Demam Haiking dan Keriuhan Orang Kota di Kampung Baduy
Tren haiking atau jalan-jalan di perdesaan masih menjangkiti kaum urban. Kampung Baduy di Lebak, Banten, pun tak luput jadi incaran lokasi hiking. Warga menyambutnya, tetapi membatasi pengaruh tren wisata massal itu.
Kaum urban makin gandrung melewatkan waktu senggang di ruang terbuka selama dan setelah pandemi Covid-19. Haiking atau berjalan-jalan di perdesaan dengan hamparan sawah, ladang, maupun hutan juga sungai menjadi tren yang terus digemari.
Lokasi haiking yang dapat dijangkau dan dinikmati dalam sehari tanpa perlu menginap kian diburu demi mengisi masa libur singkat di akhir pekan atau tanggal merah. Warga Ibu Kota dan sekitarnya pun akrab dengan berbagai lokasi haiking di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, sampai Provinsi Banten.
Baca juga: Pesan Manis dari Tabebuya Kemang
Di Bogor, ada Sentul atau tepatnya kawasan Babakan Madang yang memiliki berbagai rute jalur hiking karena banyak situ, air terjun, dan pemandangan alam.
Banten juga menawarkan banyak lokasi wisata alam. Salah satunya yang selalu menarik ada di Kabupaten Lebak, yaitu desa tempat bermukim masyarakat Baduy.
Sabtu terakhir di bulan September lalu, matahari belum terbit di ufuk timur, saat perjalanan dari kawasan Tangerang Selatan ke Desa Kanekes dimulai. Perlu sekitar 3 jam menggunakan mobil untuk tiba di kampung-kampung Baduy luar berada.
Tugu Selamat Datang menjadi penanda pengunjung sampai di Terminal Ciboleger, Desa Ciboleger, Lebak. Semua wisatawan yang hendak ke Kanekes harus berhenti di terminal ini. Semua kendaraan diparkir di terminal tersebut karena pengunjung hanya boleh berjalan kaki saat memasuki permukiman Baduy.
Banyak warung makan yang siap mengobati rasa lapar pagi itu di Ciboleger. Setelah ”kampung tengah” terisi penuh, saatnya menjelajah.
Baca juga: Transportasi Publik hingga ”Tenant” Favorit Sulap Mal Sepi Jadi Ramai
Petualangan dimulai sejak gerbang Baduy. Jalan berlapis paving blok membawa turis ke pos pendaftaran tepat sebelum masuk Kanekes. Cukup membayar Rp 5.000 per orang di pos tersebut untuk dapat melanjutkan perjalanan. Belum terlalu banyak wisatawan pagi itu, tetapi beberapa pengojek sepeda motor yang tancap gas membawa beberapa turis sampai ke depan pos pendaftaran terasa cukup mengganggu.
Suara kendaraan bermotor menghilang begitu mulai menapaki liku jalan batu di kampung pertama di Desa Kanekes. Di kanan-kiri jalan, rumah-rumah warga rapi terbangun berbahan kayu dan beratap daun kelapa kering.
Rumah-rumah di sepanjang jalur wisata rata-rata sekaligus digunakan pemiliknya sebagai etalase menawarkan sejumlah cendera mata. Ada kain tenun baduy, tas koja atau jarog khas setempat, serta pernak-pernik kerajinan, seperti gantungan kunci.
Baca juga: Ribuan Liter ”Water Mist” Versus Air Bersih yang Tersendat
Beberapa perempuan menenun di bagian depan rumahnya. Prosesnya mulai memintal benang dari kapas sampai menjadi selembar kain.
Susah untuk tidak terpesona dengan tatanan kampung yang asri. Lanskap kampung memanjakan mata dengan deretan rumah kayu, barisan leuit atau lumbung, jalanan batu berkelok-kelok naik turun mengikuti kontur perbukitan, aliran sungai, ladang, juga rapatnya pepohonan.
Kala meniti jalan batu, turis kerap berpapasan dengan laki-laki maupun perempuan Baduy, serta anak-anak mereka sepulang berladang.
Para perempuan rata-rata mengenakan kain hitam atau biru tua bermotif batik biru dan atasan berwarna gelap dilengkapi dudukuy, caping lebar penutup kepala. Kaum lelaki mengenakan celana pendek kain dan atasan berwarna gelap dengan ikat kepala serupa dengan kain perempuan. Ada juga beberapa warga Baduy memakai kaus dan celana pendek jins.
Baca juga: Butuh Satu Kota untuk Membesarkan Anak
Cara berpakaian ini menjadi salah satu pembeda dengan Baduy dalam. Baju masyarakat Baduy dalam didominasi warna putih. Walau Baduy luar disebut lebih terbuka pada dunia luar, mereka sama-sama teguh pada beberapa prinsip hidup. Mereka, misalnya, tidak boleh mengenakan alas kaki, berbagai peralatan modern dari luar, termasuk sabun, sampo, pasta gigi produksi industri massal. Listrik tidak diterima di sini.
Sekitar 2 jam perjalanan dari pintu masuk Kanekes, pengunjung bakal merasakan sensasi menyeberangi jembatan bambu sepanjang sekitar 24 meter di Kampung Gajeboh. Jembatan bambu ini bagian dari tanda permukiman terakhir kaum Baduy luar. Jika berjalan masuk lebih dalam lagi sekitar 4-5 jam berjalan kaki, baru bisa mencapai wilayah Baduy dalam.
