Mochtar adalah sosok yang selalu galau dengan kondisi negeri. Dia kerap gunakan istilah pengkhianatan di berbagai esainya di Kompas. Kegelisahan itu merupakan suara pinggiran di tengah maraknya demokrasi transaksional.
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·3 menit baca
SALOMO
Budiman Tanuredjo (BDM)
Menjelang subuh di Minggu pagi, 4 Juni 2023, pesan WhatsApp dari Yudi Latif membangunkan saya. Yudi menyampaikan kabar. Mochtar Pabottingi berpulang. Saya terhenyak dan berdoa. Requiem aeternam dona ei, Domine, et lux perpetua luceat ei. Requiescat in pace. Amen. Berikan perhentian abadi kepadanya, ya Tuhan, dan semoga cahaya abadi menyinari dia. Semoga ia beristirahat dalam damai. Amin.
Mochtar adalah sosok disegani. Intelektual jernih, asketis, tidak terbeli kekuasaan. Pernah menjadi penyair dan mendalami sastra, membuat Mochtar kaya dengan pilihan kata. Saya membaca kembali berita Kompas, 14 Januari 2004. "Kita harus lawan mereka (bablasan Orba) apa pun risikonya. Karena apa? Amanah yang paling luhur dari kemerdekaan dan Tanah Air terus-menerus mereka injak-injak. Tidak ada pikiran lain di benak mereka selain merampok bangsa dan negara. We have to fight all the way. Mereka hanya bisa mundur dengan dilawan," ujar peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Mochtar, di Jakarta.
Beberapa kali saya undang Mochtar sebagai narasumber di Satu Meja. Saya menempatkan Mochtar sebagai “muazin” kalangan akademis. Istilah “muazin” saya petik dari atribusi yang dilekatkan Alois Agus Nugroho untuk Buya Ahmad Syafii Maarif. “Muazin” diartikan sebagai sosok yang berteriak-teriak tentang kondisi bangsa karena ketidakadilan, korupsi, kehancuran lingkungan, kemiskinan dan ketamakan elite. Kepergian Mochtar adalah kepergian “muazin” bangsa. Kepergian cendekia asketis dan selalu mencoba menjaga jarak dengan kekuasaan. Posisi moral politik mereka dituntun rasionalitas dan keberpihakannya pada Republik.
Mochtar bukan hanya seorang guru besar ilmu politik yang kerap diundang sebagai narasumber, tapi ia menjadi penikmat dan kritikus “Satu Meja” serta kolom saya di Harian Kompas tiap Sabtu. Ia beberapa kali memberikan catatan. Pada Rabu, 18 Januari 2023, pukul 22.27, Mochtar mengirim pesan kepada saya. “Malam ini pasti salah satu puncak sajian Satu Meja.” Satu Meja, Rabu 18 Januari 2023, membahas njomplangnya tuntutan Rizhard Eliezer dan Putri Candrawathi. Richard, sang penguak fakta, dituntut 12 tahun penjara, Putri dituntut delapan tahun penjara.
Peneliti Utama Bidang Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Mochtar Pabottingi
Saya berbicara di tengah malam itu. Ia mengapresiasi konsistensi media memperjuangkan keadilan dalam kasus Ferdy Sambo. “Media jangan sampai terbeli. Jangan sampai berkhianat pada republik,” ucapnya malam itu.
Mochtar adalah sosok yang selalu galau dengan kondisi negeri. Dia kerap menggunakan istilah pengkhianatan dalam berbagai esainya di Kompas. Saya sempat menanyakan kepada Mochtar mengapa dia kerap menggunakan diksi pengkhianatan. Dan itu dijawab, “Memang betul itu yang saya rasakan. Saya merasakan dari waktu ke waktu kekecewaan itu. Makanya saya katakan, sudah 56 tahun kita salah jalan. Kita sudah salah jalan sejak demokrasi terpimpin. Kita mengkhianati demokrasi. Kita lebih salah lagi ketika Orde Baru mencampakkan demokrasi dan nation sekaligus. Dan sampai sekarang, kita lebih salah jalan lagi."
