Siswa Indonesia Belum Kuasai Kompetensi Minimum Literasi dan Numerasi
Pendidikan berkualitas masih menjadi pekerjaan rumah Indonesia. Saat ini, masih banyak anak Indonesia yang belum menguasai kompetensi minimum literasi dan numerasi.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kompetensi dasar literasi dan numerasi siswa Indonesia di jenjang pendidikan dasar dan menengah belum mencapai standar minimal. Hal ini terungkap dari hasil Asesmen Nasional pertama tahun 2021 yang digunakan sebagai basis data awal untuk memotret mutu pendidikan dari tingkat sekolah, daerah, dan nasional. Hasil Asesmen Nasional ini akan menjadi rapor pendidikan untuk memastikan perbaikan pendidikan difokuskan pada peningkatan kualitass belajar dan memperkecil kesenjangan.
”Hasil Asesmen Nasional akan diumumkan Jumat nanti oleh Mendikbudristek dan akan ditampilkan melalui platform rapor pendidikan. Potret pendidikan sayangnya masih banyak anak yang belum mencapai komptensi minimum. Kita harus jujur, hasilnya masih menyedihkan dan masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk meningkatan kualitas pendidikan,” kata Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Anindito Aditomo di Jakarta, Rabu (30/3/2022).
Menurut Anindito, Asesmen Nasional berfungsi sebagai evaluasi sistem pendidikan di sekolah dan daerah. Namun, masih ada anggapan keliru bahwa Asesmen Nasional merupakan tes atau evalausi menggantikan ujian nasional. ”Evaluasi sistem sekolah lewat Asesmen Nasional ini merupakan bagian dari perubahan yang paradigmatik untuk mengevaluasi kinerja sekolah dan pemda di bidang pendidikan. Ini dalam konteks keseluruhan strategi Merdeka Belajar sesuai cita-cita. Kita ingin mengubah proses pembelajaran yang memastikan siswa mendapat pengalaman belajar berkualitas, menumbuhkembangkan kompetensi dasar dan karakter,” papar Anindito.
Bagi Anindito, tragis jika anak-anak berada lama di sekolah tapi sesungguhnya tidak belajar atau menguasai kompetensi dasar yang dibutuhkan untuk sukses dalam pendidikan dan kehdiupan. “Ini sebuah tragedi kalau dibiarkan terus-menerus. Akses pada pengalaman belajar berkualitas harus bisa dirasakan semua anak Indonesia dari latar belakang apapun, terutama dari kelompok marjinal,” jelasnya.
Rapor pendidikan
Peningkatan kualitas pendidikan menjadi hal mendasar yang harus dikerjakan secara serius dan berkesinambungan. Karena itu, hasil Asesmen Nasional menjadi salah satu data penjaminan mutu setiap tahun yang bisa dipakai sekolah, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat untuk melakukan intervensi yang tepat agar standar nasional pendidikan tercapai.
Penjaminan mutu yang sebelumnya ada tercerai-berai. Kemdikbudristek memiliki penjaminan mutu dari Badan Penelitian dan Pengembangan lewat ujian ansional, di pendidikan anak usia dini, dasar, dan mengenah ada peta mutu pendidikan, Badan Akreditasi Nasional juga melakukan akreditasi sekolah. Semua mekanisme ini ingin memastikan tercapainya standar nasional pendidikan. Akan tetapi, masing-masing mengukur secara berbeda tanpa koordinasi sehingga instrumen, cara, dan sampelnya pun berbeda. Akibatnya, hasilnya bertentangan sehingga membingungkan para pelaku pendidikan, indikator mana yang diikuti dalam melakukan perencanaan peningkatan kualitas.
Selain itu, penjaminan mutu yang terjadi juga lebih berorentasi admisnistratif dengan mengikuti dokumen pembelajaran yang sesuai format di pusat. Hal ini tidak bisa mencerminkan kualitas belajar.
“Penjaminan mutu sekarang didasarkan pada rapor pendidikan sekolah dan daerah. Di sini bukan hanya menginformasikan kinerja kualitas belajar di sekolah dan kualitas pendidikan daerah, tapi juga bagaimana data-data itu dimanfaatkan untuk perencanaan dan penganggaran pada kualitas pendidikan sehingga kesenjangan semakin kecil,” kata Anindito.
