Merawat Netralitas Polri
Sepanjang presiden menempatkan peran Polri sesuai dengan konstitusi dan UU Polri, Polri akan selalu terjaga.
Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/MKMK/L/11/2023 memberikan hikmah penting bagi kehidupan berdemokrasi yang dijiwai oleh konstitusi dan etika politik. Sifat kenegarawanan hakim tidak serta-merta melekat ketika menduduki jabatan sebagai hakim Mahkamah Konstitusi.
Sifat kenegarawanan perlu diuji pada kasus yang dihadapinya. Ini mencakup pengujian norma yang terkait secara langsung ataupun tidak langsung dengan dirinya. Juga bagaimana hakim bersikap secara tegas apabila terjadi konflik kepentingan ataupun intervensi pihak lain atas perkara yang ditanganinya.
Namun, melampaui kedua arti tersebut, berkualitasnya sifat kenegarawanan seorang hakim ditampilkan ketika hakim itu mampu menunjukkan keutamaan kontrol diri atau keugaharian terhadap benturan kepentingan, serta memiliki kebijaksanaan praktis yang diartikan sebagai adanya kemampuan menilai situasi dan memiliki tujuan luhur dalam hidupnya (Setyo Wibowo, 2023).
Bertolak atas hikmah itu, terdengar suara-suara vokal untuk merawat ruang publik dan demokrasi, terutama dari intervensi kekuasaan yang berpotensi menyebabkan tidak netralnya Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menjelang Pemilu 2024.
Salah satunya, imbauan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nasir dalam Milad Ke-111 Muhammadiyah. Pada kesempatan itu disampaikan pesan kuat agar para pejabat dan aparatur negara, termasuk TNI dan Polri, tetap menjaga profesionalitas dan tanggung jawab konstitusional dalam mengawal pemilu (Kompas, 19 November 2023).
Sidang Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) tahun 2023 juga mendorong penyelenggara pemilu dan TNI-Polri untuk bersatu mewujudkan pemilu yang damai, jujur, adil, transparan, berkualitas, dan bermartabat (Kompas.id, 14 November 2023).
Kedua pesan moral tersebut memiliki amaran yang sama, yakni adanya kekhawatiran mendalam terhadap upaya bernegara yang menyimpang dari koridor konstitusi serta etika politik dan hukum.
Kedua pesan moral tersebut memiliki amaran yang sama, yakni adanya kekhawatiran mendalam terhadap upaya bernegara yang menyimpang dari koridor konstitusi serta etika politik dan hukum. Di sisi lain, kedua pesan itu telah mewakili pertanyaan publik menyangkut netralitas institusi kepolisian selama penyelenggaraan Pemilu 2024.
Untuk mengelaborasikan lebih dalam pesan moral dan pertanyaan publik itu, terdapat dua catatan krusial yang dapat menjadi energi bagi masyarakat sipil untuk mengawal dan menjaga Pemilu 2024 agar sesuai konstitusi dan norma-norma demokrasi konstitusional.
Pertama, isu netralitas kepolisian selalu terangkat dan mengemuka di setiap pemilu pascareformasi 1998. Misalnya, menjelang Pemilu 2009, pada upacara peringatan HUT Ke-62 Polri pada tahun 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengingatkan jajaran anggota Polri untuk tetap bersikap netral dan profesional menghadapi masa Pemilu 2009. Jajaran Polri juga diminta mengambil pelajaran yang didapat dari pemilu sebelumnya (Kantor Berita Antara, 1 Juli 2008).
Selanjutnya, ketika menghadapi persiapan Pemilu 2014. Saat itu terdapat celah hukum dalam Undang-Undang Pemilu 2008 yang mendorong ketidakpastian hukum mengenai hak pilih prajurit TNI dan anggota Polri. Terkait hal itu, pada suatu kesempatan, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Ronny F Sompie memberikan jaminan netralitas institusi kepolisian dalam Pemilu 2014 (Kompas.com, 17 Februari 2014).
Menyongsong Pemilu 2019, isu politisasi dan ketidaknetralan kepolisian mencapai puncaknya. Berdasarkan hasil pengamatan di beberapa media, peningkatan isu ketidaknetralan institusi kepolisian tersebut berkaitan dengan penggalangan dukungan terhadap kontestan petahana pada Pemilu 2019. Untuk menyukseskan penggalangan tersebut, secara esensial dilibatkan struktur kepolisian di daerah serta mobilisasi anggota aktif kepolisian.
