Ribuan Liter "Water Mist" Versus Air Bersih yang Tersendat
Kemarau datang, terbitlah kekeringan dan buruknya mutu udara yang kian terasa. Isu menahun yang kerap direspons program sesaat dan tak menyelesaikan masalah.
Panas dan kering yang tengah mendera kawasan dari ujung ke ujung wilayah Nusantara membuat banyak orang gerah. Sesuai prakiraan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, kemarau mencapai puncaknya pada September-Oktober ini.
Mata air, embung, dan sungai-sungai mengering. Areal persawahan banyak yang gagal tumbuh dan gagal panen. Belum lagi kebakaran hutan dan lahan di sebagian daerah. Daerah-daerah terpencil yang sepanjang tahun kesulitan air kian menderita di tengah musim kerontang ini.
Warga perkotaan pun tak luput dibuat pusing. Sumber air perpipaan, seperti sungai dan waduk, menyusut berdampak pada gangguan distribusi air bersih. Ujung sumur-sumur bor tak lagi basah. Udara kian panas dan pekat oleh polusi hasil zat buang industri hingga asap kendaraan bermotor.
Baca juga: Butuh Satu Kota untuk Membesarkan Anak
Khusus di Jakarta, kemarau dan polusi udara menjadi isu panas yang bergulir dalam dua bulan terakhir. Pemerintah provinsi dan pusat berjanji menertibkan industri nakal penghasil zat buang beracun. Bersamaan dengan itu, pemangku kebijakan berkomitmen mempercepat pembangunan jaringan transportasi publik demi mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.
Sejauh ini, dilaporkan ada beberapa perusahaan disegel dan diberi sanksi oleh tim khusus dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan karena abai dengan gas buang industrinya. Namun, langkah itu belum terbukti menurunkan tingkat polusi udara, lebih sebagai reaksi atas ramainya keluhan publik. Publik mempertanyakan, benarkah semua industri bisa diinspeksi dan ditangani tegas terkait pengelolaan gas buang mereka.
Soal transportasi umum, masih butuh bertahun-tahun untuk terbangun semua. Itu pun integrasi antarangkutan massal dan jaringan angkutan pengumpan di kawasan aglomerasi menjadi pekerjaan rumah besar yang sulit terwujud dalam waktu dekat.
Pemerintah kemudian mencoba mengimbangi dengan menggenjot program jangka pendek, di antaranya uji emisi kendaraan bermotor hingga meminta pengelola gedung tinggi memasang generator kabut air (water mist generator) di puncak bangunan mereka.
Baca juga: Ironi di Negeri Sepeda Motor
Uji emisi terlihat masih separuh hati dijalankan. Terkait generator kabut air, publik masih menunggu efektivitasnya. Alat seharga Rp 50 juta per unit itu disebut menyerap zat polutan di udara sekaligus membantu menurunkan suhu udara. Namun, alat ini tidak menjangkau akar masalah dari sumber-sumber polusi.
Sampai 13 September, diklaim 700 gedung mulai memasang generator kabut air. Setiap generator dapat menyemprotkan sekitar 1.000 liter kabut per hari dari setiap gedung tinggi. Pengadaan fasilitas ini ternyata juga tak mulus. Alat produksi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi bersama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) ini terkendala.
Di luar itu, semprotan ribuan liter air dari atap gedung menjadi ironi ketika pada saat bersamaan, Jakarta mulai muncul gangguan aliran air perpipaan. Kabar terbaru dari RW 11 di kawasan Kalideres, Jakarta Barat, misalnya, aliran air perpipaan tersendat dan warga terpaksa dibantu pasokan air tangki dari PAM Jaya.
Baca juga: Polusi hingga Krisis Sampah, 78 Tahun Pembangunan yang Tak Seimbang
Minimnya akses ke air bersih di Jakarta bukan kabar baru. Akses terbatas ke air perpipaan—sehingga warga terpaksa mengandalkan air tanah lewat sumur bor—terjadi sejak berpuluh tahun lalu. Kondisi serupa terjadi di aglomerasi Jabodetabek dan banyak perkotaan lain di Indonesia.
