”Benteng” Karbon Uni Eropa Hadang Besi Baja RI
CBAM Uni Eropa bakal menjadi ”benteng” karbon aneka produk besi baja Indonesia. Tanpa CBAM, Indonesia masih bisa memperoleh tarif nol persen. Dengan CBAM, bea masuknya bisa mencapai 16,8 persen.
Industri besi dan baja Indonesia tengah tumbuh pesat. Dalam beberapa tahun terakhir, ekspornya tumbuh signifikan. Namun, pada tahun 2026, industri besi dan baja akan berhadapan dengan ”benteng” karbon Uni Eropa.
Kementerian Perdagangan mencatat, tren ekspor besi baja Indonesia ke dunia dalam lima tahun terakhir (2017-2021) tumbuh 53,84 persen. Pada 2017, nilai ekpsornya 3,34 miliar dollar AS dan pada 2021 meningkat drastis menjadi 20,93 miliar dollar AS.
Pada Januari-Juni 2022, nilai ekspornya 14,48 miliar dollar AS, tumbuh 64,88 persen secara tahunan. China mendominasi pasar tujuan ekspor besi baja Indonesia dengan kontribusi sebesar 64,17 persen dari total nilai ekspor besi baja pada semester I-2022. Adapun Uni Eropa (EU) baru berkontribusi sebesar 4,87 persen. Negara di kawasan UE yang masuk 20 negara utama tujuan ekspor besi baja RI adalah Belgia, Spanyol, dan Belanda.
Kepala Badan Kebijakan Perdagangan (BKP) Kementerian Perdagangan Kasan Muhri mengatakan, saat ini hampir seluruh produk besi baja RI yang masuk UE dikenai tarif nol persen. Hanya enam produk besi baja jenis tertentu yang dikenai bea masuk dengan kisaran 0,85-3,5 persen per ton.
”Jika UE menerapkan Mekanisme Penyesuaian Perbatasan Karbon atau Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) pada 2026, bea masuk besi dan baja RI bisa sebesar 16,8 persen,” ujarnya ketika dihubungi di Jakarta, Rabu (24/8/2022) malam.
Jika UE menerapkan Mekanisme Penyesuaian Perbatasan Karbon atau Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) pada 2026, bea masuk besi dan baja RI bisa sebesar 16,8 persen.
CBAM merupakan mekanisme pengenaan tarif karbon untuk sejumlah komoditas yang masuk ke UE. Ada lima komoditas yang dikenai aturan yang dijalankan secara pararel dengan Sistem Perdagangan Emisi UE, yakni semen, elektronik, pupuk, besi dan baja, serta aluminium.
CBAM yang juga salah satu elemen kunci program pengurangan emisi karbon UE ”Fit for 55” akan diterapkan secara bertahap. Pada 2023 atau tahap awal penerapan CBAM, UE mewajibkan importir memberikan laporan data produk besi baja yang masuk tanpa membayar biaya yang ditentukan.
Kemudian pada 2026, importir harus mengajukan laporan data sekaligus mendeklarasikan jumlah produk besi baja yang diimpor ke UE setiap tahun. Importir juga diminta untuk membeli sertifikat digital yang mewakili emisi karbon pada komoditas-komoditas tersebut. Harga sertifikat karbon itu berdasarkan harga rata-rata permit yang dilelang setiap minggu oleh Pasar Karbon (Emissions Trading System/ETS) UE.
Cofounder Jagat.io Barry Beagen mengatakan, harga karbon di UE pada 2021 mencapai 58 euro per ton. Saat ini, nilai karbon UE berdasarkan ETS UE sekitar 96 euro per ton dan diperkirakan akan menyentuh 100 euro per ton pada akhir 2022.
Untuk produk besi baja, produksi besi baja sekitar 1,85 ton setara dengan emisi 1 ton karbon. Merujuk hal itu, ekspor besi baja RI ke UE pada 2021 setara dengan 350 juta ton karbon.
”Bisa dihitung berapa besar biaya yang bakal ditanggung untuk membayar tarif karbon UE tersebut,” kata Barry dalam Gambir Trade Talk #7 ”Nasib Besi dan Baja akibat CBAM” yang digelar Badan Kebijakan Perdagangan (BKP) Kementerian Perdagangan secara hibrida di Jakarta, Rabu.
Ekspor besi baja RI ke UE pada 2021 setara dengan 350 juta ton karbon. Bisa dihitung berapa besar biaya yang bakal ditanggung untuk membayar tarif karbon UE tersebut.
Baca juga: Bebas Emisi Karbon Lahirkan Normal Baru Perdagangan dan Industri
Opsi Indonesia
Dalam diskusi itu juga terungkap, Indonesia memiliki sejumlah opsi atas pemberlakuan CBAM. Opsi itu berupa mengadaptasi standardisasi CBAM UE, menyampaikan keberatan hambatan perdagangan melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), menerapkan tindakan balasan perdagangan (resiprokal), dan meminta UE menerima sertifikat hijau atau kredit karbon yang telah dimiliki perusahaan besi baja RI.
