Penerapan Jaga Jarak di LP dan Rutan Tak Harus Ubah PP No 99/2012
Sejumlah pihak meminta pemerintah tidak merevisi PP Nomor 99 Tahun 2012 karena akan berdampak pada penjeraan pelaku korupsi dan pemberantasan korupsi secara umum.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keinginan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 langsung ditanggapi secara negatif karena dinilai dapat melemahkan pemberantasan korupsi. Penerapan physical distancing atau jaga jarak fisik di dalam lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan dapat dilakukan dengan cara lain, tanpa harus mengubah peraturan tersebut.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, PP No 99/2012 mengatur tata cara pemberian hak warga binaan yang melakukan tindak pidana tertentu, seperti korupsi, narkotika, terorisme, dan tindak pidana lain yang berkaitan dengan keamanan negara.
”Persyaratannya dibuat khusus sebagai bagian dari upaya penjeraan, khususnya untuk tindak pidana korupsi dalam mendapatkan remisi, asimilasi, atau pembebasan bersyarat. Mereka harus melunasi pembayaran denda atau ganti rugi kepada negara dan harus dikoordinasikan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi,” kata Fickar melalui pesan singkat, di Jakarta, Jumat (3/4/2020).
Ia menjelaskan, jika PP tersebut diubah dan persyaratannya dipermudah, akan berpengaruh pada upaya penjeraan terhadap pelaku korupsi dan tindak pidana berat lainnya meski demi alasan karena adanya Covid-19.
Oleh karena itu, jika demi kepentingan menjaga jarak sosial, seharusnya tidak dilakukan dengan mengubah PP tersebut, tetapi dengan upaya lain dalam koridor yuridis yang tetap menghargai hak atas kesehatan. Salah satunya dengan cara tahanan rumah atau tahanan kota yang tetap sesuai dengan prinsip menjaga jarak sosial (social distancing).
Dengan cara tersebut, pengawasan dan perhitungan dalam menjalankan hukuman tetap dilakukan meski ditahan atau dipidana di luar lembaga pemasyarakatan.
Alasan usia 60 tahun juga kurang tepat karena ada acuan yuridis untuk memperlakukan seseorang yang tidak dapat ditahan lagi, yaitu usia 75 tahun. Ketentuan ini ada pada Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung No 1/2000 tentang Lembaga Paksa Badan. Dalam ketentuan tersebut dijelaskan batas usia yang dapat ditoleransi untuk tidak ditahan.
Lukai rasa keadilan
Menurut Fickar, mengubah ketentuan yang menguntungkan kelompok tertentu pada situasi pandemi Covid-19 sama artinya dengan memanfaatkan situasi untuk keuntungan sendiri. Dalam usaha pemberantasan korupsi, apa yang hendak dilakukan oleh Menkumham Yasonna Laoly akan melukai rasa keadilan masyarakat karena masih ada pilihan yuridis lainnya.
Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo Harahap mengatakan, banyak metode lain yang dapat diterapkan untuk menghindari Covid-19 bagi para terpidana korupsi tanpa harus mengubah PP tersebut. Metode tersebut yakni dengan pengaturan sel dan kunjungan.
Ia menegaskan, wacana pembebasan koruptor dengan merevisi PP No 99/2012 pada saat kondisi krisis karena epidemi Covid-19 seperti saat ini hanya akan meringankan, bahkan mengurangi efek jera bagi koruptor. Selain itu, perubahan pada PP tersebut juga akan berpengaruh pada usaha pencegahan korupsi. Ia mendorong Presiden Joko Widodo agar memerintahkan Menkumham untuk tidak melanjutkan revisi PP No 99/2012.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nugroho mengaku, meski telah dilakukan percepatan pembebasan napi dalam beberapa hari ini, tidak semua lembaga pemasyarakatan/rumah tahanan sudah dapat menerapkan jarak sosial.
Hingga saat ini, jumlah napi yang sudah dikeluarkan dan dibebaskan melalui program percepatan tersebut yakni 29.140 orang. Adapun napi yang dikeluarkan melalui program asimilasi 19.267 orang dan napi yang dibebaskan melalui program integrasi 9.873 orang. Jumlah total tahanan dan napi saat ini yaitu 261.493 orang, sedangkan kapasitas lapas/rutan yang ada hanya untuk 131.931 orang.
Diskriminatif
Isu diskriminatif menjadi alasan yang digunakan Menkumham dan DPR untuk dapat merevisi PP tersebut. Alasan tersebut dipandang tidak masuk akal karena korupsi sudah disepakati sebagai kejahatan luar biasa di Indonesia.
Pakar hukum dari Universitas Parahyangan, Bandung, Jawa Barat, Agustinus Pohan, mengatakan, diskriminasi terjadi jika tidak melakukan penanganan yang sama untuk situasi yang sama. ”Apakah keliru jika digunakan cara luar biasa untuk menghadapi hal yang luar biasa. Bukankah juga banyak aturan khusus dalam menghadapi terorisme?” ujar Agustinus.
Abdul mengatakan, pembedaan perlakuan dalam PP No 99/2012 harus dilihat dalam konteks perbuatannya yang luar biasa. Mereka telah mengambil banyak jatah rakyat. Karena itu, PP No 99/2012 menjadi sebuah keharusan.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia Indriyanto Seno Adji berpendapat, dengan atau tanpa revisi PP tersebut, Menkumham dapat mengeluarkan kebijakan yang tidak diskriminatif untuk mengatur pembebasan para napi.
Meskipun demikian, menteri harus menetapkan klasifikasi, kriteria, dan syarat yang ketat dalam membebaskan napi. Selain itu, sistem pengawasan yang terintegrasi dengan lembaga penegak hukum lainnya juga harus dilakukan.