Pemimpin Sejati di Masa Pandemi
Di masa krisis, pemimpin sejati dan solutif sangat dibutuhkan. Pemimpin sejati adalah yang membantu kita untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan dari keegoisan, kemalasan, kelemahan, dan ketakutan dari diri kita.
Pandemi Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda akan melemah. Dalam situasi seperti ini terdapat sejumlah kebijakan yang justru menjauhi akar persoalan.
Kengototan parlemen untuk terus membahas sejumlah rancangan undang-undang kontroversial adalah salah satunya. Salah satu yang dipastikan ialah pembahasan RUU Cipta Kerja.
Hal ini misalnya ditegaskan Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Nasdem Willy Aditya saat dihubungi pada Jumat (10/4/2020) lalu. Ia mengatakan, RUU Cipta Kerja dibutuhkan sebagai basis bagi praktik demokrasi ekonomi.
Selain itu, RUU ini juga sebagai perwujudan janji politik Presiden Joko Widodo terkait keinginan keluar dari krisis global dan bonus demografi yang dimiliki.
Menurut Willy, DPR tidak hanya akan fokus pada RUU Cipta Kerja, tetapi juga sejumlah RUU lain. Ia mencontohkan pembahasan RUU Pemasyarakatan yang saat ini masih berjalan di Baleg DPR.
Padahal, sejumlah kalangan sudah berulang kali mengingatkan ihwal tidak mendesaknya pembahasan RUU tersebut untuk dilakukan saat ini. Hal penting yang mesti dilaukan ialah mengarahkan energi dan fokus menghadapi pandemi Covid-19.
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Hamdi Muluk, pada Minggu (5/4/2020) lalu, mengatakan, bahkan sekalipun pembahasan legislasi itu selesai di masa pandemi, produknya tidak akan bisa diimplementasikan. Relatif tidak ada hal yang bisa dilakukan terkait amanat RUU Cipta Kerja itu kelak dalam situasi masih diliputi dampak wabah.
Sosiolog Universitas Indonesia, Imam B Prasodjo, menyebutkan bahwa ketidakpedulian DPR terhadap persoalan hidup mati rakyat yang tengah berjuang mengatasi pandemi Covid-19 dengan meneruskan pembahasan sejumlah RUU akan dicatat sejarah. Ekspresi ketidakpuasan masyarakat juga akan diluapkan. Sekalipun, pada saat ini, sebagian di antaranya baru akan tercurah di media sosial.
Ketidakpedulian DPR terhadap persoalan hidup mati rakyat yang tengah berjuang mengatasi pandemi Covid-19 dengan meneruskan pembahasan sejumlah RUU akan dicatat sejarah.
Ia mengatakan bahwa saat ini masyarakat Indonesia dan seluruh dunia tengah melakukan apa saja untuk mencegah serbuan virus pencetus Covid-19. Pada saat itu, menurut Imam, semua orang menciptakan sejarah dan narasi mereka masing-masing. Catatan mengenai apa yang orang-orang lakukan selama krisis ini terjadi. Itulah mengapa penting meninggalkan ingatan-ingatan baik bagi generasi mendatang.
Keputusan Presiden
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Trisakti, Jakarta, Radian Syam, Jumat (10/4), mengatakan bahwa Presiden bisa meminta penghentian pembahasan RUU Cipta Kerja dan RUU lainnya yang dinisiasi pemerintah. Kewenangan presiden sebagai kepala pemerintahan itu diatur dalam Pasal 4 UUD 1945 yang berbunyi Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemeritahan menurut UUD.
Keputusan presiden lainnya juga tengah dinanti sehubungan penerbitan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang) mengenai penundaan Pilkada Serentak 2020. Sebelumnya pada 30 Maret 2020 lalu, pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu sepakat melakukan penundaan lewat perppu.
Akan tetapi, hingga saat ini, perppu dimaksud belum kunjung diterbitkan. Padahal, ada sejumlah persoalan terkait penetapan penundaan, jadwal lanjutan, pengembalian dan pengalihan anggaran pilkada untuk penanganan wabah Covid-19, hingga penyesualan teknis penyelenggaraan. Di antaranya, dengan kemungkinan mengadopsi model kampanye daring sehubungan dengan keharusan untuk menjaga jarak fisik guna memutus mata rantai penyebaran virus pencetus Covid-19.