Mochtar adalah sosok yang selalu galau dengan kondisi negeri. Dia kerap menggunakan istilah pengkhianatan dalam berbagai esainya di Kompas.
Kegelisahan Mochtar bisa dibaca dalam artikel "Ke mana Kita Merdeka”, 18 Agustus 2021. “Setidaknya kita dapat menunjuk tiga penyebab meningkatnya kemerdekaan pengkhianatan yang berkelindan erat satu sama lain.” Pertama, mega-impunitas pada tahun peralihan Orde Baru ke rezim ”Reformasi” (1998-2003). Kedua, deideologisasi dan pemiskinan ketercerahan politik di kalangan partai sehingga memeratakan sifat bunglon tanpa karakter dalam berpolitik. Ketiga adalah praksis legislasi DPR yang miskin otoritas dan integritas, papa substansi, miskin deliberasi, serta bangkrut legitimasi.
Irasionalitas politik memarakkan impunitas politik. Pertama dan terpenting adalah praktik impunitas terhadap rangkaian korupsi dan kejahatan masif terhadap kemanusiaan pada rezim Orde Baru. Negara kita tergiring ke arah kemerdekaan pengkhianatan lantaran para pelaksananya gagal atau menolak menyadari impunitas sebagai suatu ilusi—sebagai penipuan diri sendiri.
Ilustrasi. Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo, Pengamat Politik & Ekonomi Faisal Basri, dan Audrey Chandra (moderator, kiri ke kanan) menjadi nara sumber dalam sarasehan bertajuk "Reformasi Memanggil; 25 Tahun Reformasi bersama Aldera" di Jakarta, Jumat (19/8/2023). Sarasehan ini digelar Harian Kompas bersama Yayasan Aldera untuk memeringati 25 tahun Reformasi 1998.
Tak sedikit pejabat tinggi negara kita di ketiga cabang pemerintahan dari Orde Baru hingga ke era Reformasi yang wawasannya terlampau tersungkup untuk memahami kerja hukum psiko-politik, yakni bahwa setiap impunitas dalam pelaksanaan pemerintahan akan membawakan kebangkitan kembali padanan dari laku angkara yang diloloskan dengan daya rusak berganda.
Kian besar bobot impunitas, kian besar pulalah daya rusak baliknya. The greater the impunity, the more it returns with an even greater vengeance. Dan diktum politik perenial perihal negara bekerja di sini: negara, jika dikelola secara benar, akan menjadi kekuatan pemberadab terbesar. Namun, jika dikelola sebaliknya, ia akan menjadi kekuatan pembiadab terbesar. Sebab, negara adalah pemangku tunggal daya paksa dan segenap sumber daya ekonomi dan politik nasional. Bangsa kita telah menyaksikan kedua sisi dari ekuasi itu.
Revisi UU KPK (2019) membuat Mochtar kecewa. Ia menulis, "Menyangkal kenyataan bahwa magnifikasi dan kumulasi korupsi merampas hak banyak warga bangsa akan perlakuan layak dan adil dalam pelbagai bidang. Kresendo korupsi langsung memiskinkan; mengikis keberdayaan, kreativitas, dan harapan rakyat; mengikis moralitas pemerintahan; menggerogoti solidaritas dan keluhuran kebangsaan,".
Mochtar telah tiada. Kegelisahan Mochtar boleh jadi kegelisahan sebagian besar rakyat Indonesia. Namun, kegelisahan itu masih merupakan suara pinggiran di tengah maraknya demokrasi dol tinuku atau demokrasi transaksional di kalangan elite politik.
Selamat Jalan Prof. Kini, sanggupkah kita membalikkan kemerdekaan pengkhianatan itu, sebagaimana diharapkan Mochtar.