Di Jakarta, khususnya wilayah bagian utara, air tanah rata-rata air payau karena intrusi air laut. Warga di permukiman padat banyak tergantung pada air jerigen yang dijajakan gerobak dari gang ke gang untuk keperluan sehari-hari. Untuk minum, air kemasan isi ulang turut menjadi tumpuan mereka.
Cakupan air perpipaan di DKI, sesuai data PAM Jaya, hingga awal 2023 baru 65,8 persen. Target 100 persen atau pengadaan sambungan untuk sekitar 34 persen cakupan layanan perpipaan tersisa diharapkan tercapai pada 2030.
Target pencapaian dalam tujuh tahun ke depan itu sebuah ambisi besar mengingat penambahan cakupan layanan air perpipaan di Jakarta hanya sekitar 20 persen dalam sepuluh tahun terakhir. Tulisan di harian Kompas pada 26 Desember 2013 menunjukkan cakupan air perpipaan saat itu baru sekitar 45 persen dari target.
Secara nasional, pemerintah menargetkan pada 2020-2024, Indonesia memiliki 100 persen akses air minum layak dan 15 persen akses air minum aman. Hasilnya, sesuai laporan Pengamanan Kualitas Air Minum Tahun 2022 dari Kementerian Kesehatan dan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas), akses air minum aman baru 11,8 persen.
Baca juga: Inspirasi Anti-”burnout” dari Akira Tendo
Dari data itu, berarti hanya sekitar 30 juta warga dari total 270 juta jiwa penduduk Indonesia yang memiliki akses air minum aman. Air minum aman berarti tidak terkotori zat pencemar pada para parameter fisik, kimia, dan mikrobiologi yang dapat membahayakan kesehatan.
Laporan yang sama mengungkapkan, hanya 31,3 persen air minum di tingkat nasional yang bebas dari bakteri E coli. Di perkotaan, angka itu sedikit lebih tinggi, yaitu 35 persen. Fakta itu mengungkapkan 60-70 persen atau sebagian besar air minum yang ada tercemar E coli.
Laporan Tahunan 2022 Stop Buang Air Besar Sembarangan di Indonesia dari Kemenkes dan Germas menyebutkan, baru 7,25 persen warga Indonesia memiliki akses ke sanitasi aman dibandingkan rata-rata angka dunia yang telah mencapai 54 persen.
Sanitasi
Persoalan menahun terkait pembangunan air bersih itu erat terkait dengan isu sanitasi. Laporan Tahunan 2022 Stop Buang Air Besar Sembarangan di Indonesia dari Kemenkes dan Germas menyebutkan, baru 7,25 persen warga Indonesia memiliki akses ke sanitasi aman dibandingkan rata-rata angka dunia yang telah mencapai 54 persen.
Pemilik sanitasi layak sendiri dan sanitasi layak bersama (komunal) sekitar 73 persen. Sisanya, 19,71 persen, memiliki akses belum layak dan menjalankan praktik buang air besar sembarangan (BABs).
Di Jakarta, Sanitasi Total Berbasis Masyarakat 2021 menunjukkan, 2,29 juta keluarga menjangkau jamban sehat permanen. Sebanyak 166.622 keluarga menjangkau jamban sehat semipermanen, 94.844 keluarga menggunakan jamban bersama, dan 50.015 keluarga masih BABs.
Baca juga: Sultan, Vadim, dan Jalan sebagai Ruang Publik yang Terabaikan
Di lapangan, praktik BABs karena tidak memiliki toilet sendiri dapat dilihat dari adanya toilet tepat di bibir sungai, saluran air, bahkan di lahan terbuka. Selain itu, masih banyak saluran WC warga langsung terhubung ke badan sungai dan saluran air.
Beginilah, seiring berita kekeringan, polusi udara, dan hal terkait lainnya yang mengemuka setiap kemarau tiba, isu air bersih dan sanitasi buruk pun muncul. Publik dihadapkan pada lambannya pembangunan air bersih dan sanitasi selama puluhan tahun. Publik juga terus disuguhi kebijakan jangka pendek yang tak jelas jaminan keberhasilannya, seperti generator kabut air yang saat ini dipaksa menjadi tren.
Sungguh suatu ironi.
Baca juga: Catatan Urban