Direktur Jenderal Pengendalian Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Laksmi Dewanthi menuturkan, Indonesia telah memiliki peta jalan untuk mengurangi emisi karbon sesuai dengan Perjanjian Paris. Hal itu tertuang dalam dokumen Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional (Nationally Determined Contribution/NDC).
Dalam NDC itu, target pengurangan emisi gas rumah kaca di Indonesia pada 2030 sebesar 29 persen tanpa syarat (dengan usaha sendiri) dan 41 persen bersyarat (dengan dukungan internasional yang memadai). Pengurangan emisi gas rumah kaca itu juga diterapkan di sektor industri mulai dari proses produksi hingga penggunaan produk (industrial process and product uses/IPPU).
Di sektor tersebut, lanjut Laksmi, pengurangan emsisi gas kaca diterapkan pada industri semen dan amonia. Ke depan akan diperluas ke industri besi baha, aluminium, dan asam nitrat. Sektor tersebut akan menyumbang produk-produk ekspor RI yang beberapa di antaranya akan terkena CBAM UE.
Industri nasional yang berhasil mengurangi emisi karbon akan mendapat sertifikat pengurangan emisi tersebut. Selain itu, ada juga industri yang memiliki kredit karbon yang dibeli dari perdagangan karbon.
”Sertifikat pengurangan emisi dan kredit karbon ini bisa menjadi bukti partisipasi industri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Oleh karena itu, Indonesia perlu membangun pemahaman dengan negara-negara mitra dagang, termasuk UE, bahwa industri-industri nasional telah secara ketat mengurangi emisi gas rumah kaca,” katanya.
Baca juga: Kebijakan ”Zero Emission” Bakal Berimbas ke Sejumlah Komoditas Ekspor
Sementara itu, Founding Partner Bundjamin & Partners Erry Bundjamin berpendapat, meskipun tidak ada CBAM, produk-produk RI, termasuk besi baja, susah masuk ke UE. Selain dikenai tarif yang cukup tinggi, sejumlah produk RI juga pernah terkena tindakan pengaman perdagangan (safeguard) sehingga dikenai bea masuk antidumping.
Selain itu, selama ini, UE juga telah memiliki negara-negara pemasok besi-baja sendiri yang bakal dikecualikan dari aturan CBAM itu. Hal ini menunjukkan ketidakadilan perdagangan yang bisa dipersoalkan ke WTO, sama halnya dengan minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan produk turunannya yang dikeluarkan UE dari daftar energi terbarukan.
Menurut Erry, RI bisa saja mengenakan pajak karbon terhadap UE. Namun, yang paling penting adalah membangun keadilan perdagangan. RI dan negara lain mempunyai program dan standardisasi sendiri-sendiri mengurangi emisi karbon berdasarkan Perjanjian Paris.
”Komitmen dan standardisasi UE memang lebih tinggi. Namun, UE jangan menerapkan kebijakan itu tanpa melihat standardisasi negara-negara lain,” tuturnya.
Komitmen dan standardisasi UE memang lebih tinggi. Namun, UE jangan menerapkan kebijakan itu tanpa melihat standardisasi negara-negara lain.
Baca juga: Berkah ”Supercycle” dan Investasi
Persiapan industri
Dalam kesempatan yang sama, Director of Corporate Affairs PT Gunung Raja Paksi (GRP) Tbk Fedaus menuturkan, penerapan CBAM dan kebijakan-kebijakan negara lain untuk mengurangi emisi karbon merupakan peluang sekaligus tantangan. Hal itu menjadi tantangan lantaran perusahaan harus memenuhi berbagai standardisasi setiap negara yang menerapakan kebijakan pengurangan emisi karbon.
Sebaliknya, peluang setiap perusahaan yang telah menerapkan pengurangan emisi karbon juga besar. Harga produk-produknya pasti tidak murah atau memiliki harga premium.
Meski belum masuk pasar UE, lanjut Fedaus, PT GRP telah menerapkan inisiatif hijau dengan membeli kredit karbon di bursa Singapura dan mengantongi sertifikat Deklarasi Produk Lungkungan (Environmental Product Declaration/EPD). Dengan memiliki sertifikat EPD, PT GRP dapat menyuplai produk besi baja untuk proyek-proyek pembangunan infrastruktur dan gedung hijau ke sejumlah negara. Misalnya, ke Amerika Serikat, Kanada, dan Selandia Baru.
”Kami juga telah menerapkan teknologi ramah lingkungan yang mampu menghemat penggunaan energi sebesar 40 persen dan memasang pembangkit listrik tenaga surya,” ujarnya.
PT GRP merupakan perusahaan besi baja terbesar kedua di Indonesia setelah Krakatau Steel. Rata-rata produksi besi baja per tahun mencapai 2,2 juta ton. Dari total produksi itu, sebanyak 90 persen untuk memenuhi kebutuhan domestik dan 10 persen diekspor. Produk besi baja PT GRP telah menembus pasar ekspor 46 negara.
Baca juga: Pemerintah Diminta Kendalikan Impor Besi dan Baja