Ibu Kota Baru Indonesia: Kilas Balik, Regulasi, Tahapan Persiapan, Pembiayaan, dan Dampak Ekonomi
Pemerintah telah menetapkan pemindahan ibu kota negara Republik Indonesia dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Berbagai pekerjaan besar menanti untuk diselesaikan, seperti pembuatan payung hukum, alokasi anggaran, hingga pembangunan infrastruktur pendukung.
Wacana pemindahan ibu kota negara (IKN) disampaikan Presiden Joko Widodo pada Pidato Kenegaraan 16 Agustus 2019 di parlemen. Pada kesempatan itu, Presiden meminta izin dan dukungan dari anggota DPR dan rakyat Indonesia untuk memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Pulau Kalimantan.
Menurut pemerintah, beban Jakarta saat ini dinilai sudah terlalu berat sebagai pusat pemerintahan, pusat bisnis, pusat keuangan, pusat perdagangan, dan pusat jasa. Bahkan, bandar udara dan pelabuhan laut yang terbesar di Indonesia terdapat di Jakarta.
Selain itu, beban Pulau Jawa semakin berat dengan penduduk 150 juta atau 54 persen dari total penduduk Indonesia serta 58 persen Produk Domestik Bruto (PDB) ekonomi Indonesia ada di Pulau Jawa.
Situasi tersebut mengakibatkan kesenjangan ekonomi antara Jawa dan luar Jawa. Oleh karena itu, dibutuhkan pemindahan ibu kota ke luar Jawa demi mendorong percepatan pengurangan kesenjangan dan peningkatan pertumbuhan perekonomian daerah di luar Jawa.
Selanjutnya, pada tanggal 26 Agustus 2019, Presiden Joko Widodo mengumumkan keputusan pemerintah memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan Timur, tepatnya di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian Kabupaten Kutai Kartanegara. Penentuan wilayah tersebut merupakan hasil dari kajian yang telah dilakukan sejak 2016.
Setidaknya, terdapat lima pertimbangan yang disebutkan Presiden terkait pemilihan dua wilayah tersebut sebagai ibu kota Indonesia yang baru. Pertama, risiko bencana seperti bencana banjir, gempa bumi, tsunami, kebakaran hutan, gunung berapi, maupun tanah longsor di dua wilayah itu jauh lebih minim dibandingkan wilayah lain di Indonesia.
Kedua, lokasi tersebut terletak di tengah-tengah wilayah Indonesia sehingga dianggap ideal sebagai ibu kota negara. Ketiga, lokasi Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Karta Negara berdekatan dengan wilayah perkotaan yang berkembang, yaitu Balikpapan dan Samarinda.
Keempat, Kalimantan Timur memiliki infrastruktur yang relatif lengkap. Sedangkan alasan kelima, tersedia lahan 180 ribu hektare yang dikuasai pemerintah pada dua kabupaten tersebut.
Rencana pemindahan ibu kota negara juga telah dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 yang disahkan melalui Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020. Berbagai manfaat pemindahan ibu kota yang disebutkan dalam lampiran Perpres tersebut, antara lain memberikan akses yang lebih merata bagi seluruh wilayah NKRI, mendorong pemerataan pembangunan ke luar Jawa, reorientasi pembangunan dari Jawa-sentris menjadi Indonesia-sentris, hingga mengurangi beban Pulau Jawa dan Jabodetabek.
Dampak ekonomi
Pemindahan ibu kota negara tidak hanya memindahkan pusat pemerintahan, tetapi diharapkan berdampak pula pada pemerataan ekonomi nasional.
Secara umum, Bappenas mencatat, pemindahan IKN ke luar Jawa akan mendorong perdagangan antarwilayah di Indonesia. Lebih dari 50 persen wilayah Indonesia akan merasakan peningkatan arus perdagangan jika ibu kota negara dipindah ke provinsi yang memiliki konektivitas dengan provinsi yang baik.
Pemindahan ibu kota negara ke provinsi baru juga akan menciptakan dorongan investasi yang lebih luas pada wilayah lain. Keterkaitan ekonomi provinsi ibu kota baru dengan provinsi lain di sekitarnya akan menjadi salah satu pendorong investasi di provinsi lain. Selain itu, pemindahan ibu kota negara ke luar Pulau Jawa akan meningkatkan output beberapa sektor nontradisional terutama sektor jasa.