Akan tetapi, secara taktis, isu tersebut dibantah oleh Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Dedi Prasetyo yang menegaskan sikap netralitas dan profesionalitas Polri. Hal itu berlandaskan instruksi Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian melalui telegram kepada seluruh jajarannya untuk bersikap netral pada Pemilu 2019 (Kompas.id, 5 April 2019).
Bergantung Presiden
Berdasarkan potret peristiwa yang menggambarkan isu netralitas Polri, terdapat beberapa poin krusial yang perlu kita observasi bersama.
Poin pertama, isu ketidaknetralan kepolisian selalu timbul di dalam persiapan menuju pemilu. Hal ini menandakan tuntutan normatif sebagaimana diatur di dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri (UU Polri) tidak kedap dari penetrasi kekuasaan eksekutif. Itu karena desain ketatanegaraan Republik Indonesia menempatkan kedudukan Polri berada di bawah Presiden Republik Indonesia.
Oleh karena itu, konsistensi sikap netral Polri bergantung pada sikap negarawan seorang presiden. Dengan kata lain, sepanjang presiden mengendalikan dirinya dengan menempatkan peran Polri sesuai dengan konstitusi dan UU Polri, kedudukan Polri sebagai institusi yang profesional, berintegritas, dan tidak berpihak akan selalu terjaga.
Hal ini juga selaras terhadap anjuran Kautilya di dalam Arthashastra bahwa salah satu kewajiban seorang pemimpin negara adalah menyediakan pemerintahan yang bersih dan efisien.
Selanjutnya, poin kedua, seringnya netralitas Polri menjadi pertanyaan publik menjelang pemilu menandakan presiden dan pimpinan Polri serta segenap anggotanya membutuhkan titik acuan yang jernih dan kokoh sebagai penuntun perilaku, yakni Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 (Tap MPR No VII/2000). Sebagai jiwa dari UU Polri, ketetapan ini telah menegaskan peran sentral Polri pada kehidupan bernegara dan berdemokrasi adalah netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri ke dalam politik praktis.
Oleh karena itu, konsistensi sikap netral Polri bergantung pada sikap negarawan seorang presiden.
Di sisi lain, Tap MPR No VI/MPR/2001 yang menetapkan Etika Kehidupan Berbangsa juga dapat berlaku sebagai pedoman. Ini terutama menggariskan prinsip fundamental mengelola pemerintahan, yakni menumbuhkan kondisi politik yang demokratis, bertanggung jawab, dan tanggap terhadap aspirasi masyarakat.
Untuk membulatkan titik acuan tersebut, Putusan Mahkamah Konstitusi No 22/PUU-XII/2014 menetapkan pertimbangan hukum yang mengarahkan netralitas TNI dan Polri berkaitan dengan peran sentral TNI dan Polri dari pusat hingga ke daerah. Ini berlaku dalam menjalankan fungsi stabilitas pertahanan dan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan sebaliknya sebagai pelaku politik praktis.
Bersikap menghindari politik praktis berarti menghindari konflik internal di tubuh institusi TNI dan Polri. Hal itu juga menjadi upaya merawat kehormatan institusi TNI dan Polri.
Kedua, Putusan Mahkamah Konstitusi No 90/PUU-XXI/2023 telah membentuk lanskap kompetisi dalam Pemilu 2024 menjadi timpang. Hal ini disebabkan putusan itu memberikan jalan majunya Gibran Rakabuming Raka yang merupakan putra tertua Presiden Joko Widodo sebagai calon wakil presiden. Di lain sisi, telah terbentuk isu publik: akankah kepolisian membantu proses pencalonan putra Presiden di dalam Pemilu 2024?
Pertanyaan itu berdasar mengingat hikmah yang muncul dari Putusan MKMK No 2/2023 yang memberhentikan Anwar Usman dari posisi Ketua MK karena pelanggaran etika. Selain itu, juga didasari isu netralitas Polri yang selalu timbul setiap penyelenggaraan pemilu lima tahun sekali.
