Ketertinggalan Pendidikan, Adakah Solusi?
Dari ukuran apa pun, kita jauh tertinggal di bidang pendidikan yang menjadi syarat mutlak dapat bersaing dan menjadi negara maju 22 tahun lagi. Defisit pendidikan ini yang harus diprioritasan para elite bangsa.
Harian Kompas akhir-akhir ini terus memberitakan kondisi serta masalah pendidikan negara dan bangsa Indonesia. Kita perlu apresiasi pandangan, usul, dan harapan dari para pemerhati pendidikan. Kita sadar tujuan berbangsa antara lain mencerdaskan rakyat untuk mencapai kemakmuran yang berkeadilan. Kita juga sadar bahwa kemajuan bangsa-bangsa di dunia ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya.
Sudah saatnya para elite bangsa, khususnya pemimpin politik dan pemerintahan, memprioritaskan masalah pendidikan ini. Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Anwar Ibrahim, segera setelah membentuk kabinetnya, langsung memanggil menteri pendidikannya. Beliau sangat khawatir mengamati kecenderungan anak-anak muda di Malaysia yang mengabaikan kebutuhan membaca buku-buku ilmu pengetahuan secara mendalam sehingga tidak memiliki kedalaman ilmu dan keluasan pengetahuan.
Di Indonesia, ternyata rapor pendidikan SD hingga SMA pada 2022 juga menunjukkan kemampuan literasi dan numerasi anak-anak berada di bawah kompetensi minimal (Kompas, 2 Mei 2023).
Baca juga: Siswa Indonesia Belum Kuasai Kompetensi Minimum Literasi dan Numerasi
Menuju negara maju 2045
Kepedulian kita dalam mencerdaskan bangsa melalui pendidikan tidak terlepas dari visi atau cita-cita bangsa Indonesia menjadi negara maju dengan kekuatan ekonomi nomor empat di dunia. Namun, perlu disadari bahwa kemajuan bangsa-bangsa di dunia dalam perspektif konteks globalisasi, penentu utamanya adalah kapasitas sumber daya manusianya.
Seperti dikatakan Jeffrey Preffer dalam Competitive Advantage Through People: Unleashing The Power of The Work Force (1996) bahwa kekuatan keunggulan sumber daya manusialah yang membuat organisasi satu bangsa menjadi maju dan kompetitif. Dengan demikian, competitiveness harus dilihat dari posisi relatif kita terhadap bangsa-bangsa lain.
Itulah sebabnya baru-baru ini Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong menegaskan kepada masyarakatnya bahwa negara selain harus memiliki world class talent juga harus terus menarik top talent dari luar Singapura. Kebutuhan mendatangkan top talent sama pentingnya dengan mendatangkan investasi asing. Jerman, bahkan, memberikan visa kepada talenta-talenta top dunia untuk masuk ke Jerman sebelum mendapatkan pekerjaan. Inggris juga, bahkan, mencari talenta-talenta top dari 10 universitas terbaik di dunia.
Dari sini kita dapat melihat bahwa negara-negara maju, yang sistem dan kualitas pendidikannya berada pada ranking atas pun, terus berupaya mendapatkan talenta-talenta terbaik untuk berkontribusi di negara mereka. Inilah sesungguhnya karakteristik yang mewarnai kebutuhan untuk terus maju dan kompetitif.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia?
Rahmat Hidayat, dalam Kebangkitan Pengetahuan (Kompas, 8 Mei 2023), menyatakan dalam inovasi pengetahuan, Indonesia berada di peringkat 81 dari 132 negara. Posisi Indonesia sangat menyedihkan karena jauh tertinggal dibandingkan negara-negara di Asia Tenggara, hanya mengungguli Kamboja dan Myanmar, serta dianggap sejajar dengan negara-negara di Afrika seperti Nambia, Guyana, Kenya, dan Rwanda. Bahkan indikator pendidikan pra universitas berada pada posisi ke-92.
Tidak kurang menyedihkan fakta bahwa 43 persen tenaga kerja Indonesia hanya tamatan SMP ke bawah. Hal ini sejalan dengan data tentang Rata-rata Lama Belajar (RLB) hanya 9,08 tahun pada 2022 berbanding 7,3 tahun pada 2005, berarti hanya naik 1,78 tahun dalam waktu 17 tahun. Sementara itu, jumlah lulusan S1 hanya 4,39 persen dengan kualitas yang juga dapat dipertanyakan.