Pada tahap awal, menurut rencana akan dibangun sekitar 100.000 rumah dengan 500.000 pekerja. Logistik pembangunan akan dirasakan wilayah lain, seperti Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, serta Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Bali.
Pembangunan rumah dan kantor di ibu kota yang baru akan menambah laju pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 0,2 persen basis poin rata-rata per tahun. Selain itu, pertumbuhan ekonomi di Provinsi Kalimantan Timur diprediksi 2,1 persen. Pembangunan ini akan berdampak pula kepada pertumbuhan ekonomi provinsi lain di Kalimantan dan Sulawesi antara 0,1 persen sampai 0,3 persen.
Selain itu, pemindahan IKN ini mempunyai daya ungkit yang akan membuat Indonesia keluar dari middle income trap sebelum tahun 2045, dengan syarat pertumbuhan ekonomi konsisten bertahan pada kisaran 5-6 persen.
Kilas Balik Wacana Pemindahan Ibu Kota
Sebenarnya, gagasan pemindahan ibu kota Indonesia sudah lama tercetus. Catatan sejarah menunjukkan, wacana pemindahan ibu kota negara sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Posisi geografis Jakarta yang berada di daerah pantai yang rendah menyebabkan wabah penyakit menular, seperti malaria dan diare, kerap kali terjadi pada masa tersebut.
Hasil studi dari HF Tillema, ahli kesehatan lingkungan yang bertugas di Semarang, menyimpulkan bahwa kota-kota pelabuhan di pantai Jawa cenderung tidak sehat, termasuk Batavia. Pada saat itu, pilihan untuk merelokasi ibu kota pemerintahan adalah ke Surabaya dan Bandung. Kemudian, Tillema mengusulkan Bandung sebagai ibu kota Hindia Belanda yang baru menggantikan posisi Batavia. Namun, gagasan ini kurang mendapatkan dukungan Volksraad.
Meski sempat mendapatkan penolakan, pada masa kekuasaan Gubernur Jenderal JP Graaf van Limburg Stirum (1916-1921) kebijakan ini akhirnya disetujui dan mulai diimplementasikan. Lahan seluas 27 hektare disiapkan menjadi kawasan pusat pemerintahan sipil di Bandung. Kantor-kantor pemerintahan dan swasta mulai dipindahkan secara bertahap ke Bandung, seperti Kantor Pertambangan dan Energi (1924), gedung Geologisch Laboratorium (1928), Gedung Pensiun (1940), Perum Bio Farma (1923), Kantor Pos Besar (1928), dan Kantor Pusat Kereta Api (1928).
Namun, dari perencanaan tersebut pemerintah Hindia Belanda hanya menyelesaikan dua bangunan, yaitu Departement Verker en Gemeentewerken (1920) dan Hoofdbureu Post Telegraf en Telefoon (1920). Sedangkan, sejumlah 12 bangunan lainnya yang telah direncanakan belum sempat dibangun karena pemerintah Hindia Belanda mengalami resesi. Akibatnya, proyek relokasi ibu kota ke Bandung tidak terlaksana.
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia melakukan relokasi ibu kota negara ke Yogyakarta dan Bukittingi (Sumatera Barat). Pada saat itu, pemindahan ibu kota dilakukan lebih karena alasan keamanan daripada persoalan geografis dan lingkungan.
Pada Januari 1946, pemerintah merelokasi ibu kota negara ke Yogyakarta karena Jakarta telah diduduki tentara Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Saat itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII selaku penguasa Yogyakarta mengusulkan kepada Presiden Soekarno untuk memindahkan ibu kota negara ke Yogyakarta dengan alasan keamanan.
Kondisi geografis Yogyakarta saat itu sangat mendukung karena Yogyakarta dikelilingi dua benteng alam, yaitu Gunung Merapi di utara dan Samudra Hindia di selatan sehingga aman dari serangan musuh.
