Penolakan Pembahasan RKUHP di Tengah Pandemi Covid-19 Makin Meluas
Komnas HAM meminta DPR dan Presiden menunda pembahasan dan pengesahan RKUHP. Masyarakat sipil juga menyuarakan hal sama terkait RKUHP dan RUU Pemasyarakatan.
Oleh
Rini Kustiasih dan Nikolaus Harbowo
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Penolakan terhadap pembahasan dan pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan RUU Pemasyarakatan oleh Dewan Perwakilan Rakyat di tengah pandemi Covid-19 semakin meluas. Kondisi darurat kesehatan dianggap tidak memungkinkan publik berpartisipasi dalam penyusunan RUU secara maksimal. Padahal, masih banyak pasal bermasalah dalam RUU itu.
Selain kelompok masyarakat sipil, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Selasa (7/4/2020), juga menyampaikan sikap kelembagaan meminta DPR dan Presiden Joko Widodo menunda pengesahan RKUHP. Ini agar pembahasan serta pengesahan RKUHP membawa perubahan yang signifikan bagi perlindungan dan penegakan HAM.
Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, mengatakan, dari sisi waktu, rencana pembahasan tidak tepat karena sumber daya bangsa sedang berjuang mengatasi pandemi Covid-19. Selain itu, dari sisi proses, diperlukan kajian mendalam dan partisipasi publik untuk memberikan respons atas RKUHP tersebut.
”Pembentuk undang-undang agar memberikan waktu yang memadai agar hak masyarakat untuk berpartisipasi terpenuhi,” kata Anam.
Selain itu, pemerintah dan DPR juga diminta membuka kepada publik draf RKUHP yang terakhir sebagai bagian dari hak publik untuk tahu serta untuk memenuhi asas transparansi dan akuntabilitas.
Sementara itu, masyarakat sipil masih menemukan persoalan di RKUHP dan RUU Pemasyarakatan. Di RKUHP, misalnya, masih ditemui pasal-pasal kriminalisasi terhadap hal-hal yang sudah diputuskan bertentangan dengan konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi.
Di RUU Pemasyarakatan masih ada perdebatan tentang potensi hilangnya pengetatan remisi dan asimilasi serta pembebasan bersyarat terhadap napi tindak pidana khusus yang diatur di PP No 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Genoveva Alicia, mengatakan, pemerintah dan DPR harus kembali mengevaluasi seluruh pasal di dalam RKUHP. Sebab, ICJR menemukan masih terdapat pasal-pasal bermasalah di RKUHP tersebut.
Dari draf RKUHP terakhir per September 2019, Aliansi Nasional Reformasi KUHP mencatat, masih terdapat pasal-pasal bermasalah, yang disimpulkan menjadi 17 isu. Isu tersebut meliputi, antara lain, penghinaan terhadap presiden dan pemerintah, larangan mempertunjukkan alat kontrasepsi, perzinaan, kohabitasi, penggelandangan, aborsi, serta tindak pidana korupsi, penghinaan terhadap lembaga peradilan.
Dijadikan kesempatan
Genoveva menilai, pandemi Covid-19 tidak boleh dijadikan kesempatan oleh pemerintah dan DPR untuk mengesahkan RUU yang masih bermasalah dan tidak dibahas inklusif.
”Jika pemerintah dan DPR belum dapat fokus dan serius membahas masalah RKUHP, lebih baik pengesahan dengan pembahasan ditunda terlebih dahulu sehingga seluruh fokus diarahkan pada penanganan Covid-19,” ujarnya.
Terkait RUU Pemasyarakatan, peneliti Center for Detention Studies, Gatot Goei, mengatakan, di draf terakhir yang dibahas DPR periode sebelumnya terdapat ketentuan di Pasal 94 dan Pasal 98 yang memungkinkan pemerintah membentuk PP baru dengan menggunakan payung RUU yang baru.
Hanya saja, RUU Pemasyarakatan yang baru menyamakan kedudukan napi, baik napi pidana umum maupun pidana khusus. Dengan dasar itu, ada potensi bagi pemerintah untuk mengubah PP No 99/2012 yang memberi pengetatan dalam syarat pemberian remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat kepada napi tipidsus. Padahal, katanya, pemerintah menegaskan tidak akan mengubah atau mencabut norma di PP No 99/2012.
Pengajar hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Trisno Raharjo, juga menekankan, RUU Pemasyarakatan tak mengakomodasi pelepasan bersyarat khusus untuk tindak pidana yang masuk kategori luar biasa, yaitu pelanggaran HAM, korupsi, terorisme, dan narkotika.
Ketua Komisi III DPR Herman Hery mengatakan, beberapa pasal krusial akan dibicarakan lagi di Komisi III. Pembahasan dua RUU itu akan masih dilanjutkan di tingkat komisi. RUU itu baru akan dibawa ke tingkat II (paripurna) setelah ada penyelesaian atau pembahasan di tingkat I.
Anggota Komisi III, Arsul Sani, mengatakan, dalam proses pembahasan, fraksi-fraksi akan menyampaikan sikap terhadap pasal-pasal kontroversial. Sikap fraksi bisa meliputi perbaikan redaksional pasal atau penambahan penjelasan di pasal. Dia tak sepakat apabila kerja legislasi di DPR diminta berhenti di tengah pandemi Covid-19. ”Silakan kami dikritisi, tetapi jangan juga kami itu karena virus korona disuruh berhenti. Nanti kalau berhenti legislasinya, salah lagi,” katanya.
Sementara itu, anggota Komisi III, Nasir Djamil, mengatakan, dari segi substansi, RUU Pemasyarakatan lebih siap daripada RKUHP. Namun, pembicaraan soal RUU Pemasyarakatan juga harus dilakukan kembali karena RUU itu sudah lama diendapkan dan belum pernah dibahas lagi sejak ditunda pembahasannya, September 2019. (Edna C Pattisina/Prayogi Dwi Sulistyo)