Hilirisasi dan Pengembangan Industri
Keinginan meningkatkan nilai tambah dan membuka lapangan kerja bisa dimengerti. Namun, pelarangan ekspor cenderung menyebabkan distorsi tinggi dalam perekonomian dan menumbuhkan praktik perburuan rente.
Beberapa tahun setelah pembatasan ekspor produk mentah diberlakukan, produksi industri hilir mulai memperlihatkan kinerja yang menjanjikan.
Produsen produk hilir bertambah dari 21 menjadi 101 perusahaan dalam waktu enam tahun. Nilai ekspor meningkat pesat dengan pertumbuhan hampir 50 persen per tahun. Sepuluh tahun setelahnya, kita menguasai hampir 80 persen pasar produk hilir.
Cerita ”sukses” ini bukanlah kisah tentang program hilirisasi nikel yang dijalankan saat ini. Ini adalah program hilirisasi di sektor kehutanan yang dimulai akhir 1970-an dengan tujuan membangun industri hilir produk perkayuan dan meningkatkan nilai tambah sektor kehutanan dari hanya sekadar ekspor kayu gelondongan (log).
Terlepas dari kinerja gemilang ekspor dan produksi industri perkayuan, ternyata program itu diperkirakan tak meningkatkan nilai tambah dan membuka lapangan pekerjaan.
Fitzgerald (1986) menghitung pemerintah kehilangan pendapatan 725 juta dollar AS setiap tahun, ditambah kerugian ekonomi sekitar 200 juta dollar AS, akibat rendahnya harga log dalam negeri dibandingkan harga internasional.
Baca juga: Presiden Jokowi: Konsistensi Hilirisasi Kunci Memajukan Indonesia
Aswicahyono (2004) juga memperlihatkan produktivitas sektor kehutanan terus menurun di periode berikutnya karena restriksi ekspor log menyebabkan harga bahan baku ditahan tetap rendah secara artifisial. Program ini juga memberikan tekanan cukup tinggi pada stabilitas makroekonomi sebagai akibat dari utang yang diambil dalam membangun kapasitas industri. Ini belum memperhitungkan biaya degradasi lingkungan yang terus terasa hingga waktu lama serta tumbuhnya praktik perburuan rente dalam industri tersebut.
Konsep dan tujuan hilirisasi
Belajar dari berbagai kebijakan sebelumnya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam program hilirisasi yang kini digencarkan pemerintah.
Pertama, perlu konsep yang jelas mengenai tujuan dari hilirisasi, yaitu peningkatan nilai tambah. Nilai tambah bukan semata nilai ekspor atau nilai penjualan produk hilir. Nilai tambah adalah selisih dari nilai produksi dengan nilai material ataupun biaya untuk memproduksinya.
Memang, di kasus hilirisasi nikel, larangan ekspor bijih nikel berhasil menarik investasi besar untuk pengolahan lebih lanjut. Hasilnya, ekspor produk semi-processed seperti ferro-nickel meningkat pesat dari sekitar 1,4 miliar dollar AS (2018) menjadi 13 miliar dollar AS (2022).
Namun, peningkatan nilai tambah masih harus diestimasi dengan baik mengingat ekspor bijih nikel mengalami kemerosotan tajam. Diperkirakan dari hilangnya ekspor bijih nikel, Indonesia juga kehilangan nilai ekspor 5 miliar–7 miliar dollar AS. Apalagi akibat larangan ekspor, harga bijih nikel di pasar domestik berkisar 50-60 persen di bawah harga internasional.
Belajar dari kasus restriksi ekspor kakao tahun 2011, Indonesia kesulitan dalam akses ke bahan baku coklat lain, seperti gula, susu, dan kacang-kacangan. Impor bahan baku besi juga meningkat untuk keperluan proses pengolahan ferro-nickel.
