RI Berkomitmen Jaga Harga dan Inisiasi Bursa Karet Regional
Indonesia tengah menginisiasi bursa karet regional bersama Malaysia dan Thailand. Di sisi lain, Konsorsium Karet Internasional (IRCo) mengusulkan tambahan modal dari Indonesia sebesar 2,84 juta dollar AS.
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia, Thailand, dan Malaysia yang tergabung dalam Dewan Tripartit Karet Internasional atau ITRC berkomitmen menjaga harga karet alam internasional. Indonesia juga tengah menginisiasi pembentukan bursa karet regional.
Untuk memperkuat posisi negara-negara produsen karet di ASEAN, ketiga negara tersebut akan terus membujuk Vietnam bergabung dalam ITRC dan Konsorsium Karet Internasional atau IRCo. Di sisi lain, IRCo mengusulkan tambahan modal sebesar 8,54 juta dollar AS untuk menggulirkan berbagai program dan kegiatan periode 2024-2027.
Sejumlah poin itu mengemuka dalam Diseminasi Hasil Analisis Badan Kebijakan Perdagangan (BKPerdag) Tahun 2023 ”Penguatan Implementasi Kebijakan Perdagangan untuk Mendorong Peningkatan Kinerja Perdagangan” yang digelar secara hibrida, Rabu (17/5/2023). Dalam kegiatan itu dipaparkan pula hasil analisis bertajuk ”Dukungan Biaya dan Manfaat Keikutsertaan Indonesia dalam IRCo”.
Kepala Badan Kebijakan Perdagangan (BKPerdag) Kementerian Perdagangan Kasan Muhri, Rabu (17/5/2023), mengatakan, hingga kini ITRC yang beranggotakan Indonesia, Malaysia, dan Thailand terus menjaga harga karet dunia tidak turun. Hal itu dilakukan melalui Skema Kesepakatan Tonase Ekspor (Agreed Export Tonnage Scheme/AETS) atau mekanisme mengurangi ekspor karet berbasis alokasi ekspor.
”Skema ini tidak semata berorientasi pada bisnis ekspor karet, tetapi juga pada kesejahteraan petani karet di setiap negara produsen karet anggota ITRC. Bagi petani karet Indonesia, pohon karet ibarat mesin anjungan tunai mandiri. Setiap kali membutuhkan uang, petani karet akan mendatangi pohon karet untuk menyadap getah karet,” katanya.
Baca juga: Jangan ”Ngaret” untuk Karet
Selain menjaga harga karet, lanjut Kasan, Indonesia juga tengah menginisiasi dibentuknya bursa karet regional atau di kawasan negara-negara produsen karet. Tiga negara produsen karet terbesar dunia saat ini adalah Thailand, Indonesia, dan Vietnam.
Selama ini, bursa karet justru berada di sejumlah negara nonprodusen karet atau produksi karetnya sedikit, yakni Singapura, China, dan Jepang. Hal ini membuat posisi tawar negara-negara produsen karet terbesar kurang kuat karena pengaruh pasar masih dominan.
”Oleh karena itu, dibuatlah AETS. Di saat harga karet dunia jatuh akibat pengaruh pasar, ITRC akan mengurangi ekspor karet agar harga karet dunia kembali membaik. Pengurangan ekspor karet itu diimbangi dengan penyerapan karet di dalam negeri, baik untuk menopang pembangunan jalan, bantalan pelabuhan, bendungan, dan jembatan,” ujarnya.
Baca juga: Penggunaan Aspal Karet Ditingkatkan
Menurut Kasan, untuk semakin memperkuat daya tawar negara-negara produsen karet, Indonesia, Malaysia, dan Thailand masih berupaya mengajak Vietnam bergabung dalam ITRC dan IRCo. Vietnam merupakan negara produsen karet terbesar kedua dunia.
Selama ini, di saat harga karet dunia jatuh, Vietnam tidak berbuat apapun untuk mengangkat kembali harga karet. Padahal, Indonesia, Malaysia, dan Thailand berupaya mengurangi ekspor karet guna menstabilkan kembali harganya.
”Vietnam pernah mengajukan proposal inisiatif untuk bergabung dalam ITRC dan IRCo. Namun, di saat diundang dalam pertemuan tingkat menteri negara produsen karet, Vietnam tidak hadir. Saat ini, Indonesia, Malaysia, dan Thailand masih berupaya membujuk Vietnam untuk bergabung,” katanya.
Baca juga: Musi Banyuasin Miliki Pabrik Aspal Karet Rakyat Pertama di Sumatera Selatan
Fasilitator Perdagangan Pusat Kebijakan Perdagangan Internasional BKPerdag Annisa Aulani Kusnadi menambahkan, saat ini Indonesia, Malaysia, dan Thailand yang tergabung dalam ITRC menguasai sekitar 60 persen stok karet dunia. Dengan bergabungnya Vietnam, keempat negara tersebut dapat mengusai sekitar 70-75 persen stok karet dunia.
