
Dalam artikel ”Rapor Merah Pengelolaan Guru” (Kompas, 11/12), Profesor Hafid Abbas mengungkapkan, 86 persen dana APBN dan APBD untuk pendidikan habis untuk gaji dan kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan.
Bahkan di 32 kabupaten/kota mencapai 90 persen. Jadi, bukan untuk peningkatan mutu pembelajaran. Program sertifikasi guru yang diselenggarakan Kemendikbud yang menghabiskan dana ratusan triliun rupiah ternyata juga tak memberi dampak pada peningkatan mutu pendidikan nasional sesuai kesimpulan Bank Dunia.
Juga disampaikan, jumlah guru pendidikan dasar dan menengah mencapai 4 juta yang melayani sekitar 50 juta siswa. Berarti rasio antara siswa dan guru 12 berbanding 1, sedangkan standar rasio internasional rata-rata 20 berbanding 1. Sementara itu, setiap tahun terdapat lulusan mahasiswa calon guru dari swasta sekitar 200.000 per tahun, sedangkan kebutuhan 80.000 per tahun.
Terlepas dari akurasi data ini ada yang tidak efisien dalam pengelolaan tenaga kependidikan, yaitu guru dan harus ada solusi untuk memperbaiki agar sistem pendidikan nasional bisa berjalan efektif.
Inti daripada restrukturisasi ini adalah menyederhanakan struktur organisasi Kemendikbud menjadi terfokus dan tidak birokratis.
Pada saat menjadi anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional 1993-1998, saya memimpin pembuatan memorandum Restrukturisasi Manajemen Sistem Pendidikan Nasional yang diterbitkan Desember 1995 dan oleh UNESCO diterbitkan Recomendation of Implementation, Januari 1997.
Inti daripada restrukturisasi ini adalah menyederhanakan struktur organisasi Kemendikbud menjadi terfokus dan tidak birokratis. Bentuk restrukturisasi ini dapat dibagi ke dalam tiga peranan utama: administrator, regulator, operator.
Administrator akan menjalankan peran selaku commander, yang akan memimpin jalannya kementerian dan pembagian tugas antara regulator dan operator. Peran administrator terdiri dari menteri, sekretaris jenderal, inspektorat jenderal, staf ahli dan lain-lain.

Regulator menjalankan peran sebagai thinker atau pemikir, yang akan mengatur perihal regulasi sistem pendidikan nasional, formulasi strategi dan kebijakan sistem pendidikan nasional, pengembangan kurikulum, standarisasi, serta hal-hal yang membutuhkan pertimbangan strategis. Di sinilah tempatnya para profesor, doktor, dan ilmuwan.
Operator menjalankan peran sebagai doer atau eksekutor hasil kebijakan, yang nantinya akan dibentuk dalam Badan Pengelola Lembaga Pendidikan (BPLP). Peran BPLP membangun dan mengembangkan lembaga pendidikan, penyediaan infrastruktur dan peralatan pendidikan, dan terpenting mengelola tenaga kependidikan atau guru, mulai dari rekrutmen, penempatan, pengembangan, renumerasi dan motivasi. Di sini tempat manajemen profesional yang menguasai pembangunan infrastruktur dan pengelolaan SDM.
Pembagian struktur menjadi administrator, regulator, dan operator juga telah menjadi rekomendasi yang dikeluarkan UNESCO pada Januari 1997.
Secara khusus kita mengangkat masalah manajemen tenaga kependidikan, yaitu para guru, yang merupakan tenaga kunci untuk melahirkan kualitas hasil didik (tentunya dengan mengikuti kebijakan dari regulator).
Bentuk restrukturisasi ini dapat dibagi ke dalam tiga peranan utama: administrator, regulator, operator.
Pola manajemen guru seyogianya tak jauh berbeda dengan manajemen SDM pada lembaga-lembaga korporasi besar dan institusi pemerintah, di mana harus ada sistem yang mengatur penyediaan atau rekrutmen tenaga guru, penempatan sesuai kebutuhan, pengembangan atau peningkatan kompetensi atau kapasitas, dan tentunya renumerasi yang adil.
Pemisahan manajemen sumber daya
Dengan jumlah tenaga guru empat juta orang, tanpa manajemen yang terfokus khusus untuk para guru maka sulit kita mendapatkan hasil atau kontribusi dari mereka. Mengingat kondisi pendidikan di Indonesia yang bervariasi atau tidak merata, perlu ada kebijakan untuk melakukan rotasi dari para guru sehingga yang terdata sebagai guru-guru berprestasi dapat ditempatkan di daerah-daerah yang membutuhkan pembenahan dan perbaikan yang sangat signifikan.
Di sini perlu ada kebijakan tentang insentif atau renumerasi yang fleksibel. Yang penting, para dirjen di setiap tingkat (tinggi, menengah, dan dasar) tak perlu lagi mengurusi masalah lembaga pendidikan dan secara khusus penanganan tenaga kependidikan atau para guru karena sudah berada dalam BPLP secara khusus. Badan ini tak harus dikomandani oleh para profesor atau doktor yang sangat dibutuhkan untuk mengelola kebijaksanaan dan pengembangan sistem pendidikan nasional.
Konsep restrukturisasi ini sangat sederhana untuk bisa dipahami dan tentunya harus dilakukan penjabaran secara mendetail. Namun, bila dapat diimplementasi akan melahirkan tak saja efisiensi pengelolaan tenaga kependidikan, tetapi juga efektivitas sistem manajemen pendidikan secara keseluruhan. Inilah sesungguhnya reformasi birokrasi.

Restrukturisasi manajemen sistem pendidikan nasional terasa urgensinya karena dengan inefisiensi dan tak efektifnya manajemen pendidikan saat ini, Indonesia akan tetap berjalan di tempat kalau tidak mundur. Sementara, peningkatan kapasitas SDM secara global terus berkembang sehingga Indonesia kian tertinggal dalam persaingan di segala bidang.
Restrukturisasi ini jelas melahirkan pemisahan dalam manajemen seluruh sumber daya khususnya proses penganggaran antara administrator dan regulator pada satu pihak, serta operator (BPLP) di pihak lain. Pemisahan anggaran untuk BPLP akan lebih jelas terfokus khusus untuk kebutuhan pendidikan secara langsung antara lain membiayai fasilitas pendidikan, tenaga pengajar, administrasi, pengawasan.
Penggajian para guru pun dapat disesuaikan dengan kebutuhan persaingan pasar tenaga profesional pendidikan. Dengan demikian, peningkatan alokasi anggaran dari pemerintah serta sumber pendanaan dari masyarakat dapat dikaitkan dengan kebutuhan pendidikan secara langsung.
Regulasi, kebijakan dan pengelolaan lembaga pendidikan yang ada di daerah, sebaiknya tetap dalam struktur kantor wilayah (kanwil) sebagai perpanjangan tangan dari mendikbud. Dengan demikian, kanwil terbebas dari pengaruh perpolitikan daerah. Restrukturisasi ini, bilamana diimplementasi, akan melahirkan efisiensi biaya dan efektivitas proses manajemen untuk mencapai sasaran peningkatan kualitas hasil pendidikan secara nasional.
(Tanri Abeng, Mantan Menteri Negara Pemberdayaan BUMN RI)