Di ujung jembatan, ada banyak pondok penjaja makanan dan minuman, serta bangku kayu untuk istirahat. Jika warga setempat mengizinkan, jangan lupa bermain-main sejenak di sungai sembari merendam kaki.
Baca juga: Sultan, Vadim, dan Jalan sebagai Ruang Publik yang Terabaikan
Meskipun masih tersisa genangan air, kemarau panjang tetap berdampak pada menyusutnya debit air. Beberapa warga Baduy pun mengeluhkan padi ladang yang gagal karena kurangnya curah hujan.
Mereka tak banyak membuka percakapan dengan orang luar, warga Baduy juga lebih tak acuh pada lalu lalang orang luar di sekitar mereka.
Pengaruh kota
Alam dipadu dengan masyarakat Baduy beserta budayanya yang terjaga, membuat haiking di Kanekes teramat sempurna. Hanya saja, keriuhan turis yang membeludak di akhir pekan sedikit mengurangi kesempurnaan itu.
Jalanan batu yang hanya cukup untuk dua orang berjajar penuh dengan lalu lalang wisatawan. Mereka rata-rata datang dari seputaran Jabodetabek dan melewatkan pagi hingga siang itu di Kanekes. Mereka terkesan tak ambil pusing untuk mengenal lebih dekat warga setempat.
Para pengunjung menyukai rumah-rumah Baduy dan masyarakatnya. Walakin, semua itu lebih menarik untuk latar swafoto. Berjalan terburu untuk segera sampai di Gajeboh, apalagi kalau bukan untuk kembali berswafoto. Turun ke sungai pun tanpa permisi. Seakan lupa, tempat mereka haiking ini adalah perkampungan dengan warga setempat sebagai tuan rumah.
Baca juga: Ironi di Negeri Sepeda Motor
Namun, masyarakat Baduy sepertinya sudah sangat memahami bagaimana merespons masyarakat luar dengan segala budayanya. Mereka mengatur jalur hiking wisata. Ada beberapa ruas jalan kampung dilarang dimasuki turis. Mereka menjajakan berbagai barang kerajinan dengan harga seragam yang tidak melampaui harga pasaran.
Pengunjung tak dipungut biaya jika sekadar menumpang rehat di bale-bale rumah warga. Jika menginap, pemilik rumah hanya menerima penggantian biaya makan maupun bermalam seikhlasnya.
Baca juga: Polusi hingga Krisis Sampah, 78 Tahun Pembangunan yang Tak Seimbang
Warga lokal ramah dan terbuka menerima orang luar, tetapi tampak jelas membiasakan berinteraksi sekadarnya saja dengan para wisatawan. Mereka tak banyak membuka percakapan dengan orang luar. Warga Baduy juga lebih tak acuh, tak biasa menyapa atau memilih mengalihkan pandangan dari lalu lalang wisatawan di sekitar mereka.
Mereka membatasi diri untuk tidak sepenuhnya terpengaruhi dan tergantung pada orang luar. Di wilayah Baduy dalam, bahkan ada masa-masa tertentu masyarakat luar sama sekali dilarang masuk ke sana.
Tanpa intervensi pengendalian arus turis dan pembangunan untuk bisnis wisata di sana, kelak masyarakat setempat yang menanggung dampaknya.
Apa yang dilakukan masyarakat Baduy menjadi penentu masih lestarinya budaya setempat. Di beberapa kelompok masyarakat adat terpencil lain di dunia kini terancam keberadaannya karena dampak wisata massal, termasuk fenomena kaum urban menjadi penggemar wisata luar ruang dengan haiking di perdesaan, yang merangsek bagai air bah.
Kawasan Ghorepani di Nepal, misalnya, disebut terancam oleh bisnis wisata, khususnya wisata massal. Dalam jurnal berjudul ”Visitors’ impacts on remote destinations: An evaluation of a Nepalese mountainous village with intense tourism activity”, yang ditulis Rekha Baral dan Deepak Prasad Rijal di Heliyon pada Agustus 2022 lalu itu menyebutkan masyarakat setempat disebut masih belum sadar dampak buruk bisnis wisata di kawasannya.
Selama ini mereka menerima manfaat berupa penghasilan berkat arus turis yang terus dipompa masuk ke sana. Namun, tak disadari pembangunan jalan, pertumbuhan sarana prasarana wisata, seperti penginapan dan tempat makan, telah mengubah tatanan sosial hingga tatanan keseimbangan alam di sana.
Baca juga: Inspirasi Anti-”burnout” dari Akira Tendo
Tanpa intervensi pengendalian arus turis dan pembangunan untuk bisnis wisata di sana, kelak masyarakat setempat yang menanggung dampaknya.
Lihat juga: Hidup Selaras Alam, Rahasia Kebahagiaan Masyarakat Baduy
Tren kedatangan pemodal dari luar sering kali mengambil manfaat terbesar dari majunya pariwisata lokal. Membuat warga setempat sebagai penonton atau sekadar menerima remahan manfaat. Lingkungan rusak dan budaya setempat terkikis pada akhirnya membuat warga setempat kehilangan jati diri. Ujung-ujungnya, daya tarik wisata meredup.
Orang kota dengan segala kemajuan teknologi, gaya hidup, juga uang yang dimiliki selalu menarik untuk dibagi dengan pihak lain yang membutuhkan. Namun, bukan berarti ”kota” berhak membuat semua daerah sepertinya.
Orang Baduy bersikap tanpa banyak kata, memilih setia menjadi dirinya dengan tetap menerima kapan pun orang kota datang bertandang. Sejuknya.
Baca juga: Catatan Urban