Pemerintah dan DPR, bakal menyederhanakan sistem politik dan pemerintahan dengan menggabungkan sejumlah undang-undang terkait. Upaya itu dapat disebut sebagai omnibus law di bidang politik.
Oleh
Ingki Rinaldi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan DPR, pada awal tahun 2020, bakal menyederhanakan sistem politik dan pemerintahan dengan menggabungkan sejumlah undang-undang terkait. Sebagian tujuannya adalah untuk menghemat anggaran negara dan memastikan munculnya para pemimpin terbaik berdasarkan proses elektoral yang terukur.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar, Selasa (31/12/2019) mengatakan bahwa upaya itu dapat disebut sebagai omnibus law di bidang politik. Sejumlah undang-undang (UU) terkait rencananya bakal digabungkan untuk tujuan penyederhanaan tersebut. Sejumlah UU tersebut adalah UU Pemilu, UU Pilkada, UU Parpol, UU MD3 (MPR, DPR, DPD, DPRD), dan UU Pemerintahan Daerah. Menurutnya, penyederhanaan itu terkait juga dengan perbaikan kualitas demokrasi yang di antaranya berusaha dicapai dengan upaya memperkuat pemerintahan presidensial dan sistem kepartaian.
Bahtiar mengatakan, selama ini pengaturan urusan-urusan dalam sistem demokrasi di Indonesia tersebar dalam sejumlah regulasi. Hal tersebut menyebabkan pengelolaan dan penyikapannya juga cenderung parsial. Pada akhirnya, solusi yang dihasilkan juga cenderung tidak menyelesaikan persoalan secara menyeluruh.
Misalnya saja kebutuhan di hulu demokrasi akan kehadiran partai-partai politik yang tumbuh pada kondisi ideal. Sebagian wacana yang berkembang, di antaranya dengan rencana kenaikan bantuan dana bagi parpol, dinilai bukan merupakan solusi menyeluruh. Demikian pula fokus yang hanya membahas tentang gagasan pilkada langsung ataupun pilkada tidak langsung.
Lebih jauh Bahtiar menambahkan, ada ketidaksinambungan antara proses politik di tingkat pusat dan daerah. Hal ini dapat terjadi karena kekuatan politik yang memenangkan presiden di tingkat pusat belum tentu kekuatan politik sama yang menentukan kemenangan gubernur, bupati, dan walikota di daerah.
“(Akibatnya) Kebijakan presiden terpilih belum tentu sejalan (dengan kebijakan) di daerah. Karena sama-sama dipilih rakyat,” papar Bahtiar.
Hal lain ialah manajemen rencana pembangunan yang cenderung tidak sinkron dengan rencana politik. Misalnya saja tercermin dari masa jabatan yang berbeda-beda antara penguasa di tingkat pusat dan daerah. Hal ini membuat pembangunan cenderung tidak berjalan dengan lancar.
"Karena kekuatan politik tidak linier, maka rezim pembangunan tersendat-sendat," sebut Bahtiar.
Dalam hal ini, ada pembangunan yang berhenti di wilayah provinsi atau kabupaten/kota tertentu. Ada juga yang hanya terkonsentrasi di daerah tertentu.
Selain itu, imbuh Bahtiar, masyarakat kerapkali terjebak dalam proses teknis elektoral dan cenderung tidak berhubungan dengan kualitas keluaran yang dihasilkan. Regulasi atau UU yang disatukan diharapkan dapat mengefisienkan keuangan negara karena pengaturan yang relatif banyak pada saat ini berpotensi disederhanakakan.
Pasalnya, imbuh Bahtiar, selain membutuhkan anggaran negara yang relatif besar, ukuran pendanaan untuk melaksanakan sejumlah agenda politik nasional seperti pemilu dan pilkada juga cenderung cair dan relatif tidak solid. Menurut Bahtiar, misalnya saja untuk penyelenggaraan Pilkada serentak 2020, sekitar Rp 15 triliun anggaran negara diperkirakan bakal tersedot untuk melakukan proses tersebut.
Anggaran tersebut, yang sebagian di antaranya berasal dari APBD, bahkan membuat sebagian daerah kesulitan untuk memenuhinya. Ini tercermin dari penandatangangan NPHD (Naskah Perjanjian Hibah Daerah) sebagai landasan pengucuran APBD yang di sebagian daerah terlambat dilakukan.
Tiga UU Disatukan
Terkait dengan rencana penggabungan sejumlah UU terkait politik dan pemerintahan dengan tujuan penyederhanaan sistem, anggota Komisi II DPR membenarkan bahwa diskusi mengenai hal tersebut memang dilakukan. Akan tetapi jumlah undang-undang yang rencananya akan digabung tidak berjumlah lima, melainkan tiga undang-undang.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar, Zulfikar Arse Sadikin, saat dihubungi mengatakan undang-undang yang coba disatukan adalah UU Parpol, UU Pemilu, dan UU Pilkada. Sementara UU Pemerintahan Daerah diusulkan direvisi.
Salah satu poin revisi terkait ialah dengan memasukkan pengaturan tentang DPRD ke dalam UU Pemerintahan Daerah. Hal ini membuat UU MD3 kelak hanya mengatur tentang MPR, DPR, dan DPD.
Akan tetapi, imbuh Zulfikar, hal itu akan tergantung dari Prolegnas (Program Legislasi Nasional) prioritas 2019-2020. Menurutnya hal ini dikarenakan belum diputuskannya hal itu oleh DPR dan pemerintah pada saat akhir masa sidang pertama.
Sementara anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Kamrussamad mengatakan, DPR masih menanti usulan pemerintah mengenai konsep awal penyederhanaan UU di bidang politik dan pemerintahan itu. Menurutnya, DPR berharap pada masa persidangan berikutnya antara Januari-Februari 2020, pemerintah sudah mengusulkan konsep tersebut.
Ia mengatakan bahwa gagasan omnibus law politik dan pemerintahan merupakan solusi untuk menghindari tumpang tindih aturan. Efisiensi dan kepastian hukum dalam sistem politik dan pemerintahan diharapkan terwujud dari praktik tersebut.