Sejauh ini, yang bisa dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) baru sebatas menunda empat tahapan. Masing-masing pelantikan Panitia Pemungutan Suara (PPS), verifikasi syarat dukungan calon perseorangan, pembentukan Panitia Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP), serta kerja pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih.
Penundaan ini didasarkan pada keputusan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang memperpanjang status keadaan tertentu darurat bencana dari 29 Februari 2020 hingga 29 Mei. Hal-hal lain, termasuk siapa yang memutuskan untuk melakukan pelaksanaan pilkada lanjutan kelak, belum bisa ditetapkan. Penerbitan perppu dipandang menjadi solusi untuk mengatasi sejumlah persoalan tersebut.
Pada tingkatan kebijakan lebih teknis, kondisinya relatif sebangun sekalipun dilengkapi dengan kontroversi antarlembaga. Misalnya saja diterbitkannya Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 18/2020 tentang Pengendalian Transportasi dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19.
Baca juga: Industri Dalam Negeri Dioptimalkan untuk Tangani Covid-19
Permenhub itu ditetapkan Menhub Ad Interim Luhut Binsar Pandjaitan pada 9 April 2020. Sebagaimana dikutip dari laman kompas.id, Permenhub itu di antaranya membolehkan sepeda motor yang dikendarai pribadi ataupun ojek untuk mengangkut penumpang dengan memenuhi protokol kesehatan.
Padahal, di dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 33/2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar, ojek daring tidak diperbolehkan mengangkut penumpang. Pergub tersebut merujuk Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9/2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Permenkes itu ditetapkan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto pada 3 April 2020.
Membingungkan
Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen, Agus Pambagio, saat dihubungi pada Minggu (12/4), mengatakan, kebijakan tersebut mestinya urut dari level atas hingga tingkat peraturan pelaksanaannya. Ia mencontohkan hal itu terjadi pada Permenkes Nomor 9/2020 yang didasarkan pada UU Nomor 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 21/2020 tentang PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.
Baca juga: Gerakan Kecil Warga Dorong Ojek Daring Tinggal di Rumah
Permenkes itu lantas ditindaklanjuti dengan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 33/2020. Juga sejumlah wilayah di Jabodetabek.
”Tiba-tiba ada peraturan (dari) menteri lain, yaitu Menteri Perhubungan yang (isinya) kontradiktif, bukan saling menunjang,” ujar Agus.
Padahal, menurut dia, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah mestinya saling menunjang. Kontradiksi isi kebijakan ini membingungkan aparat yang bekerja di lapangan.
Kontradiksi aturan yang dikeluarkan masing-masing pejabat tersebut menunjukkan masih adanya ego sektoral yang tidak jelas. Padahal, menurut Agus, yang menjadi tujuan besar saat ini adalah untuk menghilangkan wabah Covid-19. Mestinya, yang dilakukan bukan mengeluarkan kebijakan yang ditujukan untuk memikirkan kondisi perekonomian semata. Apalagi, jika itu ditujukan untuk kepentingan ojek daring.
Kontradiksi aturan yang dikeluarkan masing-masing pejabat tersebut menunjukkan masih adanya ego sektoral yang tidak jelas.
Menurut Agus, jika kaitannya dengan para pengojek daring, mestinya yang bertanggung jawab adalah perusahaan teknologi di mana para pengemudi ojek tersebut menjadi mitra kerja. Urusan pemerintah mestinya berhubungan dengan transportasi umum. Ojek atau kendaraan roda dua bukanlah angkutan umum.
Pemimpin di masa krisis
Disinggung ihwal kepemimpinan di masa krisis, Agus mengatakan, dirinya fokus pada sisi pembuatan kebijakan untuk mengurangi penyebaran wabah Covid-19. Adanya permenhub diduga sebagai ungkapan kekhawatiran belum dimilikinya dana oleh pemerintah untuk membiayai. Pasalnya, PSBB membutuhkan kesiapan daerah dan anggaran serta operasionalisasi jaring pengaman sosial serta ketersediaan kebutuhan hidup dasar rakyat.
