Gengsi-gengsian SCBD Versus Cikarang
Topik ”SCBD vs Cikarang” menyibak persaingan identitas sosial, pola pikir tentang kesuksesan, gengsi, juga soal depresi.
Sebagian orang merasa sukses dan status sosialnya tinggi hanya karena bekerja di kawasan bergengsi.
Di Ibu Kota, pekerja di seputaran Jalan Sudirman, khususnya di Sudirman Central Business District (SCBD), disebut memiliki kelas sosial tersendiri. Mereka bahkan bisa dibilang masuk kasta atas dalam peringkat kelas pekerja urban.
Munculnya istilah ”Mbak-mbak SCBD”, misalnya, antara lain merujuk pada pakaian yang dikenakan para pekerja perempuan di sana yang lebih modis. Para pekerja laki-laki juga tak kalah trendi.
Baca juga: Kisah Trotoar Terentang dari Anatolia sampai Jakarta
Istilah itu juga menyoroti telepon genggam mereka yang banyak memilih produk dengan ikon buah apel sudah tergigit. Mereka bisa makan siang atau nongkrong usai jam kerja menunggu macet reda di mal dan kafe yang bertebaran di kawasan yang sama.
Sebagian orang lainnya mencibir, menilai segala gengsi hanya berdasarkan lokasi tempat kerja itu sungguh tak perlu. Apalagi jika gaji yang dikantongi tiap bulan setara dengan pekerja atau pemangku jabatan serupa di perusahaan di lokasi lain.
Fakta lainnya, pekerja di kawasan ternama banyak yang harus menghabiskan waktu berjam-jam alias ”tua di jalan”, setiap berangkat dan pulang kerja dengan angkutan umum atau kendaraan bermotor pribadi. Hal itu karena mereka tinggal di tempat yang jauh, bahkan di luar Jakarta, demi mengejar kepemilikan rumah dengan harga terjangkau pendapatan mereka.
Baca juga: Taman Kota, dari Genggaman Para Raja Menjadi Milik Warga
Untuk urusan makan pun, mereka tak selalu bisa makan di mal. Banyak pula yang sehari-harinya terbiasa bersantap di warung-warung emperan gang di belakang gedung tinggi menjulang demi menekan biaya hidup atau membawa bekal dari rumah dengan pertimbangan menghemat pengeluaran.
Di sisi lain, tak semua pekerja di lokasi terkenal menjalani karier yang diminati. Sama seperti di banyak perusahaan lain, tak semua karyawannya bekerja sesuai keahlian dan menduduki posisi puncak manajemen. Tetap saja ada yang menjadi penjaga keamanan, office boy, petugas kebersihan, dan pekerjaan lain yang berkorelasi dengan gaji kecil.
Namun, diakui atau tidak, fenomena berupa sistem kelas berdasarkan status sosial dengan menggolongkan pekerja urban sesuai lokasi tempat kerja dan gaji yang didapat itu nyata-nyata terjadi.
Di media sosial kerap menjadi pembahasan panjang membandingkan pekerja di SCBD dengan pekerja di kawasan industri yang tengah berkembang di tetangga Jakarta, seperti di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, sampai di Serpong, Tangerang Selatan, Banten.
Baca juga: Ponselmu Harimaumu
Tengoklah, ramai akun mengolok-olok pekerja berbaju kekinian di pusat Jakarta, dengan ponsel senilai belasan hingga puluhan juta rupiah di tangan, tetapi antre makan siang di gerobak ketoprak seharga Rp 15.000 per porsi. Namun, ramai juga akun yang tak segan mengakui bisa masuk dalam kelompok ”karyawan SCBD” akan membuat mereka merasa lebih berarti.
Fenomena tersebut sedikit banyak berhubungan dengan pola pikir yang telah tertanam sejak lama. Bagi masyarakat di luar Ibu kota dan tak mengenal baik kota metropolitan terbesar di Indonesia ini, Jakarta, bagai sosok yang mewakili kesejahteraan dan kesuksesan.
Pencapaian itu membuat seseorang dan keluarganya masuk dalam kelas sosial ekonomi lebih tinggi dan dihargai di tengah masyarakat.
Barang siapa dapat menembus Ibu Kota dengan menjadi pekerja di kantor pemerintahan atau perusahaan swasta bergengsi, tidak hanya dirinya yang senang. Keluarga besarnya pun bangga. Kehidupannya—bahkan keturunannya kelak—diyakini bisa makin baik. Secara umum, tren ini berlaku pula untuk kota besar lain yang kini tak ketinggalan menjadi tujuan pencari kerja.
Identitas sosial
Psikolog Janna Koretz di Harvard Business Review menuliskan bahwa pekerja di perusahaan besar kerap diikuti tuntutan jam kerja panjang dengan kenaikan gaji, promosi, juga ”prestise”. Pencapaian itu membuat seseorang dan keluarganya masuk dalam kelas sosial ekonomi lebih tinggi dan dihargai di tengah masyarakat.
Menguji pendapat Koretz, secara iseng bertanya kepada Chat GPT pada situs Poe.com, segera saja muncul jawaban panjang terdiri dari 10 poin, yang berikut penjelasannya.
