Enam Belas Episode Pelajaran Hidup ”Drakor” Melepas Stres
Tekanan di rumah, tempat kerja, dan ruang di antara keduanya membuat kaum urban lebih mudah terganggu kesehatan mentalnya. Kabar baik, 16 episode drama Korea turut melemahkan gangguan itu.
Di halte, stasiun, dalam bus, dan kereta, pemandangan satu tangan menggenggam erat pegangan penyeimbang badan dan satu tangan lain memegang telepon pintar adalah hal biasa. Tatap mata tak teralihkan dari layar yang menampilkan berbagai genre drama asal Korea Selatan alias drakor.
Indera pendengaran tersumbat penyuara telinga. Terkadang mereka terkekeh sendiri, terkadang mimik wajahnya tegang, dan tak jarang air mata membayang meski tak sampai jatuh bercucuran.
Emosi terombang-ambing selama beberapa puluh menit perjalanan menuju tempat kerja atau saat kembali ke rumah. Keramaian di luar sana beserta semua tekanan kemacetan, kesesakan di angkutan umum, berbagai persoalan di kantor—juga di rumah—terlupakan sejenak.
Drama Korea beberapa tahun terakhir menjadi salah satu jajaran tontotan favorit yang disimak kaum urban. Selain menyimak Youtube, Tiktok, Instagram, dan media sosial lain, drakor menjadi pilihan tersendiri untuk mengisi waktu senggang, kala haus hiburan, juga ketika ingin berjarak dengan suasana kurang nyaman dan membosankan, seperti saat perjalanan rutin berkegiatan sehari-hari.
Baca juga: Bentang Suara yang Membentuk Identitas Kota
Survei Statista yang dipublikasikan pada April 2021 menunjukkan tren kenaikan penonton drakor, baik film maupun drama serinya. Di Indonesia, 84 persen dari 2.000 responden yang menggambarkan masyarakat secara umum menonton drama Korea dengan 31 persennya sangat sering menonton konten Korea.
Tren serupa pun terjadi di China. Kenaikan jumlah penggemar drakor ditemukan di India, Brasil, Turki, Arab Saudi, dan Meksiko. Di Amerika Serikat dan Kanada, baru 28 persen responden menikmati drakor. Meskipun sepintas terlihat sedikit, tetapi laporan Forbes.com menunjukkan drama Korea telah ditonton 18 juta warga AS. Drama Korea amat populer di tengah komunitas masyarakat keturunan Asia di sana.
Van My Ta Park, peneliti masalah kesehatan mental dari University of California, San Fransisco, AS, dan tim risetnya menyatakan, drama Korea digemari bukan sekadar karena pemeran utamanya cantik dan tampan, melainkan karena suguhan jalan cerita dan konten beragam yang terasa dekat dengan kehidupan masyarakat.
Secara umum, film Korea menyuguhkan cerita yang tak jauh berbeda dengan film-film dan drama seri Hollywood. Sebagian besar berlatar kehidupan kota yang kompleks dengan kisah detektif dan para penegak hukum, lika-liku dokter dan tenaga medis menjalani profesinya, cerita orang-orang biasa dari pekerja kantoran, guru, sampai penjual makanan di pinggir jalan.
Ada pula tentang pergulatan para remaja metropolitan yang baru meniti awal kehidupan dewasa, rumitnya kehidupan pernikahan, perceraian, serta busuknya perilaku para politikus. Masalah kerenggangan hubungan antaranggota keluarga di tengah upaya mempertahankan diri di tengah kerasnya kehidupan kota, kemiskinan, ketimpangan, korupsi, penyelewengan kekuasaan turut menggebrak kesadaran para penontonnya.
Pergulatan kehidupan orang dengan gangguan stres pascatrauma (PTSD) yang menimpa begitu banyak orang karena seribu satu sebab sering kali diangkat. Terkait itu, tidak heran jika isu bunuh diri yang menjadi persoalan tersendiri di Korea Selatan kerap disisipkan.
Baca juga: Kemacetan dan Jebakan Negara Berkembang
Dalam balutan kisah romantis berbumbu komedi dan misteri antara guru bimbingan belajar dan pemilik gerai makan khas Korea Selatan, drama seri Crash Course in Romance tak malu-malu mengungkap kebiasaan orangtua memaksa anak-anak mereka belajar dari pagi sampai larut malam. Sukses di pendidikan dianggap jalan meraih kedudukan sosial penting dalam tatanan masyarakat ”Negeri Ginseng” itu.
Praktik tersebut telah mengakibatkan pelajar bunuh diri, ada yang menutup diri dari kehidupan sosial setelah gagal ujian, membunuh orangtuanya sendiri, termasuk memiliki obsesi tak wajar akan segala sesuatu, antisosial, dan pastinya tidak bahagia.
Masih dengan taburan komedi dan teka-teki, suguhan gambar-gambar cantik ala cerita Hans Christian Andersen dalam seri It’s Okay to Not Be Okay didapukThe New York Times sebagai salah satu tontonan televisi terbaik tahun 2020. Drama 16 episode seperti rata-rata film seri Korsel lainnya, menghadirkan figur-figur utama dengan autis dan pengalaman buruk yang menorehkan luka sepanjang hidup mereka.