Pada tahun 1948, pemerintah memindahkan pusat pemerintahan ke Bukittinggi, Sumatera Barat, setelah Agresi Militer Belanda kedua pada tanggal 19 Desember 1948. Pemerintah pada saat itu segera memberikan mandat kepada Menteri Kemakmuran Safruddin Prawiranegara yang sedang berada di Sumatera untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Sebagaimana Yogyakarta, Bukittinggi juga dikelilingi oleh benteng alam yang bisa menjadi pelindung dari serangan musuh, yakni Gunung Merapi di barat, Gunung Singgalang di selatan, serta Lembah Sianok di utara dan barat.
Di samping dua wilayah tersebut, pusat pemerintahan Republik Indonesia juga sering disebut pernah pindah selama satu minggu di Bireun (Aceh). Hal tersebut mengemuka karena Bung Karno pernah tinggal di Bireun sekitar bulan Juni 1948 dan mengendalikan pemerintahan selama satu minggu dari sana.
Setelah tahun 1949, rencana relokasi ibu kota negara juga terus diwacanakan dari presiden ke presiden. Pada zaman Presiden Soekarno, pemindahan itu juga telah dirintis dengan pembukaan kota baru yang dinamai Palangkaraya di Kalimantan. Bung Karno punya visi besar: sambil memperindah Jakarta, ia memindahkan ibu kota ke tengah-tengah negeri.
Namun, setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, gagasan relokasi ibu kota negara terlupakan. Pada saat itu, pemerintah memfokuskan pembangunan kepada Jakarta yang menjadi simbol kebangkitan Indonesia sebagai pemimpin Dunia Ketiga.
Sementara, untuk mengenang memori wacana relokasi ibu kota negara di Palangkaraya dibangunlah Tugu Soekarno pada 17 Juli 1957. Tugu tersebut terletak di dekat Istana Isen Mulang dan hanya berjarak 50 meter dari bibir Sungai Kahayan, tempat Presiden Soekarno meletakkan batu pertama pembangunan Kota Palangkaraya.
Selanjutnya, pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, wacana pengurangan beban Jakarta juga mengemuka. Hal ini ditandai dengan Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1997 tentang Koordinasi Pengembangan Kawasan Jonggol sebagai Kota Mandiri.
Keputusan ini mendukung rencana pengembangan Jonggol sebagai kota mandiri seluas 30 ribu hektare. Namun, rencana relokasi ibu kota ke Jonggol tidak berlanjut seiring jatuhnya pemerintahan Soeharto pada Mei 1998.
Gagasan pemindahan ibu kota terus berlanjut pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Gagasan ini disampaikan oleh pemerintah pada Rapat Kerja Nasional Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) di Palangkaraya di awal Desember 2009. Presiden SBY mengemukakan bahwa beban Jakarta sebagai fungsi pelayanan dan kelayakannya sebagai ibu kota negara sudah semakin berat.
Pada awal September 2010, Presiden SBY membentuk tim khusus untuk mengkaji relokasi ibu kota negara dan menghasilkan tiga rekomendasi. Pertama, Jakarta sebagai IKN tetap dipertahankan dan perlu dilakukan pembenahan atas semua permasalahan yang ada di Jakarta. Kedua, relokasi IKN tetap berada di pulau Jawa. Ketiga, relokasi IKN di luar Pulau Jawa. Namun, selama dua periode kepemimpinan Presiden SBY, gagasan ini tidak terlaksana.
Terakhir, pada periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo, pemindahan ibu kota negara kembali digagas. Setelah dilakukan kajian secara mendalam, Presiden Joko Widodo menetapkan, ibu kota baru akan dipindahkan dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur, tepatnya di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian Kabupaten Kutai Kartanegara.
Regulasi
Regulasi menjadi salah satu aspek penting yang disiapkan pemerintah terkait pemindahan ibu kota negara. Pasalnya, pembangunan ibu kota baru bisa dilakukan setelah UU IKN diterbitkan. Di samping itu, UU IKN diperlukan pula untuk memastikan bahwa proses pemindahan ibu kota tetap dilaksanakan meski ada pergantian pemerintahan.
Mengacu pada kajian Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, setidaknya terdapat lima UU yang perlu direvisi, dua UU bisa direvisi atau dibuat baru, dan dua UU harus dibuat baru terkait pemindahan ibu kota negara (Kompas, 27/8/2019).
