Polri dan TNI diminta untuk netral dalam pelaksanaan Pemilu 2024. Berbagai kecurangan dan rekayasa yang diduga dilakukan oleh rezim penguasa dikhawatirkan membuat masyarakat tak lagi percaya pada pemilu dan hasilnya.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aparat keamanan, baik dari institusi Kepolisian Negara RI maupun Tentara Nasional Indonesia, diminta untuk tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis menjelang Pemilu 2024. Polri dan TNI merupakan alat negara, bukan alat rezim, sehingga yang harus dipatuhi adalah konstitusi dan aturan perundang-undangan.
”Kalau rezim tidak benar, jangan diikuti. Yang harus mereka lakukan adalah menjalankan tugas dan perintah yang benar dari rezim. Kalau rezim memberikan perintah yang melanggar undang-undang dan konstitusi, jangan lakukan. Karena hal itu akan menimbulkan persoalan serius,” ujar Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf dalam jumpa pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Demokratis.
Selain Al Araf, hadir juga dalam konferensi pers tersebut Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani, Direktur Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti, serta perwakilan Kontras dan lainnya.
Konferensi pers digelar untuk menyikapi situasi politik yang terjadi belakangan ini, mulai dari melenggangnya Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, sebagai bakal calon wakil presiden setelah Mahkamah Konstitusi memutus perkara 90/PUU-XXI/2023; intimidasi terhadap Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia Melki Sedek Huang; serta aparat kepolisian yang diduga terlibat dalam pemasangan baliho Prabowo-Gibran di Jawa Timur dan pencopotan baliho dan poster Ganjar Pranowo.
Al Araf mengatakan, keterlibatan kepolisian dalam politik praktis atau tidak netral di dalam Pemilihan Presiden 2024 ibarat menggali kubur sendiri. Sebab, apabila dilacak dalam 10 tahun pemerintahan Jokowi, rezim tersebut memberikan ruang yang sangat besar bagi militer untuk masuk ke dalam ruang keamanan dalam negeri. Hal ini menyebabkan tergerusnya kewenangan Polri.
Ia mencontohkan masuknya TNI dalam penanganan terorisme di dalam negeri yang diatur melalui Undang-Undang Antiterorisme pascarevisi.
”Padahal, penanganan teroris di negara mana pun dilakukan dengan menggunakan instrumen penegakan hukum. Hanya di Indonesia, pascarevisi UU Antiterorisme, militer bisa terlibat dalam penanganannya. Dengan kata lain, fungsi kepolisian dalam penanganan terorisme juga diambil alih oleh institusi militer,” katanya.
Hal lain, kata Al Araf, pemerintahan Jokowi telah men-downgrade posisi Polri dari komponen utama di dalam konstitusi menjadi komponen cadangan yang setara dengan organisasi kemasyarakatan di dalam Undang-Undang Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN). TNI dijelaskan sebagai komponen utama negara dalam pengamanan negara.
Yang ketiga, pengesahan UU Aparatur Sipil Negara terbaru yang memberikan ruang bagi militer untuk bisa terlibat dalam institusi sipil. Menurut Al Araf, pengaturan demikianlah yang disebut dwifungsi ABRI yang dulu di masa Orde Baru mengakibatkan institusi Polri dan TNI tergabung dalam satu kesatuan organisasi ABRI. Di era Orba, Polri dalam kendali ABRI serta tidak memiliki kewenangan dan ruang yang luas karena kontrol ABRI.
”Oleh karena itu, jika benar dugaan (keterlibatan polisi dalam kegiatan politik praktis) itu terjadi, saya ingin bilang bahwa sesungguhnya institusi kepolisian sedang menggali kuburannya sendiri. Yakni, saya hampir bisa memastikan, kalau benar pertarungan nanti menjadikan Prabowo jadi presiden nanti, pasti ada sisa RUU di bidang keamanan yang akan masuk. Dan, itu akan semakin mengambil peran dan kewenangan kepolisian,” kata Al Araf.
Setidaknya Araf mencatat masih ada dua RUU yang akan masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di masa mendatang, yaitu revisi UU TNI dan RUU Keamanan Nasional. Di dalam kedua RUU tersebut, militer diberi kewenangan untuk masuk jauh lebih dalam ke dalam penanganan keamanan dalam negeri. Ia bisa memastikan bahwa kewenangan kepolisian bakal semakin tergerus.
Untuk itu, ia menyarankan agar institusi kepolisian bersikap netral dan tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis. Demikian pula dengan TNI. Selain dilarang oleh undang-undang, ketidaknetralan institusi TNI dan Polri akan menimbulkan kemarahan di hati masyarakat.
”Sejak putusan MK, situasi politik dan demokrasi tidak sehat, mengalami kemunduran dahsyat. Dengan beragam situasi yang terjadi, beragam isu yang ada, saya ingin katakan, rezim pemerintah Jokowi sedang menaruh bom waktu yang tinggal menunggu kapan pecahnya saja,” kata Al Araf.
Senada dengan Araf, Ray Rangkuti mengungkapkan, dalam situasi saat ini, pejabat publik termasuk Presiden harus netral. Netralitas itu diukur dengan cara tidak membuat kebijakan yang menguntungkan salah satu pihak, tidak menggunakan fasilitas negara untuk memenangkan calon tertentu, serta tidak menunjukkan ucapan/tindakan yang dapat diasosiasikan untuk memenangkan kandidat tertentu.
Menurut Ray, pejabat publik sebenarnya bisa saja untuk tidak netral atau berpihak. Namun, ia harus cuti atau berhenti dari jabatannya. Selama ini ada kegamangan untuk menilai netralitas tersebut karena tidak ada pernyataan dukungan terhadap salah satu pihak, tetapi tindakan yang diambil mengarah pada pemberian dukungan. Hal semacam ini justru memperkeruh demokrasi.
Julius Ibrani juga menyoroti adanya fakta intervensi dan rekayasa dalam penyelenggaraan pemilu sehingga bisa sesuai dengan kehendak penguasa. Hal itu sudah terjadi sejak awal mulai dari desain pencalonan, penggunaan informasi intelijen, kemudian putusan MK yang oleh Majelis Kehormatan MK dinyatakan ada pelanggaran etik dalam proses penanganannya, serta intimidasi dan pencopotan/pemasangan baliho.
Situasi demikian dikhawatirkan mengakibatkan rakyat tidak lagi percaya pada pemilu dan hasilnya. Julius khawatir hal tersebut akan bermuara pada ketidakpatuhan warga terhadap perangkat negara. Apabila hal itu terjadi, malapetaka berupa kekisruhan horizontal bakal tampak di depan mata.
Untuk mencegah hal tersebut, ia mengajak supaya masyarakat merebut kembali ruang demokrasi dan menjadikannya sebagai entitas kekuatan politik untuk menolak politik dinasti, keterlibatan TNI, putusan 90, dan represi.