Biaya pembangunan fasilitas dan infrastruktur pendukung tentu juga perlu diperhitungkan, seperti pembangkit listrik yang khusus dibangun untuk keperluan pengolahan. Sementara dampak positif untuk tenaga kerja pun diragukan mengingat pengolahan pertambangan adalah sektor padat modal.
Kedua, larangan ekspor nikel berhasil meningkatkan produksi karena keberhasilan mengundang investasi. Tingginya minat bisnis dari China untuk pembangunan infrastruktur dan konstruksi mendorong investasi pengolahan di Indonesia.
Rencana pemerintah melarang ekspor 21 komoditas mentah lain kemungkinan besar tak dapat mengundang investasi mengingat lemahnya permintaan global dan posisi Indonesia yang bukan produsen utama berbagai komoditas mentah itu.
Pemaksaan larangan ekspor hanya akan memberikan disinsentif bagi produsen hulu dan mengurangi produksi mereka. Pelarangan ekspor rotan di 2013 tak hanya menurunkan harga rotan mentah, tetapi juga kelangkaan untuk industri hilir. Ekspor rotan mentah turun, sementara ekspor produk olahan juga mengalami penurunan. Pelarangan ekspor hanya berujung pada turunnya industri itu.
Pemaksaan larangan ekspor hanya akan memberikan disinsentif bagi produsen hulu dan mengurangi produksi mereka.
Ketiga, pelarangan ekspor akan membuat produsen global mencari alternatif, terutama jika Indonesia produsen utama komoditas mentah itu dan memicu peningkatan harga global. Restriksi ekspor kayu mentah mendorong pengembangan particle board sebagai substitusi. Sejak awal 1990-an, ekspor produk kayu, terutama plywood, terus menurun. Sementara larangan ekspor rotan semakin meningkatkan produksi synthetic rattan, yang lebih murah dan efisien.
Larangan ekspor nikel menyebabkan harga nikel dunia naik pesat, padahal nikel bahan baku penting produksi baterai.
Akibatnya, produsen dunia mulai mengembangkan jenis baterai lain dengan komponen selain nikel, seperti besi ataupun sulfur yang lebih murah. Ini bisa menyebabkan keinginan Indonesia menjadi hub utama produksi baterai jadi sulit.
Keempat, model bisnis internasional yang berkembang 40 tahun terakhir adalah pengembangan rantai pasok global. Suatu bisnis tak perlu mengembangkan seluruh rantai produksi dari suatu barang, tetapi bisa mendapatkannya dari berbagai tempat. Hanya karena suatu negara memproduksi bahan baku, bukan berarti ia bisa mendapatkan keuntungan dari mengolah produk hilirnya.
Sebaliknya, bisnis dari suatu negara dapat menjadi kompetitif untuk memproduksi barang final tanpa harus memproduksi bahan bakunya. Meski tak memproduksi kakao, banyak negara Eropa jadi produsen besar produk coklat. Indonesia juga eksportir keempat terbesar untuk mi instan dengan pangsa 8 persen meski tak memproduksi gandum. Konsep bahwa produsen bahan baku otomatis mempunyai keuntungan untuk menjadi produsen produk final adalah konsep usang yang diragukan keberhasilannya.
Distorsi
Keinginan meningkatkan nilai tambah dan membuka lapangan kerja bisa dimengerti. Namun, pelarangan ekspor cenderung menyebabkan distorsi tinggi dalam perekonomian serta menumbuhkan praktik perburuan rente akibat tak berjalannya mekanisme pasar dan kurangnya transparansi, monitoring, dan evaluasi.
Ada banyak kebijakan alternatif dalam pengembangan industri yang bisa dijalankan. Perbaikan iklim bisnis dan investasi secara konsisten harus dipenuhi dalam rangka mengundang investasi. Pemberian dukungan teknikal ataupun finansial dengan skema terukur juga bisa jadi pilihan kebijakan.
Yose Rizal Damuri,Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS)