Mahkamah Konstitusi memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK adalah tafsiran yang salah. Yang benar, MK mengubah norma masa jabatan pimpinan KPK dari empat tahun menjadi lima tahun mulai periode 2023-2028.
Oleh
MOHAMMAD SALEH
·3 menit baca
Banyak pejabat negara dan masyarakat salah memahami Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022. Kesalahan pemahaman tersebut berawal dari kesalahan penafsiran atas putusan MK yang menganggap bahwa MK memperpanjang masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Putusan MK tersebut tidaklah memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK, tetapi mengubah norma masa jabatan pimpinan KPK yang diatur dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam amar putusan MK dinyatakan, masa jabatan pimpinan KPK selama empat tahun adalah inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitusional). Oleh karena itu, MK mengubah norma masa jabatan pimpinan KPK dalam Pasal 34, dari empat tahun menjadi lima tahun.
Jika putusan MK ditafsirkan memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK, berarti MK melakukan pengujian perkara konkret (concrete review) padahal MK berwenang menguji norma undang-undang terhadap UUD NRI 1945 (abstract review).
Karena MK tidak menguji perkara konkret, maka putusan MK tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan masa jabatan pimpinan KPK saat ini. Hal ini secara jelas ditegaskan dalam pertimbangan putusan MK paragraf 3.17.2 halaman 117, yang pada pokoknya menyatakan bahwa ”tanpa bermaksud menilai kasus konkret terkait akan berakhirnya masa jabatan pimpinan KPK saat ini, maka penting bagi Mahkamah untuk segera memutus perkara a quo”.
Pertimbangan MK tersebut bukan dimaksudkan untuk memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK saat ini, tetapi untuk memastikan masa jabatan pimpinan KPK yang baru nanti mendasarkan pada Putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022, yaitu lima tahun untuk periode 2023-2028. Sementara untuk masa jabatan pimpinan KPK saat ini tetap tunduk kepada Pasal 34 UU KPK sebelum diputuskan oleh MK, yaitu selama empat tahun untuk periode 2019-2023.
Sikap Presiden Joko Widodo yang disampaikan melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD terhadap putusan MK adalah menambah satu tahun masa jabatan pimpinan KPK saat ini karena putusan MK bersifat final and binding. Sikap Presiden ini sama dengan penjelasan yang pernah disampaikan oleh juru bicara MK bahwa putusan MK berlaku untuk pimpinan KPK periode 2019-2023.
Sikap presiden dan juru bicara MK ini sama-sama menafsirkan bahwa Putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022 adalah memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK. Padahal, ini tafsiran yang salah.
Akibat hukum
Perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK saat ini dari empat tahun menjadi lima tahun akan menimbulkan banyak akibat hukum. Pertama, terkait dengan keabsahan keputusan presiden mengenai perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK yang akan berakhir pada 20 Desember 2023 menjadi berakhir pada 20 Desember 2024. Kedua, terkait dengan keabsahan segala tindakan hukum KPK, khususnya yang berkaitan dengan penegakan hukum tindak pidana korupsi.
Secara hukum, keputusan presiden mengenai perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK adalah tidak sah karena sudah melewati batas waktu masa jabatan pimpinan KPK selama empat tahun sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 34 UU KPK. Penggunaan wewenang presiden berdasarkan batasan waktu dalam hukum administrasi disebut onbevoegdheid ratione temporis (tidak berwenang karena alasan waktu).
Perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK saat ini dari empat tahun menjadi lima tahun akan menimbulkan banyak akibat hukum.
Namun, jika presiden tetap menerbitkan keputusan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK saat ini menjadi lima tahun, keputusan presiden tersebut dapat dijadikan obyek sengketa tata usaha negara bagi pihak yang merasa dirugikan dengan terbitkan keputusan presiden tersebut sesuai dengan UU Pengadilan Tata Usaha Negara dan UU Administrasi Pemerintahan.
Untuk keabsahan segala tindakan hukum KPK, secara hukum tetap dianggap sah sepanjang keputusan presiden yang melandasi perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK saat ini dan/atau tindakan hukum KPK, tidak dibatalkan oleh pengadilan yang berwenang sesuai dengan asas vermoeden van rechtmatigheid (setiap keputusan atau tindakan pemerintah dianggap sah menurut hukum).
Namun, jika keputusan presiden dan/atau tindakan hukum KPK dibatalkan berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewjisde), segala tindakan pimpinan KPK yang telah dilakukan menjadi batal demi hukum (nietig van rechtswege) dan dianggap tidak pernah ada (ex tunc). Hal ini tentu akan menimbulkan ketidakpastian dan kekacauan hukum terhadap segala tindakan penegakan hukum tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh KPK ke depan.
Sikap MK seharusnya
Wewenang MK dalam menguji UU terhadap UUD NRI 1945 adalah selesai sejak putusan MK dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum. Oleh karena itu, hakim MK, apalagi juru bicara MK, tidak diperbolehkan menafsirkan atau menjelaskan substansi putusan MK karena putusan MK harus dianggap benar dan harus dimaknai apa adanya, yang dalam ilmu hukum dikenal dengan asas res judicata pro veritate habetur. Jika hakim MK, apalagi juru bicara MK, menafsirkan atau menjelaskan substansi putusan MK, penafsiran atau penjelasan tersebut tidak memiliki akibat hukum dan kekuatan hukum apa pun.
Jika penegak hukum atau masyarakat berbeda sikap atau pendapat hukum atas keputusan presiden mengenai perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK atau terhadap segala tindakan hukum KPK, mekanisme hukum yang dapat dilakukan adalah melalui PTUN, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), atau pengadilan umum sesuai dengan obyek yang diperkarakan (objectum litis) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Jika presiden menerbitkan keputusan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK saat ini, akan menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap status pimpinan KPK saat ini dan terhadap segala tindakan hukum KPK, terutama terkait dengan penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia. Karena Presiden dan KPK akan banyak mendapatkan perlawanan secara hukum oleh pihak yang merasa dirugikan untuk menggugat keputusan presiden dan segala tindakan hukum KPK. Padahal, Putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022 disegerakan diputus oleh MK dengan maksud untuk memberikan kepastian hukum terhadap status pimpinan KPK terkait masa jabatan dan segala tindakan hukumnya.
Dalam rangka menjamin kepastian hukum terhadap status pimpinan KPK dan menghindari terjadinya banyak persoalan dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia, maka sebaiknya presiden tidak memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK saat ini, tetapi menyegerakan untuk melakukan proses seleksi pimpinan KPK periode 2023-2028 sesuai dengan UU KPK mengingat masa jabatan pimpinan KPK saat ini akan berakhir pada 20 Desember 2023.