Belajar dari Kota Trieste Memangkas Separuh Angka Bunuh Diri
Lewat program personal, warga dengan keinginan bunuh diri ditemani melawan sepi dan diberi akses pekerjaan layak.
Menjelang akhir 2023, utusan dari empat negara menyambangi Trieste di Italia. Kota kecil itu menorehkan jejak sebagai pelabuhan penting di masa lalu dan memiliki peran tersendiri, baik bagi Italia maupun Eropa di masa sekitar Perang Dunia I.
Namun, kedatangan para delegasi bukan ingin berwisata sejarah. Mereka perwakilan Kementerian Kesehatan dan organisasi profesional terkait kesehatan mental dari Kazakhstan, Kirgistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan. Rombongan itu menghadiri acara yang diselenggarakan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Italia, khususnya Trieste, berjibaku mengatasi isu kesehatan mental dan bunuh diri sejak setengah abad lalu. Hasilnya, angka bunuh diri di Trieste anjlok hampir separuhnya dan terus membaik sampai sekarang.
Italia dikenal sebagai negara dengan ikatan kekeluargaan tinggi. Kakek nenek, anak, dan cucu masih banyak dijumpai tinggal dalam satu rumah dengan hubungan yang akrab. Ikatan ini disebut bagus untuk menjaga kestabilan mental dan menurunkan keinginan bunuh diri.
Baca juga: Proyek Tol Dalam Kota Menantang Logika dan Fakta
Akan tetapi, di banyak negara yang memiliki budaya kekeluargaan sama kuat, angka bunuh diri tinggi. Di beberapa negara maju yang makmur saja, tingkat bunuh diri tetap tinggi.
Mengapa di Italia, di Trieste, ceritanya berbeda?
Sebelum mendedah Trieste, ada baiknya memahami beberapa hal terkait bunuh diri. World Population Review menyebutkan, pada 2019, Lesotho di Afrika memiliki tingkat bunuh diri tertinggi, yaitu 72,4 orang per 100.000 penduduk, diikuti Guyana, Eswatini, Korea Selatan, dan Kiribati.
Dijelaskan pula bahwa hingga tahun 2024 ini, bunuh diri terjadi dan memengaruhi semua negara. Fenomena kompleks ini selalu dikaitkan dengan berbagai dinamika psikososial disertai pengalaman isolasi, depresi, kecemasan, tekanan sosial ekonomi, termasuk ketidakpuasan hidup secara keseluruhan.
Namun, alasan lebih personal setiap individu pelaku bunuh diri sulit terungkap.
Baca juga: Merawat Kewarasan Warga Kota
Belgia memiliki tingkat bunuh diri tinggi. Hal itu kemungkinan dipengaruhi kebijakan yang memperbolehkan warganya melakukan bunuh diri dibantu dokter dengan alasan kuat.
Melansir dari The Lancet, antara 2002 dan 2021, ada 370 pasien menerima eutanasia di Belgia atas penderitaan tak tertahankan yang disebabkan gangguan kejiwaan.
Di Korea Selatan, tingginya angka bunuh diri disebabkan beberapa faktor, seperti isolasi pada warga lansia dan tekanan akademis di kalangan pelajar.
Di China, bunuh diri menjadi penyebab kematian nomor lima. Angka bunuh diri tertinggi terjadi pada perempuan dan sering kali disebabkan oleh tekanan sosio-ekonomi.
WHO menegaskan, bunuh diri telah menjadi masalah kesehatan global dan mengalami peningkatan prevalensi sebesar 60 persen selama 45 tahun terakhir. Sayangnya, belum semua negara menganggap masalah ini serius apalagi sampai repot membuat kebijakan penanggulangannya.
Para profesional kesehatan mental di Trieste adalah bagian dari keluarga saya. Mereka menjaga saya sebagai pribadi.
Indonesia termasuk negara yang belum memiliki studi dan kebijakan komprehensif tentang bunuh diri. Jumlah kasus sangat bergantung pada laporan polisi yang belum menampilkan data riil. WHO memperkirakan prevalensi bunuh diri di Indonesia 3,7 persen, dengan lebih dari 8.900 kematian setiap tahunnya.