Agus menyesalkan dikeluarkannya kebijakan yang memungkinan interaksi fisik erat antarmanusia dalam konteks perhubungan. Padahal, yang penting dilakukan saat ini justru mencegah transmisi virus ke lokasi lain.
Kebijakan-kebijakan tersebut seolah mencerminkan perbedaan dan perubahan sudut pandang terkait prioritas yang satu dengan lainnya. Kondisi yang sebagian di antaranya disebabkan kondisi krisis berskala besar karena pengalaman belum pernah memberikan pelajarannya.
Dikutip dari artikel Nancy Koehn berjudul ”Real Leaders Are Forged in Crisis” yang diterbitkan Harvard Business Review di laman hbr.org pada 3 April 2020, disebutkan bahwa saat ini kita hidup di dalam krisis kesehatan global yang tidak ada presedennya di masa modern. Ia menulis bahwa yang saat ini lebih dibutuhkan oleh pemerintah, korporasi, rumah sakit, sekolah, dan organisasi-organisasi lain, dibandingkan masa sebelumnya, adalah apa yang disebut penulis David Foster Wallace sebagai ”pemimpin sejati.”
Nancy juga menulis, pemimpin sejati adalah orang yang membantu kita untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan dari keegoisan, kemalasan, kelemahan, dan ketakutan dari diri kita. Mereka juga orang-orang yang mampu membuat kita melakukan hal-hal lebih baik dan lebih sulit dibandingkan yang bisa kita lakukan sendiri.
Pemimpin sejati adalah orang yang membantu kita untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan dari keegoisan, kemalasan, kelemahan, dan ketakutan dari diri kita. Mereka juga orang-orang yang mampu membuat kita melakukan hal-hal lebih baik dan lebih sulit dibandingkan yang bisa kita lakukan sendiri.
Masih dikutip dari artikel tersebut, pemimpin menjadi ”sejati” tatkala mereka mempraktikkan beberapa perilaku kunci yang mengikat dan menginspirasi orang-orang dalam melalui masa-masa sulit. Seiring dengan menyebarnya wabah Covid-19, Nancy membagikan sejumlah hal yang bisa dipelajari dari beberapa pemimpin ikonik yang dicatat sejarah tatkala menghadapi ketidakpastian besar, bahaya nyata, dan ketakutan kolektif.
Pertama, kenali dan akui ketakutan orang-orang. Lalu dorong adanya semacam tekad untuk mengatasinya. Lalu, berikan peran dan tujuan kepada orang-orang. Lantas, berikan penekanan pada eksperimentasi dan pembelajaran. Berikutnya, cenderung pada energi dan emosi, yang menjadi milik pemimpin maupun orang-orang. Mengetahui denyut energi dan emosi orang-orang dan merespons sesuai kebutuhan menjadi fungsi kepemimpinan yang penting di masa ini.
Baca juga: Disrupsi Kepemimpinan Daerah
Sementara dalam buku berjudul 7 Lessons For Leading In Crisis yang ditulis Bill George (2009), disebutkan tujuh hal yang mesti diperhatikan selama memimpin di masa krisis. Pertama, hadapi kenyataan, dimulai dari diri sendiri.
Kedua, pemimpin tidak bisa melalui ini sendirian. Ketiga, galilah secara mendalam akar masalahnya. Keempat, bersiaplah untuk jangka panjang. Kelima, jangan pernah menyia-nyiakan krisis yang baik. Keenam, pemimpin berada dalam sorotan: ikuti tujuan yang diinginkan dari kondisi saat ini. Ketujuh, bertindak ofensif, fokus pada kemenangan.
George menyebutkan bahwa tujuh pelajaran tersebut akan segera bermanfaat menghadapi krisis yang tengah dhadapi dan mempersiapkan yang akan datang. Hal terpenting adalah semuanya bisa dipelajari dan dibentuk. Semakin keras unsur-unsur pembentuknya, semakin tangguh pula kemungkinan hasilnya.
Sebagaimana ungkapan lama mengatakan: Pelaut andal tak akan lahir dari laut yang tenang.