Penjelasan dari aplikasi kecerdasan buatan yang disarikan dari berbagai sumber data itu di antaranya imaji terkait nama perusahaan di lokasi premium memang berkaitan dengan reputasi yang memengaruhi bagaimana orang lain melihat diri kita.
Bekerja di perusahaan bergengsi juga mendongkrak status sosial, membuka peluang berjejaring, gaji dan berbagai fasilitas untuk meraih kestabilan keuangan, serta budaya dan nilai kerja membuat orang lain memandang kita dengan lebih hormat.
Secara alami, industri tempat kita bekerja membuat orang lain menyadari tingkat pendidikan dan kapabilitas intelektual atau kompetensi kita. Apalagi jika seseorang telah menduduki posisi atau jabatan manajerial yang membuatnya memiliki kewenangan otoritas tertentu.
Baca juga: Kutu Busuk, ”Bangsat” Kecil yang Sedang Betah-betahnya di Kota
Jabatan tinggi berdampak pada makin mudahnya menjalin relasi dengan pihak berpengaruh yang disegani publik.
Dengan berkarier di perusahaan besar, kesempatan individu membentuk personal branding semakin terbuka. Tentu saja hal ini untuk dilakukan dengan mengasah keterampilan atau keahlian baru dan menembus meraih jejaring profesional lebih luas.
Depresi dan kecemasan
Koretz mengingatkan, seiring pencapaian karier dan finansial diiringi naiknya status sosial berkat bekerja di perusahaan besar di kawasan premium, ternyata seseorang dapat diliputi depresi, kecemasan, menjadi kecanduan narkoba, dan kesepian karena terus-menerus bekerja serta memikirkan kariernya setiap hari, setiap saat.
Ia kemudian meminta agar setiap pekerja dengan karier bersinar bertanya kepada dirinya sendiri. Seberapa sering pekerja memikirkan pekerjaan dan sulitkah berbicara topik di luar soal kantornya? Bagaimana seseorang mendeskripsikan diri, apakah terlalu terkait dengan pekerjaan, karier yang dijalani, atau perusahaan tempat bekerja?
Baca juga: Uang Judi Gagal Membangun Kota, ”Bang Oma” Sudah Ingatkan
Pertanyaan lainnya, apakah punya hobi di luar pekerjaan utama? Apakah ada yang protes saat seseorang terlalu mendedikasikan waktunya untuk bekerja? Bagaimana perasaannya jika tidak lagi bekerja di perusahaan atau tidak lagi meneruskan profesi saat ini?
Jika pertanyaan-pertanyaan itu memantik kekhawatiran bahkan ketakutan, perlu segera melakukan beberapa hal untuk mencegah kesehatan mental makin terganggu.
Pertimbangkan untuk mengubah hubungan dengan karier Anda tidak hanya dalam kaitannya dengan perusahaan atau jabatan.
Dengan bantuan ahli profesional atau diinisiasi oleh diri sendiri, dapat mulai membebaskan sebagian waktu dari urusan dan pikiran tentang pekerjaan. Menekuni hobi yang tak terkait profesi dan membangun ulang jejaring yang tak selalu soal pekerjaan, tetapi justru kekeluargaan dan pertemanan juga sistem pendukung yang membuat kita bahagia.
Selain itu, memutuskan yang benar-benar penting bagi hidup kita dan orang-orang terdekat. Dengan demikian, pekerjaan tetap dilakukan profesional tanpa menjadi segalanya. Hal ini karena mata pencarian semestinya mendukung kehidupan bersama orang-orang tersayang, bukan menggantikannya.
”Pertimbangkan untuk mengubah hubungan dengan karier Anda tidak hanya dalam kaitannya dengan perusahaan atau jabatan. Namun, dalam kaitannya dengan keahlian yang dapat digunakan dalam konteks berbeda,” kata Koretz.
Kualitas personal
Senada dengan Koretz, ada penegasan di ujung penjabaran jawaban Poe.com bahwa rekognisi sosial dan level kebanggaan tak semata ditentukan lokasi perusahaan. Beberapa bidang kerja yang berkontribusi positif bagi publik turut menyebabkan para pekerjanya dihargai masyarakat.
Ibu rumah tangga yang mengurus keluarga di rumah, pehobi sepeda yang menggerakkan dan memelopori bersepeda ke kantor demi mengurangi polusi, mereka yang aktif mengelola sampah hingga mampu mengurangi limbah dan membuka lapangan pekerjaan baru, para pekerja sosial dan di lembaga swadaya masyarakat, atau siapa saja yang bekerja dari hati demi kebaikan diri sendiri serta banyak orang bakal mendapat kebahagiaan sejati.
”Kualitas personalmu, karakter, integritas, dan dampak yang kamu hasilkan berkontribusi signifikan pada bagaimana orang lain melihat dan menghargaimu,” tulis Chat GPT.
Bekerja di area SCBD atau Cikarang atau tempat lain itu sesungguhnya bukan masalah. Yang penting, jangan sekadar mengejar gengsi, apalagi sampai depresi. Kejarlah sesuatu yang memang berarti dan tetap bahagia.
Baca juga: Catatan Urban