Dampak Covid-19
Saat pandemi Covid-19 membuat nyaris semua kawasan berpenghuni di muka bumi mengisolasi diri hampir dua tahun lamanya, muncul kekhawatiran kasus bunuh diri bakal meningkat.
Pada Agustus 2022, terbit jurnal karya FA Nurdiyanto, Valendra Granitha Shandika Puri, dan Lisa Sunaryo Putri Nurdiyanto dari Universitas Gadjah Mada berjudul ”Tren Bunuh Diri Selama Pandemi Covid-19 di Gunung Kidul”.
Jurnal itu mengungkapkan pandemi menambah beban psikologis individu dan masyarakat. Tim kemudian menganalisis data bunuh diri di Polres Gunungkidul periode April 2018-April 2021. Total ada 97 kasus bunuh diri di kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta yang menjadi salah satu wilayah di Indonesia dengan angka bunuh diri tinggi.
Baca juga: Inspirasi Anti-”burnout” dari Akira Tendo
Hasil analisis menunjukkan tidak terdapat perbedaan, baik pola maupun jumlah kasus bunuh diri, sebelum dan sesudah pandemi. Namun, angka bunuh diri di kalangan perempuan meningkat sejak wabah global itu, terutama di kalangan warga lansia.
Para peneliti merekomendasikan penyediaan sistem dukungan, penguatan jaringan sosial, dan perluasan akses perempuan dan warga lansia terhadap layanan kesehatan dan psikologis selama pandemi.
Riset dalam skup lebih luas, "Suicide before and during the COVID-19 Pandemic: A Systematic Review with Meta-Analysis" dari Yifei Yan, Jianhua Hou, Qing Li, dan Nancy Xiaonan Yu, hasilnya tak jauh beda.
Yan dan rekannya menegaskan, tingkat kematian akibat bunuh diri secara keseluruhan tidak meningkat selama pandemi. Walakin, penelitian ini menunjukkan ide dan upaya bunuh diri menjadi lebih umum sejak pandemi.
Mereka menyatakan, memiliki keinginan bunuh diri adalah tahap awal proses mengakhiri hidup. Durasi rata-rata sebelum menunjukkan tindakan bunuh diri secara eksplisit, yaitu sekitar 52 bulan untuk perempuan dan 31 bulan untuk laki-laki.
Baca juga: Anak Muda dan Kekerasan, Sebuah Isu Kesehatan Masyarakat Global
Penelitian lain menyebutkan, dengan proses relatif panjang, keputusan dan tindakan bunuh diri bisa dilakukan dalam waktu cepat, bahkan sekitar 5 menit saja.
Dikutip dari Solusi Sehat Mental, bunuh diri tidak hanya berdampak para orang terdekat dan keluarga, tetapi juga lingkungan sosial. Ada duka mengendap dalam diri anggota keluarga yang masih hidup.
Stigma sering mengikuti dengan muncul pertanyaan kenapa tidak tahu atau tidak mencegah anggota keluarganya bunuh diri. Stigma ini biasa diikuti rasa bersalah yang berkembang menjadi masalah emosional, terkadang diikuti keinginan bunuh diri.
Orang yang memiliki kedekatan dengan pelaku bunuh diri bisa mengidap Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). PTSD adalah gangguan pada kesejahteraan psikologis pascakejadian yang menyebabkan trauma.
Baca juga: Kecamuk Amuk Kaum Muda Belia
Tanpa antisipasi dini, rentetan itu berujung pada tidak berjalannya fungsi keluarga. Ini membahayakan setiap anggota tersisa dan berdampak buruk pada lingkungan sosial.
Inisiatif Trieste
Italia menyadari kasus bunuh diri yang penyebab dan dampaknya kompleks. Untuk itu, membangun kesadaran individu sangat menentukan kelangsungan hidupnya. Namun, perlu ada sistem di luar diri sendiri yang menjadi jaring penolong.