Lima UU yang perlu direvisi ialah UU 29/2007 tentang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan RI, UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU 3/2002 tentang Pertahanan Negara, UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, dan UU 10/2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah.
Dua UU yang bisa direvisi atau dibuat baru adalah UU tentang Penataan Ruang di Ibu Kota Negara dan UU tentang Penataan Pertanahan di Ibu Kota Negara. Sementara itu, UU yang benar-benar harus dimulai sejak awal adalah UU tentang nama daerah yang dipilih sebagai ibu kota negara dan UU tentang kota.
Adapun Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyebutkan, hingga November 2019, terdapat setidaknya 43 peraturan perundang-undangan yang perlu direvisi atau dicabut terkait pemindahan IKN. Regulasi tersebut terdiri dari peraturan perundangan-undangan, peraturan pemerintah, peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan menteri.
Dari sejumlah 43 regulasi tersebut, Kementerian PPN/Bappenas memetakan 14 undang-undang yang terkait dengan: (1) pengaturan kedudukan IKN, (2) batas dan wilayah, (3) bentuk dan susunan pemerintahan, (4) kawasan khusus pusat pemerintahan, (5) penataan ruang, serta (6) lingkungan hidup dan penanggulangan bencana.
Hasil pemetaan tersebut kemudian dianalisis untuk melihat kemungkinan dilakukannya pendekatan Omnibus Law (penyatuan regulasi). Omnibus Law adalah strategi penataan regulasi yang dapat berupa pencabutan, revisi atau penggabungan beberapa regulasi atau pasal, baik pada level undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, maupun peraturan menteri. Tujuannya, untuk merampingkan regulasi dari segi jumlah serta menyederhanakan peraturan agar tidak berbelit dan lebih tepat sasaran.
Beberapa regulasi yang akan direvisi, antara lain UU 10/1964 tentang Pernyataan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya Tetap sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia dengan Nama Jakarta dan UU 25/1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.
Selain itu, ada pula UU 7/2002 tentang Pembentukan Kabupaten Penajam Paser Utara di Provinsi Kalimantan Timur, UU 29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota, UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, PP 18/2016 tentang Perangkat Daerah, serta berbagai UU dan regulasi lainnya.
Pemerintah sendiri telah menyiapkan RUU tentang Ibu kota negara yang telah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) DPR tahun 2021. RUU tersebut telah diusulkan oleh pemerintah sejak 17 Desember 2019.
Pada Maret 2021, dalam paparan “Rencana Pemindahan Ibu Kota Negara”, disebutkan kerangka regulasi RUU IKN yang meliputi revisi UU Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta dan Kalimantan; Raperpres Badan Otorita; Raperpres Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Nasional (KSN) IKN, Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Pusat Pemerintahan IKN, RDTR Pusat Ekonomi IKN, RDTR BWK IKN; serta RPP/Raperpres Insentif Swasta dalam Pembangunan IKN, RPP/Raperpres Skema Pembiayaan IKN.
Visi dan Luas IKN
Visi ibu kota baru adalah “Smart, Green, Beautiful, dan Sustainable” yang diterjemahkan melalui pengembangan kota yang berdampingan dengan alam melalui konsep forest city serta smart and intelligent city. Melalui visi ini, IKN diharapkan dapat menjadi kota yang mengedepankan inklusi sosial dan modern, dengan tetap memperhatikan kelestarian dan keberlanjutan lingkungan.
Konsep ini dianggap pilihan terbaik, mengingat calon lokasi IKN berada di Pulau Kalimantan yang memiliki karakter hutan hujan tropis dan berbagai kendala ekologi (ecological constraint). Salah satu bentuk transformasi dari konsep ini adalah penekanan proporsi pola ruang 50 persen untuk Ruang Terbuka Hijau yang juga akan mengedepankan peningkatan kualitas ekosistem serta perlindungan dan konservasi khususnya area-area yang memiliki nilai konservasi tinggi (NKT).
Ibu kota negara (IKN) baru memiliki delapan prinsip dan 24 Key Performance Indicator (KPI) sebagai kota berkelas dunia. Kedelapan prinsip itu meliputi: (1) Mendesain sesuai kondisi alam, (2) Bhinneka Tunggal Ika, (3) Terhubung, aktif, dan mudah diakses, (4) Rendah emisi karbon, (5) Sirkuler dan tangguh, (6) Aman dan terjangkau, (7) Kenyamanan dan efisiensi melalui teknologi, (8) Peluang ekonomi untuk semua.
Visi smart dari IKN diimplementasikan dengan pembagian jaringan 5G untuk mendukung implementasi inisiatif kota cerdas atau smart city, seperti penerapan smart traffic management, smart street lighting system, smart energy management, dan smart waste management. IKN juga menerapkan lima konsep smart dalam prinsip, yaitu climate, convenience, capital, community, dan collaboration.
Luas wilayah IKN direncanakan sebesar 256.142,74 hektare, dengan kawasan inti kota sebesar 56.180,87 hektare, dan pusat pemerintahan sebesar 5.644 hektare. Penentuan luas kawasan IKN ini mempertimbangkan One River One Management, keterpaduan hulu-hilir dan karakter daerah aliran sungai (DAS), serta batas taman hutan raya (Tahura) Bukit Soeharto yang akan dikembangkan dan dikelola secara terpadu menjadi kawasan penyangga sekaligus menjadi kawasan konservasi keanekaragaman hayati.
Kawasan inti ditujukan untuk istana negara, kantor lembaga negara, taman botani, kompleks diplomatik, markas besar TNI dan Polri, serta hunian para pejabat negara, mulai presiden-wakil presiden, menteri, pimpinan lembaga, sampai pejabat eselon I dan II.
Adapun area di luar kawasan inti ditujukan, antara lain, untuk permukiman aparatur sipil negara/TNI/Polri, sarana-prasarana dasar, taman budaya, perguruan tinggi, dan pangkalan militer.
Skema Pembiayaan dan Tahap Persiapan
Adapun kegiatan terkait pemindahan ibu kota baru akan dimulai pada tahun 2021. Pada semester pertama tahun 2021 akan dilaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan serta pemulihan ekosistem, pengadaan lahan untuk akses jalan dan sarana prasarana, perencanaan teknis dan studi kelayakan detail engineering design (DED) kawasan, dan penyiapan Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
Pada semester kedua tahun 2021 akan dilakukan pembangunan sarana prasarana sumber daya air dan energi, ground breaking pembangunan, pembangunan bangunan strategis dan sarana prasarana dasar penunjang, dan pembangunan infrastruktur transportasi. Pada tahun ini pula pemerintah menargetkan RUU IKN selesai.
Pada tahun 2022-2023 akan dilaksanakan pembangunan perkantoran, rumah dinas, sarana pendidikan dan kesehatan serta sarana prasarana dasar penunjang, dan penyiapan lahan diplomatic compound. Pada tahun 2024 akan dilakukan pembangunan lanjutan dan awal pemindahan ke IKN.
Sebelumnya, pada tahun 2020 lalu, pemerintah telah melaksanakan tiga agenda besar pemindahan IKN, yakni penyusunan dan penyelesaian rencana induk, penyusunan kajian lingkungan hidup strategis, serta penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.
Pemindahan ibu kota negara adalah proyek strategis berskala besar sehingga menuntut sumber daya yang besar pula. Menurut data dari Bappenas, proyek ini diperkirakan akan menelan biaya hingga Rp 466,98 triliun. Pembiayaan akan dilakukan melalui skema APBN, Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), dan melalui pihak swasta.
Secara perinci, APBN akan membiayai Rp 91,29 triliun dan KPBU sebesar Rp 252,46 triliun. Adapun pendanaan dari badan usaha ditargetkan sebesar Rp 123,23 triliun.
Dana APBN akan dipergunakan untuk pembangunan Istana Negara, kompleks Parlemen dan Yudikatif, bangunan strategis TNI/POLRI, pengadaan lahan, dan ruang terbuka hijau. Dana dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akan digunakan untuk peningkatan bandara dan pelabuhan. Dana dari KPBU akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur utama, sarana pendidikan, sarana kesehatan, lembaga pemasyarakatan, sarana dan prasarana penunjang. Sedangkan, dana dari swasta digunakan untuk pembangunan perguruan tinggi, sarana kesehatan, MICE, dan science-technopark. (LITBANG KOMPAS)