Direktur Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Riza Noer Arvani berpendapat, karet merupakan salah satu komoditas strategis Indonesia. Oleh karena itu, peran Indonesia bersama negara-negara produsen karet lainnya di kancah global perlu diperkuat.
ITRC harus dapat memainkan peran penting, seperti Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC). ITRC diharapkan mampu mengendalikan stok sekaligus menjadi penentu harga karet dunia.
”Indonesia bersama dengan ITRC juga perlu menata kembali hulu-hilir karet dalam rangka menghadapi Undang-undang Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR). Pasalnya, regulasi itu juga mengatur karet dan produk turunannya harus memenuhi syarat uji tuntas bebas deforestasi untuk memasuki pasar Uni Eropa,” katanya.
Indonesia bersama dengan ITRC juga perlu menata kembali hulu-hilir karet dalam rangka menghadapi EUDR. Pasalnya, regulasi itu juga mengatur karet dan produk turunannya harus memenuhi syarat uji tuntas bebas deforestasi untuk memasuki pasar Uni Eropa.
Baca juga: Komoditas Ekspor RI Hadapi Tantangan Regulasi Produk Bebas Deforestasi UE
Penambahan modal
Dalam kegiatan itu juga mengemuka rencana IRCo yang mengusulkan tambahan modal sebesar 8,54 juta dollar AS untuk menggulirkan berbagai program periode 2024-2027. Dari jumlah itu, Indonesia yang merupakan salah satu anggota IRCo diminta menambah modal sebesar 2,84 juta dollar AS.
IRCo merupakan perusahaan konsorsium yang didirikan ITRC. IRCo secara resmi berdiri dan terdaftar sebagai perusahaan konsorsium terbatas pada 28 April 2004 dengan modal dasar sebesar 225 juta dollar AS.
Tugas IRCo adalah melaksanakan operasi pasar strategis untuk menjaga harga karet dunia tidak turun dan menyediakan layanan kesekretariatan ITRC. Perusahan itu juga menggulirkan program-program ITRC, antara lain menjaga produksi karet jangka panjang melalui peremajaan dan diversifikasi kebun serta mendorong peningkatan konsumsi karet alam di setiap negara anggota.
Annisa menuturkan, modal IRCo diperkirakan akan habis pada 2024 sehingga perusahaan konsorsium tersebut mengusulkan penambahan modal sebesar 8,54 juta dollar AS. Dari jumlah itu, penyertaan modal Indonesia yang dibutuhkan sebesar 2,84 juta dollar AS sesuai dengan proporsi produksi karet alam.
Usulan itu tertuang dalam proposal Cetak Biru Strategi Bisnis (SBB) IRCo periode 2023-2027. Proposal itu mencakup pula arah pengembangan IRCo, termasuk program dan kegiatan. Hal itu, antara lain, terkait Skema Manajemen Pasokan (supply management scheme/SMS) dan Skema Promosi Permintaan (demand promotion scheme/DPS).
”Melalui SMS, IRCo berupaya mengendalikan produksi karet di hulu untuk jangka panjang melalui peremajaan dan diversifikasi kebun. Sementara melalui DPS, IRCo menggulirkan berbagai program dan kegiatan untuk mendorong peningkatan konsumsi karet di setiap negara anggota,” ujarnya.
Baca juga: Peremajaan Karet Butuh Pembiayaan yang Pasti
Oleh karena itu, lanjut Annisa, rencana usulan penambahan modal IRCo perlu dipandang positif. Hal itu mengingat hampir 90 persen dari luasan dan produksi karet di Indonesia didominasi oleh perkebunan karet rakyat.
Pemerintah Indonesia diharapkan dapat menyetujui usulan tambahan modal itu dengan mempertimbangkan besarannya. Bersamaan dengan itu, Indonesia bisa menyesuaikan program dan kegiatan yang tertuang dalam proposal SBB IRCo yang memberikan dampak langsung terhadap kestabilan harga karet dan peningkatan kesejahteraan petani karet.
Sejak 2022 hingga 2019, ITRC dan IRCo dapat menstabilkan harga karet alam dunia melalui AETS. Sepanjang periode itu, AETS telah diterapkan sebanyak enam kali untuk mengatasi penurunan harga karet dunia.
Selain itu, performa IRCo juga perlu ditingkatkan. ”Performa IRCo ini masih perlu ditingkatkan karena belum ada mekanisme penyelesaian sengketa dan hukuman. Selain itu, cakupan negara-negara yang tergabung dalam IRCo masih terbatas,” kata Annisa.
Baca juga: Janji (Aspal) Karet