Salah satu upaya untuk menjaga netralitas dan kepercayaan publik terhadap kepolisian adalah usulan Komisi III DPR untuk membentuk Panitia Kerja (Panja) Pengawasan Netralitas Polri (Kompas, 16 November 2023).
Ilustrasi
Pengawasan berlapis
Secara mendasar, rencana pembentukan Panja Komisi III ini mengandung tiga maksud. Pertama, merefleksikan fungsi pengawasan yang menunjukkan masih adanya kekuatan DPR untuk mengimbangi secara efektif kekuasaan eksekutif. Ini merefleksikan kedaulatan tetap berada di tangan rakyat.
Kedua, merumuskan makna bahwa fungsi perwakilan yang diemban oleh DPR mengusung aspirasi masyarakat yang memiliki kekhawatiran yang sama, yaitu perlunya upaya praktis membatasi potensi penyalahgunaan kekuasaan.
Akan tetapi, untuk melampaui gagasan pencegahan penyalahgunaan kekuasaan, tindakan praktis tersebut adalah upaya memastikan gagasan common good constitutionalism sebagaimana dirumuskan oleh Adrian Vermuele (2022). Ini diartikan sebagai ikhtiar untuk memastikan penguasa yang memiliki otoritas dan kewajiban memerintah dengan baik. Selain itu, juga memastikan tatanan konstitusional tetap mempromosikan kebaikan bersama dan keadilan.
Ketiga, keberadaan panja itu memberi gambaran bahwa pengawasan efektif terhadap institusi Polri harus bersendikan pengawasan yang berlapis. Secara pokok, pengawasan tersebut tidak hanya melibatkan mekanisme pengawasan internal. Pengawasan internal ini terdiri dari Inspektorat Pengawasan Umum Polri serta Divisi Profesi dan Pengamanan Polri.
Pengawasan untuk menegakkan Kode Etik Profesi Kepolisian terutama berkaitan dengan etika kenegaraan. Pengawasan ini juga melibatkan pihak eksternal, seperti Komisi III DPR, pers, dan masyarakat sipil.
Lebih dalam, melalui pengawasan berlapis tersebut itu empat tujuan akan tercapai. Pertama, menjaga kehormatan, profesionalitas, dan integritas segenap anggota Polri menurut konstitusi, peraturan perundang-undangan, dan kode etik profesi.
Dalam ekosistem demokrasi konstitusional, institusi kepolisian tunduk pada nilai-nilai demokrasi, tidak berwawasan pendek, tidak hanya sekadar patuh pada penguasa.
Kedua, mengefektifkan kendali sipil berdasarkan sistem demokrasi konstitusional. Sistem ini mempunyai ciri utama adanya pergantian kekuasaan secara berkala melalui pemilu, serta ketaatan terhadap konstitusi yang menjamin hak-hak konstitusional warga negara.
Ketiga, memastikan paradigma pemolisian demokratis (democratic policing) terlembaga dengan baik sebagaimana pernah digagas oleh Kepala ke-23 Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal (Pol) Tito Karnavian.
Terakhir, mencegah anggota kepolisian memiliki ketaatan buta layaknya prajurit Sparta yang hanya taat mati kepada perintah komandannya ataupun penguasa tertinggi (Setyo Wibowo, 2014). Dengan kata lain, dalam ekosistem demokrasi konstitusional, institusi kepolisian tunduk pada nilai-nilai demokrasi, tidak berwawasan pendek, tidak hanya sekadar patuh pada penguasa.
Merawat netralitas Polri di tengah penyelenggaraan pemilu merupakan misi konstitusional setiap warga negara yang menginginkan ekosistem demokrasi konstitusional terus berkembang, bukan sebaliknya mengalami kemunduran ataupun pembusukan.
Misi konstitusional tersebut juga memastikan institusi kepolisian tetap dipercaya oleh masyarakat. Ini mengingat kepolisian adalah instrumen strategis pengamanan pemilu dan bagian dari sistem pendukung penyelenggaraan pemilu yang demokratis, transparan, akuntabel, dan berintegritas.
Baca juga : TNI-Polri Diminta Tak Terlibat Politik Praktis
Baca juga : Tindak Tegas Polisi yang Tak Netral Selama Pemilu 2024
Baca juga : Peserta Pemilu ”Catat” Komitmen Netralitas Aparat
D Nicky Fahrizal Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta