Industri Karet Sumut Terpuruk dari Hulu hingga Hilir
Industri karet Sumut terpuruk dari hulu hingga hilir. Produksi merosot karena alih fungsi lahan, tanaman tak diremajakan, dan produktivitas rendah. Sudah enam dari 36 pabrik yang menutup operasionalisasi.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
MEDAN, KOMPAS – Industri karet di Sumatera Utara terpuruk dari hulu hingga hilir. Di hulu, produksi merosot karena alih fungsi lahan dan kebun yang tak diremajakan. Produktivitas hanya 300 kilogram per hektar per tahun, jauh di bawah negara tetangga 1.300 kilogram. Pabrik karet remah akhirnya krisis bahan baku. Sudah enam dari 36 pabrik yang menutup operasionalisasi.
Sekretaris Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumatera Utara Edy Irwansyah, di Medan, Selasa (4/7/2023), mengatakan, industri karet sedang berada di titik nadir. ”Padahal, industri karet merupakan salah satu penopang ekonomi daerah. Industri karet menyerap banyak tenaga kerja, mulai dari kebun hingga pabrik karet,” katanya.
Terpuruknya industri karet terlihat sangat jelas dari bergugurannya satu per satu pabrik karet remah. Dari total 36 pabrik karet di Sumut, sudah enam yang menutup operasionalisasi dalam lima tahun ini. Penyebab utamanya adalah pasokan bahan olah karet rakyat (bokar) yang menurun dari waktu ke waktu.
Total kapasitas terpasang pabrik karet di Sumut mencapai 886.484 ton per tahun. Namun, pada 2022, bahan baku yang ada hanya cukup untuk memproduksi 430.632 ton karet remah atau hanya 48,5 persen dari kapasitas terpasang. ”Akibatnya, banyak pabrik yang merugi dan harus menutup operasi perusahaan,” ujar Edy.
Dengan perkiraan satu pabrik mempekerjakan 300 orang, penutupan enam pabrik menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 1.800 orang. Perusahaan yang masih bertahan pun berjibaku dengan kondisi yang ada. Ada yang hanya beroperasi 1-3 hari sepekan, ada pula yang beroperasi jika ada bahan baku saja. Sebagian karyawan harus dirumahkan atau di-PHK karena kondisi itu.
Akar permasalahan dari terpuruknya industri karet nasional, menurut Edy, adalah harga karet dunia yang jauh di bawah harga remuneratif atau menguntungkan di semua rantai pasok. Rendahnya harga ini juga diperparah oleh produktivitas karet petani yang sangat rendah.
Beberapa hal sudah dilakukan, seperti pembatasan ekspor. Namun, hal tersebut tidak berpengaruh signifikan mengangkat harga.
Harga karet remah jenis technical specified rubber (TSR) 20 pada perdagangan di bursa Singapore Commodity Exchange (Sicom), Selasa (4/7/2023), hanya 1,131 dollar AS per kilogram. Harga ini jauh di bawah harga remuneratif, yakni 2,5 dollar AS.
Penurunan harga sangat memengaruhi petani karena produktivitas kebun karet yang rendah, yakni hanya sekitar 300 kilogram karet remah per hektar per tahun. Sementara di beberapa negara penghasil karet lainnya, seperti Thailand, Malaysia, dan Vietnam, produktivitas mencapai 1.300 kilogram per hektar per tahun.
Edy menyebutkan, upaya untuk menjaga harga karet di pasar dunia sudah dilakukan tiga negara yang tergabung dalam International Tripartite Rubber Council (ITRC), yakni Thailand, Indonesia, dan Malaysia. Beberapa hal sudah dilakukan, seperti pembatasan ekspor. Namun, hal tersebut tidak berpengaruh signifikan mengangkat harga.
Belakangan, diwacanakan untuk menetapkan harga minimum karet di bursa perdagangan karet agar tidak di bawah harga pokok produksi. Namun, hal itu belum dapat dilaksanakan.
Di sisi lain, peningkatan produktivitas kebun petani juga menjadi persoalan tersendiri. Hal yang mendesak adalah peremajaan tanaman. Hal ini juga untuk mengganti tanaman dengan bibit unggul yang mempunyai produktivitas lebih baik. Peremajaan ini sangat penting mengingat 90 persen karet nasional adalah karet petani.
Sungkunen Tarigan, Ketua Kelompok Tani Mbuah Page di Kecamatan Sinembah Tanjung Muda Hilir, Kabupaten Deli Serdang, Sumut, mengatakan, para petani di desanya meninggalkan karet secara masif dalam lima tahun terakhir ini. ”Di Desa Kuta Jurung, tinggal lima keluarga yang masih punya kebun karet dan disadap secara rutin. Selebihnya sudah mengganti dengan sawit atau tanaman lain,” ucapnya.
Produksi karet di desanya kini hanya sekitar 500 kilogram per pekan. Beberapa tahun lalu, mereka bisa mengumpulkan hingga 5 ton getah karet per pekan. Kebun karet yang bertahan saat ini hanya yang tidak bisa diakses kendaraan. Di beberapa desa tetangga, kebun karet masih cukup luas karena berada di lereng bukit dan sulit dikonversi ke sawit.
Sungkunen menyebutkan, harga karet di tingkat petani berkisar Rp 8.500-Rp 9.000 per kilogram. Harga itu di bawah harga menguntungkan bagi petani, yakni di atas Rp 10.000 per kilogram. Dengan harga saat ini, mereka bahkan kesulitan mencari tenaga kerja penyadap karet karena dibayar dengan bagi hasil.
Seorang penyadap karet biasanya bisa mendapat sekitar 25 kilogram per hari. Dengan harga sekarang, penyadap hanya mendapat sekitar Rp 110.000. ”Mereka memilih memanen sawit karena bisa mendapat Rp 200.000,” kata Sungkunen.
Akibatnya, banyak kebun karet yang dibiarkan terbengkalai tidak disadap karena tidak ada tenaga kerja. Menurut Sungkunen, petani dengan sendirinya akan bergairah menghidupkan lagi kebunnya jika harga naik dan menguntungkan petani. Petani juga tidak bisa meremajakan tanaman karena harus menunggu lima tahun sampai menghasilkan.