Proyek Tol Dalam Kota Menantang Logika dan Fakta
Pro dan kontra pada proyek tol dalam kota. Klaim tol atasi kemacetan dan melancarkan lalu lintas tak selalu terbukti.
Keputusan membangun enam tol dalam kota yang melintang di tengah kota Jakarta muncul tahun 2010. Seketika publik riuh. Baru-baru ini, rencana serupa di Kota Bandung, Jawa Barat, memicu reaksi tak jauh berbeda.
Yang setuju, berharap siksaan seretnya arus lalu lintas seiring membeludaknya penggunaan kendaraan bermotor pribadi bakal berakhir berkat tol dalam kota. Pihak lain berargumen keberadaan tol hanya mengurai macet sebentar saja. Dampak besarnya, justru kuat memicu penggunaan mobil pribadi dan kemacetan yang kian parah.
Baca juga: Tarif Murah, Syarat Wajib Angkutan Umum Modern Perkotaan
Di Jakarta, pro dan kontra sejak 2010 itu terus bergulir hingga tampuk kepemimpinan di DKI Jakarta berganti. Pada 2013, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyetujui pembangunan enam ruas tol dalam kota. Syaratnya, proyek tol baru boleh dilakukan setelah pembangunan angkutan massal MRT Jakarta dan LRT Jakarta berjalan.
Di luar itu, DKI mewajibkan jalan tol dalam kota bisa diakses angkutan umum, bahkan menyediakan jalur dan halte untuk bus Transjakarta.
Syarat itu diterima. Pada 25 Juli 2014, perjanjian pengusahaan jalan tol (PPJT) enam ruas tol dalam kota Jakarta (Jakarta Inner Ring Road/JIRR) antara Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), PT Jakarta Tollroad Development (JTD), dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ditandatangani.
Laporan harian Kompaspada 30 Juli 2013 menyebutkan, enam ruas jalan tol itu menelan biaya sekitar Rp 42 triliun. Ada empat tahap pembangunan sepanjang 69,77 kilometer (km).
Tahap pertama ruas Semanan-Sunter (20,23 km) dan Sunter-Pulo Gebang (9,44 km). Tahap kedua ruas Duri Pulo-Kampung Melayu (12,25 km) dan Kemayoran-Kampung Melayu (9,6 km). Tahap ketiga Ulujami-Tanah Abang (8,7 km) dan keempat Pasar Minggu-Casablanca (9,15 km).
Baca juga: Eskalator Stasiun Manggarai dan Kisah ”Boncos” Pengguna Angkutan Umum
Proyek pertama bergulir pada 2015, yaitu Jalan Tol Kelapa Gading-Pulo Gebang sepanjang 9,3 km. Ruas yang resmi beroperasi sejak 2021 itu bagian dari JIRR Seksi A Tahap 1 Semanan-Pulo Gebang.
Keberadaan JIRR, walau masih tahap awal, melengkapi jaringan jalan tol di Jakarta serta menghubungkannya ke daerah tetangga maupun tol Trans-Jawa.
Hingga 2023, setidaknya ada 15 ruas tol di Jakarta, yaitu Jakarta-Bogor-Ciawi (59 km), Jakarta-Tangerang (33 km), Jakarta-Cikampek (83 km), Prof Dr Ir Soedijatmo (14,3 km), Cawang-Tomang-Pluit (23,5 km), Cawang–Tanjung Priok-Ancol Timur-Jembatan Tiga/Pluit (27,05 km), Jakarta Outer Ring Road/JORR S (14,25 km), JORR Non-S (31,18 km), JORR W1 Kebon Jeruk-Penjaringan (9,85 km), JORR W2 Utara Kebon Jeruk-Ulujami (7,87 km), Akses Tanjung Priok (11,40 km), Pondok Aren-Bintaro Viaduct-Ulujami (5,55 km), Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (15,28 km), Depok-Antasari (12,10 km), dan Kelapa Gading-Pulo Gebang (9,29 km)
Jika nanti seluruh rencana enam JIRR terwujud, terbayang Jakarta akan dipenuhi ruas tol di tengah kota, melingkari kawasan tepiannya, dan yang terentang menghubungkannya dengan kota sekitar.
