seperti tertera pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik.
”Sebetulnya batas waktunya akhir 2019 kemarin (semua pemda sudah menerapkan OSS), tetapi sudah lewat,” kata Sugiarto, Direktur Dekonsentrasi, Tugas Pembantuan dan Kerjasama, Direktorat Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri.
Menurut dia, sejumlah faktor yang menghambat peralihan ke digital itu di antaranya penyesuaian teknologi dan regulasi, keterbatasan sarana dan prasarana seperti jaringan internet, serta kapasitas ASN yang memahami teknologi informasi dan komunikasi.
Baca juga : Cegah Pelayanan Publik Terganggu Selama Pandemi Covid-19, Akselerasi Layanan secara Daring
Terkait penyesuaian teknologi, sejumlah daerah mengkritik kebijakan pemerintah pusat yang mengubah-ubah versi OSS yang ada. Pada 2019, sistem OSS dipegang oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Saat ini, sistem itu tengah diperbaiki oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
”Sistem yang baru dari BKPM belum secara otomatis terintegrasi dengan sistem yang lama, masih perlu penyesuaian dan menginput data ulang. Teman-teman di daerah sering mengeluh dengan perubahan berulang sistem OSS tersebut,” ucap Sugiarto.
Kaitan regulasi, sejumlah kementerian dan lembaga notabene masih memiliki undang-undang sendiri sehingga sulit untuk mengikuti PP No 24/2018. Itu sebabnya, pemda tidak segera mengintegrasikan pelayanan perizinan.
”Itu dasar Presiden memerintahkan membuat omnibus law. Jadi, nanti izin hanya berpatokan pada satu undang-undang, terus NSPK (norma, standar, prosedur, dan kriteria) akan ada di bawah langsung Presiden. Jadi, arahnya ke sana,” kata Sugiarto.
Mengenai problem kapasitas ASN, menurut dia, ASN yang melek teknologi informasi dan komunikasi hanya di perkotaan. Selain itu, di kawasan Indonesia timur, jumlah ASN yang memiliki kapasitas tersebut masih minim atau bahkan tidak ada. Maka, perekrutan ASN dengan kapasitas memahami teknologi informasi atau pelatihan bagi ASN yang ada sangat dibutuhkan.
Sebelum pandemi Covid-19 muncul, Kemendagri, BKPM, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sebenarnya sudah gencar memberikan bimbingan teknis OSS untuk peningkatan kapasitas SDM. ”Namun, Maret ini, kami terpaksa berhenti sementara karena ada pandemi Covid-19,” kata Sugiarto.
Jaringan internet
Sementara terkait jaringan internet, Menkominfo Johnny G Plate menyampaikan, proyek jaringan tulang punggung (backbone) Palapa Ring yang telah diresmikan pemerintah pada akhir 2019 tidak serta-merta menciptakan ketersediaan layanan internet di seluruh pelosok Indonesia.
Sebab, jaringan backbone harus ditransmisikan lagi ke jaringan yang mengangkut kapasitas trafik yang lebih kecil melalui jaringan backhaul dan akses. ”Hal ini yang masih jadi pekerjaan rumah,” katanya.
Baca juga : Banyuwangi Manfaatkan Aplikasi Pesan Layani Keperluan Warga
Jaringan backhaul itu, kata Johnny, tidak harus dibangun oleh pemerintah, tetapi bisa juga dibangun penyelenggara telekomunikasi yang memanfaatkan koneksi ke jaringan Palapa Ring.
Soal jaringan fiber ke rumah, penetrasinya di Indonesia saat ini baru mencapai 13,5 persen dari total seluruh desa/kelurahan di Indonesia. Jika melihat angka penetrasi itu, jelas masih banyak layanan publik yang belum terkoneksi melalui fiber optik.
Adapun jaringan seluler yang lebih populer di Indonesia merupakan substitusi dari serat optik. Saat ini penetrasi layanan seluler dengan teknologi 4G disebutnya telah mencapai 97,28 persen terhadap luas permukiman di Indonesia.
Namun, itu pun tak menjamin kelancaran jaringan internet di sejumlah wilayah. Ini kelemahan teknologi telekomunikasi yang menggunakan gelombang radio sebagai pengantarnya. Gelombang sensitif dengan hambatan seperti bangunan, gunung, dan bukit.
”Kemudian semakin banyak pengguna yang menggunakan secara bersamaan dari sumber pancaran yang sama, maka kualitas akan semakin menurun karena prinsip yang digunakan, shared network,” katanya.
Menurut dia, pembangunan infrastruktur telekomunikasi membutuhkan dana investasi yang sangat besar. Adapun alokasi anggaran Kemenkominfo untuk 2020, menurut Johnny, sangat terbatas. Apalagi anggaran ikut terkena realokasi untuk penanganan Covid-19 sehingga alokasi anggaran yang semula Rp 5,6 triliun terpotong menjadi Rp 5,1 triliun.
”Kami tentu akan memperhatikan sumber pembiayaan infrastruktur telekomunikasi porsi pemerintah tahun depan dan berikutnya sesuai ketersediaan fiskal yang ada pada APBN,” ujarnya.
Kreativitas
Terlepas dari persoalan yang ada, Guru Besar Ilmu Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Erwan Agus Purwanto melihat ada persoalan lain dalam birokrasi kita. Menurut dia, birokrasi kita belum siap menghadapi situasi krisis seperti sekarang.
Yang perlu disiapkan dalam situasi krisis tak hanya peralatan atau digitalisasi, tetapi juga mekanisme kerja, seperti model pembuatan kebijakan, keputusan, dan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Semua itu harus dikelola dengan mekanisme yang berbeda sehingga lebih responsif dan dinamis dalam merespons kedaruratan.
”Yang terjadi sekarang, kan, malah seadanya dan tidak terancang dengan baik. Akibatnya, pada pelayanan publik, jadi kelabakan dan serba tidak siap,” ucap Erwan.
Baca juga : Perkuat Pengawasan Pelayanan Publik
Kemudian yang tak kalah penting, dalam situasi krisis di mana keterbatasan banyak menghadang, ASN dituntut kreatif dan inovatif agar pelayanan publik tetap berjalan.
”Itu yang paling penting mengubah pola pikir, jangan yang sudah ada harus ada terus, yang sudah dilakukan seolah-olah benar dan dilakukan terus. Enggak pernah ada evaluasi dan terjebak rutinitas. Itu yang tak pernah direfleksikan birokrasi,” ujarnya.
Deputi Bidang Pelayanan Publik Kemenpan dan RB Diah Natalisa menekankan, perubahan pola pikir harus dimulai dari pimpinan di setiap instansi. Pimpinan pun hendaknya membuka ruang bagi ASN untuk tidak takut berinovasi.
Inovasi ini sebenarnya sudah muncul di banyak tempat. Kemenpan dan RB turut mendorong bermunculannya inovasi dengan rutin memberi penghargaan kepada inovator terbaik setiap tahun.
Namun, tak dimungkirinya, masih ada yang terjebak dalam rutinitas. Kini, di tengah persoalan pandemi Covid-19 dan kendala-kendala lain, seperti keterbatasan internet dan kapasitas ASN, tak ada cara lain, ASN harus kreatif dan inovatif.
”ASN harus dipaksa kreatif menyelesaikan persoalan dengan tidak menurunkan semangat dalam melayani masyarakat,” kata Diah menambahkan.