Kebijakan pendidikan masih belum berfokus pada peningkatan kualitas pendidikan. Kesadaran atas dampak jangka panjang pendidikan terhadap anak masih rendah
Indikator dalam rapor pendidikan yang memuat hasil Asesmen Nasional serta berbagai data pendidikan lainnya ini dipakai Kementerian Dalam Negeri untuk memastikan daerah memenuhi standar pelayanan minimum di bidang pendidikan. “Jadi, kita bisa mengubah orientasi perbaikan pendidikan pada kualitas. Indikatornya harus memastikan tiap tahun jumlah siswa yang menguasai kompetensi dasar literasi dan numerasi, dan karakter meningkat serta meningkatkan kualitas guru dan tenaga kependidikan, juga berbagai indikator pendidikan lain yang mendukung kualitas pendidikan,” papar Anindito.
Rapor pendidikan yang akan dikeluarkan tiap tahun ini bisa diakses sekolah, daerah, dan publik. Tidak ada pemeringkatan dalam rapor ini. Informasi di dalamnya lebih bersifat kualitatif yang mendorong semua pihak bisa berefleksi dan bertindak untuk memastikan kualitas pendidikan jadi prioritas.
Secara terpisah, Peneliti SMERU Luhur Bima di webinar bertajuk "Bersekolah Apakah Belajar?" yang digelar Perhimpunan Homeschooler Indonesia beberapa waktu lalu mengatakan, terjadi tren buruk dalam capaian pendidikan nasional. Dari riset, hasil belajar anak Indonesia tahun 2014 lebih rendah dari tahun 2000. Dengan menggunakan data Indonesia Family Life Survey (IFLS) sampai tahun 2014, masih banyak anak sekolah yang tidak mampu menjawab soal berhitung yang seharusnya sudah mereka kuasai di jenjang kelas yang lebih rendah. Salah satunya, ada dampak Ujian Nasional juga yang mendorong murid untuk belajar hanya demi kelulusan dan tidak untuk mengasah pengetahuan dan kemampuan belajar kritis.
“Sudah saatnya pemerintah pusat dan daerah secara serius memikirkan kebijakan yang benar-benar berorientasi pada peningkatan kualitas belajar anak di sekolah. Proses pembelajaran yang baik harus dipastikan untuk semua anak, yakni untuk memahami konsep hingga tuntas tanpa harus berlomba-lomba,” kata Luhur.
Padahal, anggaran pendidikan nasional semakin besar, minimal 20 persen APBN dan di daerah minimal 20 persen APBD. Namun, kebijakan pendidikan di Indonesia masih terpaku pada hal yang sama, yakni untuk pembangunan fisik dan infrastruktur sekolah yang lebih terlihat kasat mata atau peningkatan kesehjateraan guru lewat sertifikasi.
“Kebijakan pendidikan masih belum berfokus pada peningkatan kualitas pendidikan. Kesadaran atas dampak jangka panjang pendidikan terhadap anak masih rendah,” ujar Luhur.
Pegiat Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Matematika (Gernas Tastaka) dan Gernas Pemberantasan Buta Membaca (Gernas Tastaba) Dhitta Puti Sarasvati memaparkan pengalamannya mendampingi guru SD di berbagai daerah dalam mengajarkan matematika secara bermakna. Para guru merasa kesulitan dalam mengajarkan literasi dan numerasi sesuai tahap perkembangan dan kebutuhan belajar siswa. Para guru diajak kembali untuk mengajarkan konsep dasar matematika dan membaca yang mengasah nalar berpikir dan kreativitas siswa.
”Dari pengalaman mendampingi guru di lapangan, masih ada guru SD yang juga bingung mengajarkan pecahan, misalnya. Bersama guru kami belajar untuk mengajarkan yang seharusnya kepada siswa dengan bantuan media belajar sederhana,” kata Dhitta.
Menurut Dhitta, banyak guru yang belum terlatih baik dalam mengajarkan literasi dan numerasi. “Saya tidak ingin menyalahkan guru. Sebab, untuk bisa menjadi guru perlu pedidikan guru yang berkualitas dan tidak berkembang dalam vakum. Proses pembelajaran untuk guru memang harus terus dilakukan,” kata Dhitta.