Negara itu kemudian mulai menutup rumah sakit jiwa. Sejak 1970-an, mereka mengalihkan anggarannya untuk model perawatan berbasis komunitas langsung di tempat warga hidup.
Pada 1980, Trieste merespons kebijakan nasional itu dengan membangun jaringan pusat dan layanan komunitas. Layanan mencakup menyediakan makanan, perumahan, pakaian, dan fasilitas sosial lain untuk memenuhi kebutuhan kesehatan mental penduduknya.
Selama 15 tahun berikutnya, angka bunuh diri di Trieste anjlok sekitar 40 persen.
Baca juga: Enam Belas Episode Pelajaran Hidup ”Drakor” Melepas Stres
Di pusat kesehatan mental komunitas di Trieste, pasien menjadi pusat perhatian. Pasien pergi sukarela ke pusat-pusat ini untuk mendapatkan perawatan dan bekerja sama, serta menjadi anggota komunitas di dalamnya.
Pintu pusat kesehatan buka sepanjang waktu dan petugas kesehatan biasa melakukan kunjungan ke rumah pasien. Staf dilatih merawat pasien melalui terapi serta konseling, dan terapi obat selalu menjadi pilihan terakhir.
Data WHO menunjukkan, rata-rata 7 orang per 100.000 penduduk di Trieste mengonsumsi obat, baik untuk masalah kesehatan mental maupun melawan keinginan bunuh diri. Angka itu cukup kecil dibandingkan dengan 30 orang dengan kasus sama per 100.000 penduduk di Italia.
Tidak boleh mengatakan tidak pernah. Kami selalu bisa mengubah keadaan.
Yang terpenting, model Trieste tidak hanya menyediakan layanan ini, tetapi juga menciptakan lapangan kerja bagi pasien di hotel, restoran, dan industri lainnya. Tujuannya agar mereka menjadi anggota masyarakat yang aktif.
”Para profesional kesehatan mental di Trieste adalah bagian dari keluarga saya. Mereka menjaga saya sebagai pribadi, saya merasa dihargai,” kata Elena Cerkvenič, pengguna layanan seperti dikutip dari laporan WHO.
”Mereka memperlakukan saya seperti rekan. Tidak ada jas putih, tidak ada hierarki,” ujarnya lagi.
Personalisasi proyek
Italia berinvestasi 3,5 persen dari total anggaran layanan kesehatan seperti sebagian negara Eropa lainnya dalam layanan kesehatan mental.
Melalui sistem yang dikenal sebagai ”proyek yang dipersonalisasi”, dana dianggarkan bagi individu untuk mendorong pemulihan total. Hal ini dapat berarti menyubsidi biaya perumahan, pendidikan, pelatihan, atau membantu mereka mendapatkan pekerjaan.
Berkat inisiatif dan kreativitas mengelola serta membawa modal dasar ikatan keluarga ala Italia ke level lebih tinggi, kawasan itu kini menjadi negara dengan tingkat bunuh diri terendah di antara negara Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), yaitu 5,8 kematian per 100.000 orang.
Baca juga: Inovasi-inovasi Kota yang Dinanti pada 2024
WHO mendeklarasikan Trieste sebagai salah satu model layanan kesehatan mental tercanggih di dunia dan telah ditularkan di seluruh Italia. Negara lain yang melakukan reformasi serupa adalah Jerman dan Yunani.
”Kami ingin menerapkan semua yang kami bisa, tapi bagaimana cara kami melakukannya?” kata seorang wakil delegasi Turkmenistan yang terpesona dengan pencapaian Triesta.
”Saya tidak setuju kalau kita tidak dapat menerapkan hal ini di negara kita. Tidak boleh mengatakan tidak pernah. Kami selalu bisa mengubah keadaan,” kata seorang delegasi lain dari Kazakhstan.
Tidak ada kata tidak bisa untuk menyelamatkan diri kita, orang yang kita sayangi, dan lingkungan sosial kita.
Baca juga: Catatan Urban