Di Bandung, setelah 17 tahun tertunda, Bandung Intra Urban Tol Road (BIUTR) digadang-gadang akan digulirkan mulai tahun ini (Kompas.id, 4/3/2024). BIUTR akan melengkapi akses tol antarprovinsi, seperti Tol Cipularang, yang selama ini terbukti memfasilitasi berjuta-juta wisatawan bermobil pribadi, terutama dari kawasan Jabodetabek ke ”Kota Kembang” tersebut.
Pemerintah akhirnya mendengarkan suara masyarakat dan membatalkan proyek delapan jalan lingkar dalam London yang jika direalisasikan akan menggusur sekitar 100.000 orang.
Tak luput dari godaan membangun tol di kawasannya, Tri Rismaharini saat menjabat Wali Kota Surabaya, Jawa Timur, menolak jalan tol melintas di tengah wilayah yang dipimpinnya. Jalan tol perkotaan di Surabaya diarahkan menghubungkan kawasan tepian kota.
Di luar Jawa, demam membangun tol menular hingga ke Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Jalan tol menjadi proyek unggulan penghubung antarkawasan urban maupun area pengembangan baru.
Tren meruntuhkan tol
Pada saat Indonesia giat membangun ruas tol di mana-mana, tren dunia ternyata berkebalikan dari itu. Bahkan, sudah sejak lama kesadaran itu muncul.
Data Congress for the New Urbanism tahun 2020, lebih dari selusin kota besar di Amerika Serikat mengganti jalan bebas hambatan menjadi bulevar atau ruas reguler yang menonjolkan keberadaan taman kota, ruang publik, trotoar, dan akses ke angkutan umum. Tren itu dimulai sejak 1974 sampai sekarang.
Setelah gempa Loma Prieta pada 1989, San Francisco memilih menghapus daripada membangun kembali dua jalan raya yang rusak, Embarcadero dan Central Freeways. Kota itu membangun akses yang membawa panorama area tepi laut lebih mudah dinikmati masyarakat dan menyatukan wilayah pesisir dengan lingkungan kota.
Baca juga: Perihal Pilihan pada Politisi yang Kurang Berkualitas
Memasuki era tahun 2000 ke atas, kota-kota lain makin giat mengganti jalan rayanya. Rochester di New York pada 2017 meniadakan akses lingkar dalam dan memulihkan struktur perkotaannya menjadi lebih humanis.
Di Asia, pada tahun 2002, kota Seoul di Korea Selatan meruntuhkan jalan tol dan merehabilitasi akses di wilayah Cheonggyecheon. Pada 2006, area kumuh di bawah jalan tol menjadi taman kota dengan aliran Sungai Cheonggye. Area tersebut kini menjadi ruang publik besar serta trotoar yang ramah bagi pejalan kaki dikelilingi kawasan bisnis.
Kisah yang mirip terjadi pula di London, Inggris. Awal 1970-an, publik dan mereka yang pro dengan kehidupan kota inklusif menolak keras rencana proyek delapan jalan bebas hambatan lingkar dalam London.
Akhirnya, pemerintah mendengarkan suara masyarakat dan membatalkan proyek delapan jalan lingkar dalam London yang jika direalisasikan akan menggusur sekitar 100.000 orang.
Baca juga: Conan, Aoyama Gosho, dan Daya Tarik Fiksi Kriminal Perkotaan
Laporan The Guardian, jika jalan raksasa itu beroperasi, warga London sejak bangun di pagi hari dan membuka jendela akan berhadapan dengan riuh suara kemacetan, polusi udara, dan kota yang egois dengan setiap orang memakai kendaraan bermotor pribadinya.
Seiring banyaknya contoh dari kota-kota dunia, mengapa Jakarta, Bandung, dan kota lain di Indonesia tetap gemar membangun jalan tol, khususnya jalan tol dalam kota?
Salah satu alasan kuat yang didengungkan pemerintah adalah ketersediaan jalan di perkotaan kita masih lebih rendah dari kebutuhan sehingga perlu ada pembangunan akses baru. Akan tetapi, penambahan jalan reguler kerap terkendala keterbatasan ataupun ketiadaan anggaran pemerintah.
Jalan tol menjadi pilihan karena pemerintah pusat ataupun daerah dapat bekerja sama dengan pihak swasta.
Baca juga: Megakota, Raksasa yang Serba Setengah-setengah
Investor mudah digamit dengan iming-iming pengembalian keuntungan besar, terutama di ruas-ruas tol yang dinilai ”gemuk”. Jalan bebas hambatan di dalam dan di lingkar luar kota yang padat menjadi salah satu target potensi tol ramai dilewati kendaraan.
Pemerintah ataupun swasta optimistis proyek tol akan selalu diminati karena akses tanpa hambatan menjanjikan penghematan waktu dan biaya bagi pengguna jalan. Struktur layang yang menjadi opsi favorit pembangunan tol dalam kota dinilai lebih cepat dikerjakan dan murah karena kebutuhan pembebasan lahan lebih sedikit.
Tanpa ragu, jalan tol, termasuk yang melintasi tengah kota, diyakini sebagai solusi cepat dan efektif mengatasi kemacetan serta memenuhi tuntutan pemenuhan kebutuhan jalan. Proyek infrastruktur seperti jalan tol ini turut menggenjot pertumbuhan ekonomi berkat penyerapan anggaran, tenaga kerja, dan lainnya.
Berpihak pada masa depan
Para penolak tol dalam kota mengkritik cara pandang pemerintah yang masih bersandar pada solusi kemacetan instan. Pemerintah dituding tidak berorientasi masa depan dan justru menumpuk masalah yang bakal meledak di kemudian hari.
Pada 2012, Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia dalam salah satu tulisan di situs resminya pernah menampilkan hitungan jika mengalihkan anggaran Rp 3,5 triliun saja dari Rp 42 triliun dana JIRR, dapat mengoptimalkan Transjakarta hingga mampu mengangkut 1,5 juta penumpang per hari. Dana itu untuk ekspansi halte hingga tiga kali lipat dan membeli 10 stasiun bahan bakar gas.
Penggunaan Rp 12 triliun tambahan untuk membeli 1.000 bus dengan tiga kali peremajaan selama 20 tahun. Sisa uang Rp 26 triliun untuk biaya operasional dan perawatan, termasuk memastikan angkutan pengumpan yang merasuk hingga ke permukiman terwujud.
Dengan cara itu, cita-cita warga Jakarta bisa gratis naik Transjakarta yang aman, nyaman, headway (jarak antarkedatangan bus) bisa di bawah 3 menit diyakini terwujud. Publik yang terbiasa memakai kendaraan pribadi bakal tertarik menggunakan transportasi umum ketika melihat armadanya begitu terjangkau dari rumahnya.
Baca juga: Inovasi-inovasi Kota yang Dinanti pada 2024
Argumen membangun tol karena kekurangan ketersediaan jalan dan dana bisa gugur. Yang diperlukan justru penataan, peremajaan, ataupun penambahan akses reguler agar lebih ramah pejalan kaki dan pengguna angkutan umum.
Ruang kota yang ada bisa dimanfaatkan untuk berbagai infrastruktur penting lain, seperti antisipasi bencana banjir dan krisis air bersih. Penyediaan taman kota, embung, situ, kolam retensi, bahkan menggalakkan pertanian urban untuk membantu mengantisipasi krisis pangan sangat mungkin dilakukan.
Pembiayaan program angkutan publik di masa sekarang bukan berarti tidak menarik bagi investor. Kota hijau, lancar lalu lintasnya, dan tidak rawan bencana adalah ruang ekonomi yang berkelanjutan ketika dunia dirundung dampak kerusakan lingkungan serta perubahan iklim. Sebuah tuntutan yang tak bisa dielakkan di masa kini dan masa depan.
Fakta dampak baik meniadakan tol dalam kota di kawasan urban sudah seharusnya meruntuhkan logika berpikir yang mendukung sebaliknya. Pembangunan kota berkelanjutan janganlah sekadar jargon kosong.
Baca juga: Catatan Urban