Lain lagi dengan The Glory. Drama ini mengungkap perundungan semasa SMA lengkap dengan kekerasan fisik mengerikan dan pemerkosaan. Tokoh utama perempuan di sini menggunakan traumanya sebagai bahan bakar untuk bekerja dan belajar serta menyusun strategi selama belasan tahun demi melancarkan balas dendam sempurna bagi semua perundungnya.
Baca juga: Kecamuk Amuk Kaum Muda Belia
Mereka dapat memahaminya dan itu berpotensi untuk menjadi terapi walau hanya dalam waktu singkat. (Van My Ta Park)
Jadi terapi
Tema-tema berat dan penuh liku diuntai dalam episode per episode yang mengundang penasaran. Rasa geregatan terbayar dengan klimaks yang rata-rata berakhir bahagia. Tokoh-tokoh utama mentas dari kubangan masalah, menemukan cinta, asa, dan tujuan hidup baru. Rasa puas disertai memori adegan-adegan romantis, kocak, juga traumatis membekas dalam pikiran, menghangatkan hati penggemarnya. Banyak yang menganggapnya pelajaran hidup dan membantu mengatasi kemelut pribadi di dunia nyata.
Hal ini di antaranya dibuktikan oleh Park. Bersama tim penelitinya, ia menggunakan drama berjudul School 2013 dan It’s Okay That’s Love yang mengangkat tema perundungan dan kesehatan mental dalam risetnya dengan merekrut orang-orang untuk menonton film seri itu.
Hasilnya, menurut Park, film seri tersebut berhasil membawa persoalan rumit dalam bahasa dengan nilai-nilai yang dimengerti oleh masyarakat. Mereka menemukan korelasinya dengan masalah yang mereka hadapi. Selama ini, keturunan Asia di mana pun berada, pada umumnya masih kurang bisa menerima dirinya atau orang terdekatnya mengalami gangguan mental karena berbagai sebab, termasuk melawan berbagai perundungan. Film Korea sukses menjembatani jurang budaya tersebut.
”Mereka dapat memahaminya dan itu berpotensi untuk menjadi terapi walau hanya dalam waktu singkat,” kata Park seperti dikutip dari Forbes.com sembari menambahkan itu tidak dimaksudkan untuk menggantikan terapi perilaku kognitif, anti-depresan, atau menemui dokter dan ahli terkait jika memang dibutuhkan.
Baca juga: Pahlawan Kesiangan di Palagan Konflik Lahan
Mengatasi gangguan kesehatan mental terlebih yang menimpa kaum urban menjadi hal urgen alias mendesak. Urban Design/Mental Health melaporkan, di kota, risiko depresi hampir 40 persen lebih tinggi dibandingkan di perdesaan, gangguan kecemasan lebih dari 20 persen, dan risiko skizofrenia dua kali lipat, selain lebih banyak kesepian, isolasi, dan stres.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, gangguan kesehatan mental dapat dipicu banyak hal. Hubungan tak harmonis dalam rumah tangga juga tekanan di lingkungan tempat bekerja, mulai soal beban kerja berlebih, pendapatan tak memadai, juga jenjang karier tak jelas, bisa memicu masalah mental.
WHO mengamanatkan pencegahan isu kesehatan mental terkait pekerjaan dengan mencegah risiko terjadi gangguan di tempat kerja. Selain itu, mendukung pekerja dengan gangguan kesehatan mental dan menciptakan lingkungan yang mendukung perbaikan kesehatan mental di tempat kerja.
Namun, di kota, sumber tekanan bisa dari mana saja. Sehari-hari warganya terbiasa didera kebisingan karena padat serta sibuknya aktivitas jutaan manusia. Walaupun demikian, relasi antarindividu kurang dekat karena kesibukan masing-masing. Individu bisa kesepian dan tersiksa di tengah kerumunan manusia. Tanpa disadari, gangguan kesehatan mental pun menghantui.
Baca juga: Batman dan Hewan-hewan Metropolitan
Namun, tak semua orang dapat segera menyadari dirinya mengalami gangguan mental, apalagi memahami gejalanya ringan atau parah. Tak semua pula tersentuh layanan fasilitas kesehatan untuk atasi gangguan mental yang terjangkau dan memadai.
Oleh sebab itu, penting bagi setiap individu untuk merawat diri, mendeteksi dini, mengantisipasi agar kesehatan mentalnya terjaga. Membangun kesadaran diri sembari menemukan kebahagiaan kecil setiap kali ada kesempatan, penting untuk menjaga kewarasan.
Enam belas episode drama seri Korea menjadi salah satu pilihan untuk bersenang-senang melepas stres yang mudah dan relatif murah. Berharap rasa senang dan pelajaran hidup yang dipetik dari setiap serinya membantu menangkal datangnya gangguan mental yang lebih berat. Tentu saja asalkan jangan kebablasan menjadi kecanduan, melupakan kerja, dan tanggung jawab lainnya, ya. Arraseo.
Baca juga: Catatan Urban