Jadi dari ukuran apa pun, kita jauh tertinggal di bidang pendidikan yang menjadi syarat mutlak untuk dapat bersaing dan menjadi negara maju 22 tahun lagi, di era persaingan global.
Gita Wirjawan (2013) mengemukakan bagaimana negara-negara di Asia seperti Korea Selatan yang mengirim 700 mahasiswa ke Harvard berbanding lima orang dari Indonesia. Jumlah mahasiswa China yang kuliah di Amerika sebanyak 120.000 orang dan India 110.000 orang, berbanding 7.500 mahasiswa Indonesia. Sementara itu, dosen/periset yang bergelar doktor di Indonesia kurang dari 45.000 orang, berbanding dengan China dan India yang masing-masing sudah satu juta orang.
Jadi dari ukuran apa pun, kita jauh tertinggal di bidang pendidikan yang menjadi syarat mutlak untuk dapat bersaing dan menjadi negara maju 22 tahun lagi, di era persaingan global. Belum lagi kompleksitas pendidikan yang bersumber dari kesenjangan ekonomi antar golongan dan daerah. Ketidakmampuan secara ekonomi disebabkan oleh defisit pendidikan yang melahirkan defisit pendapatan. Inilah lingkaran setan (vicious circle) yang harus diatasi oleh para politisi dan elite bangsa yang saat ini lebih fokus kepada persaingan di bidang politik.
Pendekatan manajemen
Masalah pendidikan di Indonesia yang sudah demikian berlarut-larut lama menjadi rumit, ibarat benang kusut yang membutuhkan cara khusus untuk mengurai dan membenahinya. Di sinilah peranan manajemen sangat penting.
Ada dua hal yang perlu disepakati. Pertama, kepentingan pendidikan bukanlah urusan atau kepentingan golongan ataupun kelompok masyarakat tertentu. Pendidikan adalah masalah bangsa, dan kepentingan bangsa bukan hanya tanggung jawab Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi saja.
Kedua, pengembangan sumber daya manusia (SDM) melalui pendidikan bukanlah hanya rancangan lima tahunan yang kebijakan dan manajemennya berganti seiring dengan pergantian kabinet lima tahunan. Pendidikan adalah masalah nasional yang membutuhkan visi, strategi, sistem, struktur organisasi yang efisien dan kepemimpinan yang efektif.
Baca juga: Mundur, Kebijakan Pendidikan Nasional
Dalam konteks ini, sebagaimana kita mengawali tulisan ini adalah bahwa visi pendidikan seyogianya sejalan dengan visi pengembangan pembangunan jangka panjang yang sedang diformulasikan pemerintah agar Indonesia menjadi negara maju 22 tahun yang akan datang. Dengan demikian, yang dibutuhkan ialah sebuah peta jalan (roadmap) menuju pembangunan SDM yang kompetitif mulai dari sekarang hingga perjalanan menuju tahun 2045. Kalau kita berasumsi bahwa peta jalan pendidikan jangka panjang (25 tahunan) telah terpetakan, masih dibutuhkan lagi strategi sebagai pilihan-pilihan yang tepat untuk ditempuh dan dilaksanakan menuju tahun emas dan seterusnya.
Kita perlu memberikan apresiasi kepada Mendikbudristek Nadiem Makarim yang dengan sangat inovatif telah mengambil strategi-strategi yang kreatif. Program Merdeka Belajar yang memberikan dorongan untuk memanfaatkan teknologi digital dalam pembelajaran dan pendidikan merupakan terobosan baru di bidang pendidikan. Kalaupun demikian tentu eksekusi atau penerapan dari strategi-strategfi inovatif ini membutuhkan organisasi dan SDM yang sesuai dengan kebutuhan pada seluruh jajaran pemangku kepentingan di bidang pendidikan.
Restrukturisasi
Transformasi manajemen pendidikan membutuhkan restrukturisasi dan reformasi menuju efisisensi dan efektifitas manajemen pendidikan nasional. Sebagaimana Rapor Merah Pengelolaan Guru (Hafid Abbas, Kompas, 11 Desember 2020), 86 persen APBN dan APBD untuk pendidikan habis untuk mengaji guru dan tenaga pendidikan. Sementara itu, para guru yang telah memperoleh tunjangan sertifikasi dan yang belum, menunjukkan prestasi relatif sama. Demikian juga hasil sertifikasi guru yang melibatkan 240 SD dan 120 SMP di seluruh Indonesia, dengan total 3.951 siswa, tidak berpengaruh terhadap hasil belajar siswP.
