Komoditas Ekspor RI Hadapi Tantangan Regulasi Produk Bebas Deforestasi UE
Rencana penerapan regulasi produk bebas deforestasi Uni Eropa perlu jadi momentum untuk membenahi tata kelola industri sawit nasional. Pembenahan sertifikasi legalitas juga diharapkan pelaku industri mebel dan kerajinan.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Berbagai model mebel dan kerajinan dipamerkan dalam Indonesia International Furniture Expo (IFEX) 2018 di Jakarta International Expo Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat (9/3/2018).
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah komoditas ekspor Indonesia bakal menghadapi tantangan regulasi produk bebas deforestasi Uni Eropa. Regulasi itu mensyaratkan verifikasi atau uji tuntas untuk memastikan produk yang dijual di Uni Eropa tidak berasal dari lahan yang terdeforestasi, sesuai ketentuan hak asasi manusia, dan menghormati masyarakat adat.
Komoditas itu mencakup ternak, kakao, kopi, minyak sawit, kedelai, dan kayu, termasuk produk yang mengandung atau menggunakan komoditas itu, seperti kulit, cokelat, dan furnitur. Parlemen Uni Eropa (UE) juga ingin memasukkan daging babi, domba, kambing, dan unggas; jagung; karet; arang; serta kertas.
Parlemen Eropa juga bersikeras produk yang masuk UE tidak boleh diproduksi di lahan yang terdeforestasi setelah 31 Desember 2019. Mayoritas anggota Parlemen UE (453 suara berbanding 57 dan 123 abstain) menyetujui poin-poin penting regulasi itu dalam rapat pleno pada 13 September 2022.
Ketua Presidium Himpunan Pengusaha Mebel dan Kerajinan Indonesia (Himki) Abdul Sobur, Selasa (20/9/2022), mengatakan, penerapan regulasi UE itu di sektor furnitur dan kerajinan tidak terlalu menjadi soal bagi Indonesia. Selama ini, Indonesia telah menerapkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) atau sistem uji tuntas atau ketelusuran asal-usul kayu dan pengelolaannya.
Namun, UE tidak mengakui SVLK. Produk mebel dan kerajinan Indonesia berbasis kayu yang masuk pasar UE tetap diwajibkan memiliki sertifikat Dewan Forest Stewardship Council (Forest Stewardship Council /FSC).
”Hal itu sangat membebani para eksportir karena harus mengantongi SVLK dan FSC. Produk mebel dan kerajinan Indonesia di UE juga menjadi kalah bersaing dengan produk sejenis dari negara-negara lain yang hanya memiliki sertifikat FSC,” ujarnya ketika dihubungi di Jakarta.
UE tidak mengakui SVLK. Produk mebel dan kerajinan Indonesia berbasis kayu yang masuk pasar UE tetap diwajibkan memiliki sertifikat FSC.
Menurut Sobur, mumpung UE belum menetapkan regulasi produk bebas deforestasi, Indonesia masih dapat berbenah diri menjawab tantangan itu. Ada sejumlah langkah yang dapat dilakukan, seperti hanya mewajibkan satu sertifikat saja, SVLK atau FSC.
Selain itu, Indonesia juga dapat mengevaluasi mandatori SVLK yang selama ini diberlakukan baik di hulu maupun di hilir. Himki telah berulang kali meminta kewajiban SVLK di hilir tidak diterapkan karena sudah ada SVLK di hulu.
”Himki sekali lagi secara konsisten tegas menolak pemberlakuan mandatori SVLK di hilir dan meminta menghapus kebijakan itu,” katanya.
Himki mencatat, pasar ekspor furnitur dan kerajinan RI ke UE cukup besar, yakni sekitar 30 persen dari total ekspor. Pada 2021, total nilai ekpor furnitur dan kerajinan RI ke dunia tumbuh 27,23 persen menjadi 3,47 miliar dollar AS.
Produk mebel dipamerkan dalam Trade Expo Indonesia 2019 di Indonesia Convention Exhibition, BSD City, Tangerang, Banten, Rabu (16/10/2019).
Ketelusuran sawit
Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) juga meminta pemerintah memanfaatkan momentum rencana penerapan regulasi produk bebas deforestasi UE untuk membenahi tata kelola industri sawit nasional. Regulasi itu dapat menjadi peluang bagi Indonesia untuk menyediakan produk minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan produk turunan tanpa deforestasi.
Sekretaris Jenderal SPKS Mansuetus Darto menuturkan, Indonesia mampu menyediakan CPO dan produk turunannya bagi UE dengan menerapkan sistem ketelusuran asal-usul tandan buah segar (TBS) kelapa sawit. Meski telah mengadopsi Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO), masih banyak TBS yang masuk ke pabrik pengolahan kelapa sawit tidak berbasis sistem ketelusuran.
Meski telah mengadopsi Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO), masih banyak TBS yang masuk ke pabrik pengolahan kelapa sawit tidak berbasis sistem ketelusuran.
Petani kelapa sawit anggota SPKS telah mampu membangun data ketelusuran TBS berbasis nama, lokasi, dan spasial. Hal ini sejalan dengan program pembangunan data petani sawit melalui kebijakan surat tanda daftar budidaya (STDB) yang dilakukan Kementerian Pertanian.
”Petani sawit anggota SPKS di Kalimantan juga sedang menerapkan metode pendekatan stok karbon tinggi untuk membangun industri sawit berkelanjutan,” ujarnya.
Menurut Darto, langkah-langkah itu perlu diikuti dengan pembangunan data terpadu perkebunan kelapa sawit. Data pemerintah menyebutkan, total lahan sawit yang dimiliki petani (dengan batas kepemilikan kurang dari 25 hektar) seluas 6,7 juta hektar. Namun, setelah dianalisis menggunakan citra satelit, total luasnya hanya 2,3 juta hektar.
Artinya, banyak individu yang masih tercatat sebagai petani kendati memiliki lahan lebih dari 25 hektar. Selama ini, individu-individu itu kurang terdata dengan baik.
Regulasi produk bebas deforestasi itu semakin menambah daftar panjang kebijakan-kebijakan UE untuk mengatasi perubahan iklim. UE telah mengeluarkan Kebijakan Energi Terbarukan (RED) II yang mengeluarkan sawit dari daftar energi terbarukan.
UE juga akan menerapkan kebijakan pengurangan karbon melalui Mekanisme Penyesuaian Perbatasan Karbon (Carbon Border Adjustment Mechanism/CBAM) pada 2026. Ada lima komoditas yang dikenai aturan yang dijalankan secara pararel dengan Sistem Perdagangan Emisi UE, yakni semen, elektronik dan listrik, pupuk, besi dan baja, serta aluminium.