Mandek pada Larangan Ekspor?
Sama seperti sejumlah komoditas tambang, pemerintah juga melarang ekspor rotan dan karet. Namun, apakah pengembangan industri hulu-hilir rotan dan karet ini juga sama seriusnya dengan program hilirisasi pertambangan?
Pemerintah telah melanjutkan larangan ekspor rotan dan karet untuk mengamankan kebutuhan bahan baku industri domestik. Kebijakan itu muncul di tengah industri hulu-hilir rotan dan karet nasional tertimpa sejumlah persoalan. Cukupkah hanya mandek pada larangan ekspor?
Larangan ekspor rotan dan karet itu diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2023 tentang Barang yang Dilarang untuk Diekspor. Permendag yang ditandatangani Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan pada 10 Juli 2023 itu berlaku sejak 19 Juli 2023.
Dalam regulasi itu, pemerintah melarang ekspor rotan yang masuk dalam sepuluh kode klasifikasi barang (HS). Rotan tersebut antara lain mencakup rotan utuh, inti terbagi, kulit terbagi, dan berdiameter tidak melebihi 12 milimeter.
Selain itu, pemerintah juga melarang ekspor karet selain dalam bentuk lembaran asap bergaris (ribbed smoked sheet/RSS) dan karet alam spesifikasi teknis (TSNR) atau Standar Indonesia Rubber (SIR). Karet yang dilarang diekspor itu masuk dalam sepuluh kode HS, antara lain seperti karet alam dalam bentuk asal, pelat, lembaran, dan strip.
Larangan ekspor rotan dan karet itu merupakan kelanjutan dari Permendag No 18/2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor yang digantikan Permendag No 22/2023. Terkait dengan larang ekspor rotan, pemerintah telah berkali-kali mengubah kebijakan tersebut sejak 2004.
Gonta-ganti kebijakan itu mulai dari larangan ekspor rotan mentah dan setengah jadi, berdiameter tertentu, hingga rotan mentah. Perubahan kebijakan itu juga dipengaruhi kondisi tertentu, seperti industri mebel rotan kekurangan bahan baku, kelebihan produksi rotan, hingga serbuan mebel rotan negara lain yang berbahan baku rotan Indonesia di pasar domestik.
Gonta-ganti kebijakan itu mulai dari larangan ekspor rotan mentah dan setengah jadi, berdiameter tertentu, hingga rotan mentah.
Baca juga: Hilirisasi dan Pengembangan Industri
Hingga kini, persoalan klasik itu terus mengemuka dan berulang. Industri mebel rotan kerap mengeluhkan kekurangan bahan baku, sedangkan produsen rotan sering menggaungkan serapan rotan di dalam negeri belum maksimal. Yang satu menginginkan larangan ekspor rotan tetap berlanjut, yang lain meminta larangan tersebut dicabut.
Pada 2 Maret 2020, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki menyatakan, ada anomali dalam industri rotan nasional. Di hulu, produksi rotan melimpah, sedangkan di hilir, industri mebel rotan mengalami kelangkaan bahan baku.
Sebenarnya, ada kebijakan hulu dan hilir yang tidak pas. Industri tidak bisa menyerap seluruh produksi rotan setengah jadi. Ketika larangan ekspor tetap berjalan, penyelundupan rotan pun terjadi, yakni sekitar 10.000 ton per bulan. Tiga tahun setelahnya, saat mengunjungi Palangkaraya, Kalimantan Tengah, pada 14 Juli 2023, Teten menyampaikan, potensi rotan di Kalimantan Tengah sekitar 10.000 ton per bulan, tetapi yang terserap tak lebih dari 1.000 ton.
Sementara itu, Badan Pusat Statistik mencatat, pada 2018-2022, tren ekspor produk furnitur dari rotan atau bambu meningkat. Pada 2018, nilai ekspor produk tersebut sebesar 115,6 juta dollar AS. Pada 2022, nilainya meningkat menjadi 186,8 juta dollar AS meski lebih rendah dari 2021 yang 191 juta dollar AS.
Hal itu menunjukkan, larangan ekspor rotan dapat meningkatkan ekspor mebel rotan. Di sisi lain, larangan ekspor tersebut turut menjadi penyebab rendahnya serapan produksi rotan di hulu.
Ada anomali dalam industri rotan nasional. Di hulu, produksi rotan melimpah, sedangkan di hilir, industri mebel rotan mengalami kelangkaan bahan baku.
Baca juga: Potensi Besar Rotan Kalteng terhadap Kebijakan
Fakta dan data
Industri karet nasional juga bernasib kurang lebih sama. Larangan ekspor karet bentuk tertentu bergulir sejak 2021. Tidak hanya itu, Indonesia, Thailand, dan Malaysia yang tergabung dalam Dewan Tripartit Karet Internasional (ITRC) juga memiliki kebijakan membatasi kuota ekspor karet untuk menjaga harga karet mentah global.
Hal itu dilakukan melalui Skema Kesepakatan Tonase Ekspor (Agreed Export Tonnage Scheme/AETS) atau mekanisme mengurangi ekspor karet berbasis alokasi ekspor. Sejak 2002, ITRC telah enam kali menerapkan AETS untuk mengatasi penurunan harga karet dunia.
Kini, larangan ekspor karet bentuk tertentu kembali berlanjut pascaterbitnya Permendag No 22/2023. ITRC juga masih berkomitmen menerapkan AETS jika sewaktu-waktu harga karet mentah dunia anjlok.
Baca juga: Industri Karet Sumut Terpuruk dari Hulu hingga Hilir
Di sisi lain, kondisi industri karet nasional pada tahun ini tengah terpuruk. Berdasarkan data Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo), jumlah pabrik karet remah di Indonesia pada 2017 sebanyak 152 pabrik. Jumlah itu terus menurun hingga menjadi 107 pabrik pada 2022. Sebanyak 45 pabrik yang tutup itu berkapasitas total 1,4 juta ton per tahun, sementara pabrik karet yang beroperasi saat ini memiliki kapasitas total 4,2 juta ton per tahun.
Gapkindo menyebutkan, penutupan pabrik karet remah itu terjadi lantaran kekurangan pasokan bahan baku. Industri yang masih bertahan terpaksa mengimpor bahan baku karet. Penurunan produksi karet itu terjadi akibat alih fungsi lahan karet menjadi kelapa sawit, serta rendahnya produktivitas taman karet karena sudah berusia 20-30 tahun (Kompas, 8/7/2023).
Baca juga: Penutupan Pabrik Karet Bisa Berlanjut
Di tengah berlanjutnya larangan ekspor karet dan kekurangan pasokan tersebut, BPS mencatat, nilai ekspor getah dan luas perkebunan karet Indonesia meningkat, sedangkan produksi karet cenderung turun. Ekspor getah karet dan sejenisnya yang pada 2018 senilai 56,6 juta dollar AS meningkat menjadi 67,9 juta dollar AS pada 2022.
Dalam lima tahun terakhir, 2018-2022, luas perkebunan karet Indonesia juga bertambah dari 3,67 juta hektar pada 2018 menjadi 3,83 juta ha pada 2022. Adapun produksi karet nasional yang pada 2018 menjadi 3,63 juta ton turun menjadi 3,14 juta ton. Pada 2020 dan 2021, produksi karet nasional sempat anjlok menjadi 2,88 juta ton.
Semoga rotan dan karet yang juga merupakan komoditas andalan Indonesia diperlakukan sama seriusnya seperti program kebanggaan pemerintah, yakni hilirisasi pertambangan.
Terlepas dari perbedaan fakta dan data itu, ada persoalan dalam industri karet nasional yang perlu diatasi. Begitu juga dengan industri rotan, perlu ada solusi konkret untuk mengatasi problem anomali penawaran dan permintaan.
Tidak cukup pemerintah hanya berhenti pada kebijakan larangan ekspor. Penataan industri hulu-hilir rotan dan karet juga perlu dilakukan. Industri rotan membutuhkan integrasi yang kuat antara pemasok bahan baku dengan pelaku industri dan perluasan pasar mebel dan kerajinan rotan baik di dalam maupun luar negeri.
Sementara industri karet membutuhkan peremajaan tanaman karet untuk meningkatkan produksi. Pemerintah juga perlu mengatasi alih fungsi lahan karet, serta menumbuhkan pasar dan hilirisasi karet di dalam negeri. Hilirisasi tersebut tidak hanya mencakup industri produk jadi di hilir, tetapi juga industri perantara (intermediate).
Semoga rotan dan karet yang juga merupakan komoditas andalan Indonesia diperlakukan sama seriusnya seperti program kebanggaan pemerintah, yakni hilirisasi pertambangan. Tak cukup hanya melarang ekspor rotan dan karet tanpa ada solusi atas siklus persoalan tahunan.
Baca juga: RI Berkomitmen Jaga Harga dan Inisiasi Bursa Karet Regional