Dengan demikian, pengelolaan manajemen pendidikan sangat tidak efisien dan tidak efektif, diukur dari resource allocation dan hasil yang dicapai. Oleh karena itu, dalam restrukturisasi manajemen pendidikan di Indonesia (Kompas, Restrukturisasi Manajemen Pendidikan, 26 Desember 2020), saya mengusulkan agar dilakukan transformasi dan reformasi struktur organisasi Kemendikbudristek. Intinya, sasarannya agar manajemennya tidak birokratis, efisien, dan dapat secara efektif memamanajemeni sistem pendidikan di Indonesia.
Dalam struktur ini hanya ada dua bidang: regulator (thinker) yang diperankan oleh para direktur jenderal dan operator (Doer) yang diperankan oleh Badan Pengelola Lembaga Pendidikan (BPLP). Badan inilah yang memiliki deputi tenaga kependidikan atau guru. Intinya, pemisahan antara operator dan regulator di bawah administrator atau menteri sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.
Transformasi manajemen pendidikan membutuhkan restrukturisasi dan reformasi menuju efisisensi dan efektifitas manajemen pendidikan nasional.
Regulator terdiri dari para dirjen pendidikan dasar, menengah, dan tinggi yang memformulasikan regulasi sistem pendidikan nasional, formulasi strategi kebijaksanaan kurikulum standardisasi, dan hal-hal strategis yang membutuhkan pemikiran dan keahlian di bidang pendidikan. Operator merupakan Badan Lembaga Pengurus BPLB yang tugasnya mengoperasikan dan memanajemeni seluruh lembaga pendidikan dan peralatan khususnya guru dan tenaga kependidikan.
Tentu masih perlu dijabarkan aspek sentralisasi dan desentralisasi yang tujuannya selain mengurangi birokrasi juga terbebas dari pengaruh politisasi. Di bawah BPLP ini terdapat deputi-deputi antara lain terpenting adalah deputi tenaga kependidikan atau guru yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab di bidang rekrutmen, penempatan, pengembangan, renumerasi, dan motivasi para guru. Aspek sentralisasi dan desentralisasi BPLP ini perlu dijabarkan, selain agar tidak birokratis juga terbebas dari pengaruh politisasi.
Kemelut guru yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan perlu mendapatkan fokus perhatian sebagaimana digambarkan oleh Sumardiansyah Perdana Kusuma dalam Menyoal ”Marketplace” Guru (Kompas, 5 Juni 2023). Pilihan marketplace sebagai database versus Data Pokok Pendidikan (Dapodik), misalnya, menarik untuk dikaji bersama karena tidak ada satu sistem yang sempurna.
Manajemen sekolah dasar
Pendidikan dasar ini teramat penting untuk membangun pribadi pelajar anak didik yang tidak saja menguasai literasi dan numerasi, tetapi juga watak dan karakter kebangsaan Indonesia. Pendekatannya adalah semua sekolah dasar (SD) yang jumlahnya sekitar 148.000 dikelola oleh kepala sekolah yang memiliki kemampuan manajemen. Para kepala SD ini haruslah mengelola sumber-sumber daya, seperti bangunan, peralatan, dan yang terpenting adalah guru bahkan para pelajar.
Para kepala sekolah haruslah mampu mendidik, mengarahkan, dan memotivasi para guru agar dapat memberikan pembelajaran kepada murid yang perlu dibina oleh para guru. Jika para kepala sekolah ini berlatar belakangkan guru, dibutuhkan pelatihan dasar manajemen agar unit sekolahnya efektif dan efisien mengahasilkan hasil ajar yang bermutu.
Baca juga: Mutu Pendidikan Dasar Masih Tertinggal
Sama halnya dengan para pelatih olahraga seperti sepak bola di negara maju. Tidak ber-title pelatih tetapi ber-title manajer karena tanggung jawabnya untuk mengelola sumber daya khususnya untuk pemain sendiri. Karena banyaknya sekolah dasar, misalnya, dapat juga dipertimbangkan untuk merekrut tenaga-tenaga nonguru dengan tentu harus mendapatkan pembelajaran dalam aspek pendidikan.
Menemukan ratusan ribu manajer atau kepala sekolah yang memiliki kompetensi manajemen sekaligus passion tentu tidak mudah. Akan tetapi, membangun SDM masa depan perlu diawali pada pendidikan dasar. Kalau berhasil, konsep yang sama dapat dikembangkan pada tingkat SMP, SMA, bahkan di tingkat perguruan tinggi.
Tanri Abeng, Pendiri Universitas Tanri Abeng; Mantan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN